Pria 41 Tahun Nikahi Remaja 11 Tahun di Malaysia: Dulu Sahabat Karib, Kini Jadi Ibu Tiriku
"Sahabatku adalah ibu tiriku sekarang," kata Norazila di halaman Facebooknya, sambil memperlihatkan wajah cemberutnya, "Itu tidak masuk akal."
TRIBUNBATAM.id, GUA MUSANG - Nori dan Ayu adalah teman baik dan mereka berbagi semua hal seperti layaknya pertemanan anak perempuan.
Mulai dari pakaian tidur, selfie, serta berbagai cerita remaja tentang pemuda idamannya.
Tetapi persahabatan mereka yang berkembang sejak kecil di sebuah dusun di Malaysia utara hancur akhir bulan lalu.
Soalnya, Nori tiba-tioba tahu bahwa sahabatnya yang masih lebih muda usianya darinya, 11 tahun, diam-diam telah menjadi istri ketiga ayahnya.
"Sahabatku adalah ibu tiriku sekarang," kata Nori (bukan nama sebenarnya) di halaman Facebooknya, sambil memperlihatkan wajah cemberutnya, "Itu tidak masuk akal."
Ayu (juga nama samaran) menikah dengan ayah Nori, Che Abdul Karim Che Abdul Hamid, seorang pedagang karet berusia 41 tahun yang cukup kaya dan menjadi tokoh di kampungnya.
Pria ini langsung menuai kontroversi di Malaysia tentang tradisi konservatif dalam kehidupan moderen saat ini.
Koalisi oposisi Pakatan Harapan yang memenangkan kekuasaan pada bulan Mei lalu berjanji untuk melarang pernikahan anak di bawah umur
"Ini adalah praktik dari berabad-abad yang lalu, dan pada tahap ini dalam pertumbuhan dan perkembangan Malaysia, perkawinan anak-anak tidak dapat diterima," kata Charles Santiago, seorang anggota parlemen dari PH, seperti dilansir The New Straits Times dari New York Times, Senin (30/7/2018).
Kemarahan terkait kasus Ayu meletus di media sosial di Malaysia, setelah istri kedua Che Abdul Karim memposting gambar upacara pernikahan dengan pesan sindiran "selamat menikah" di akun facebook-nya.
Wakil Perdana Menteri Malaysia Wan Azizah Wan Ismail, yang juga menjabat sebagai Menteri Wanita, Keluarga, dan Pengembangan Masyarakat, menyebut pernikahan itu baru dugaan.
"Tidak adil untuk menghukum seseorang di media sosial karena perasaan kami tentang masalah ini," kata Dato Seri Wan Azizah pekan lalu.
Wan Azizah, yang sebelumnya menyatakan menentang pernikahan anak, menolak untuk membahas kasus Ayu karena melibatkan penyelidikan yang berkelanjutan oleh beberapa lembaga pemerintah, termasuk kejahatan perawatan seksual.
Tahun lalu, Malaysia menjadikan perawatan seksual sebagai hukum. Seorang dewasa yang melakukan ikatan emosional dengan seorang anak dianggap melakukannya untuk tujuan eksploitasi seksual.
"Gadis itu adalah korban, tidak diragukan lagi," kata Latheefa Koya, seorang pengacara hak asasi manusia terkemuka.
"Mengapa kita putus asa dalam melindungi seorang anak? Kurangnya urgensi serius tentang kasus ini sangat mengganggu," tambahnya.
"Sebagai seorang Muslim, saya tersinggung oleh pendapat bahwa kita seharusnya tidak melindungi seorang anak karena asumsi bahwa ini ada hubungannya dengan Islam. Ini keliru," kata Latheefa.
Ayu dibawa ke rumah sakit untuk tes keperawanan bulan ini, tetapi pada hari yang sama kembali dengan suaminya dan sering bersamanya sejak itu, kata anggota keluarga.
"Aku mencintainya," kata Che Abdul Karim melalui telepon, menekankan bahwa dia tidak akan "menyentuh" istri barunya sampai dia berumur 16 tahun.
Sementara itu, Ayu mengatakan dalam pesan teks juga mengatakan bahwa dia mencintai suaminya yang memiliki enam anak dari dua istri sebelumnya. Dia menggunakan emoticon hati untuk menggambarkannya.
Sementara itu, dua istri pertama Che Abdul Karim kini bersatu untuk menentang pernikahan suaminya itu.
"Kami telah mengatakan kepadanya, kami atau gadis itu," kata Siti Noor Azila, Istri kedua Che Abdul Karim.
"Kami katakan, Anda yang memilih. Anda tidak dapat memiliki kami bertiga."
Siti Noor mengatakan, suaminya tidak pernah memberinya cukup uang untuk merawat keempat anak mereka, termasuk satu anak yang mengalami masalah kesehatan tulang belakang, spina bifida.
Siti Noor mengatakan, selama ini dia bekerja sebagai tukang roti untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
"Dia sangat pelit dengan kami, tetapi dia memiliki cukup uang untuk menikahi Ayu dan membawanya berlibur," kata Siti Noor yang memiliki dua balita saat ini.
Ayu, katanya, adalah satu-satunya istri yang diizinkan untuk naik di mobil sport Mazda suami mereka.
"Ayah mereka tidak pernah merawat mereka," katanya. "Dia bahkan tidak suka anak-anak. Kecuali satu, Ayu!"
Secara konstitusional, sistem hukum Malaysia bercabang. Warga Malaysia non-Muslim, sebagian besar dari etnis Tionghoa dan minoritas India, terikat oleh hukum perdata.
Di Malaysia, hukum masih berlaku bagi anak-anak di bawah usia 18 tahun yang akan menikah di bawah hukum Islam dan sipil.
Berdasarkan undang-undang, kecuali ada persetujuan khusus yang diberikan oleh seorang menteri negara tingkat tinggi, orang-orang non-Muslim Malaysia tidak dapat menikah sampai mereka berusia 18 tahun.
Namun sayangnya, sebagian dari mayoritas muslim di negara itu harus tunduk pada hukum Islam yang mereka yakini, terutama di bagian utara Malaysia.
Pengadilan syariah harus memberikan izin untuk anak di bawah umur yang lebih muda dari 16 tahun untuk menikah jika kedua belah pihak setuju.
Che Abdul Karim memang mendapat masalah kecil karena tidak mengikuti semua persyaratan untuk pernikahan anak.
Pengadilan syariah di Kelantan mendendanya hampir Rp 7 juta karena menikahi Ayu di negara tetangga, Thailand, tanpa izin pengadilan.
Aktivis hak anak-anak Malaysia mengatakan bahwa sekitar 15.000 anak perempuan di bawah 15 tahun menikah pada tahun 2010.
Secara global, Unicef memperkirakan ada sekitar 650 juta anak perempuan dan perempuan dari berbagai agama yang menikah sebelum mereka berusia 18 tahun.
Hingga saat ini, di parlemen Malaysia sendiri masih pro dan kontra tentang hal ini.
Shabudin Yahaya, seorang legislator yang juga dari koalisi PH mengatakan bahwa seorang gadis berusia 9 tahun boleh menikah jika dia telah melewati masa puber atau mengalami menstruasi.
"Tubuh mereka sudah sama dengan mereka yang berusia 18 tahun," Shabudin yang juga mantan hakim pengadilan syariah.
Banyak pernikahan anak di Malaysia adalah pasangan tidak resmi yang tidak diakui secara hukum karena menikah secara siri.
Hal itu karena pasangan yang mencoba mendaftarkan pernikahan mereka secara legal mendapat perlawanan.
Hal itu juga yang dilakukan Che Abdul Karim yang menikah secara siri di Thailand selatan.
Sebuah studi oleh kantor Unicef di Malaysia menemukan bahwa dari 2.143 aplikasi pernikahan anak di tujuh negara bagian Malaysia dari tahun 2012 hingga 2016, 10 ditolak.
Dalam beberapa kasus, gadis-gadis bahkan terpaksa menikah dengan pria yang dituduh telah memperkosa mereka.
Pada 2015, seorang pria dari negara bagian Malaysia bagian timur, Sarawak, dituduh melakukan pemerkosaan terhadap seorang gadis berusia 14 tahun.
Tapi kasus itu dibatalkan setelah mereka menikah atas izin dari pengadilan syariah.
Pernikahan anak-anak lainnya didorong oleh kemiskinan keluarga mempelai perempuan.
Dalam kasus Ayu hal itu mamang menjadi jelas.
Ayu adalah warga negara Thailand, tetapi ayahnya kemudian membawanya ke Gua Musang, negara bagian Kelantan yang berbatasan dengan Thailand.
Ayah Ayu bekerja sebagai penyadap karet di tempat itu.
Dia dibesarkan di sebuah rumah kayu yang memprihatinkan dan tanpa air di rumahnya.
Sedangkan suaminya, Che Abdul Karim, tinggal di sebuah vila modern dengan Mazda RX-8 parkir di depan rumah.
Istri pertamanya, Nuraini Che Nawi, mengelola restoran dan toko kelontong di sebelahnya.
Salah satu karyawannya adalah Aminah Hitam, ibu Ayu.
Ayu tidak sekolah dan lebih sering menemani ibunya bekerja.
Kelantan adalah salah satu negara termiskin dan paling konservatif di Malaysia dan dipimpin oleh partai Islam PAS yang memimpin negara bagian itu selama beberapa dekade.
Mohamad Amar Nik Abdullah, wakil kepala menteri negara Kelantan yang wakil presiden Partai Islam Malaysia (PAS) tetap bersikukuh bahwa pernikahan anak adalah legal di negara tersebut.
Latheefa, pengacara hak asasi manusia mengatakan bahwa banyak negara Islam yang melarang perkawinan di bawah umur, seperti Marokmo dan Mesir.
Bahkan, negara yang mayoritas penduduknya Islam, seperti Indonesia, juga melarang perkawinan di bawah umur.
