Kisah Nauru, Negeri Kecil di Pasifik yang Kini Dijadikan Australia 'Penjara' Pengungsi

Di negeri Nauru ada kebijakan pemberlakuan visa jurnalis sebesar 8.000 dolar Australia atau lebih dari Rp 80 juta.

AFP/TORSTEN BLACKWOOD
Negeri kecil Nauru yang kini digunakan Australia sebagai pusat detensi pengungsi dan pencari suaka. 

TRIBUNBATAM.id, CANBERRA - Jika Amerika Serikat (AS) memiliki pangkalan militer Guantanamo di Kuba untuk memenjarakan para terduga teroris yang ditangkap negeri itu, maka Australia pun memiliki tempat serupa.

Tempat itu adalah sebuah pulau kecil bernama Nauru, yang kini digunakan Canberra sebagai tempat detensi pengungsi.

Nauru, yang kemudian dijuluki Guantanamo-nya Australia ini, menjadi misteri karena terbatasnya akses media memasuki negara pulau terkecil di dunia itu.

Pembatasan terhadap media massa bahkan diberlakukan pemerintah Nauru saat menjadi tuan rumah Forum Pulau-pulau Pasifik (PIF) tahun ini.

Padahal biasanya, jurnalis disambut hangat dalam perhelatan tahunan tempat berkumpulnya para pemimpin dari 18 negara Pasifik itu.

Biasanya, tak ada pembatasan bagi para jurnalis untuk melakukan dalam ajang itu mulai dari ancaman perubahan iklim hingga menguatnya pengaruh Cina.

Namun, keputusan pemerintah Nauru ini semakin menguatkan pendapat dari lembaga riset Australia Lowy Institute yang menyebut negeri pulau itu tengah menuju otoritarianisme.

Baca: Karena Sejumlah Faktor Ini, Ekonomi Syariah Indonesia Tertinggal dari Thailand dan Australia

Baca: Jadikan Kucing dan Anjingnya Vegetarian, Pria Australia Ini dapat Kecaman

Baca: Kenapa Buaya Muara di Australia Ditemukan Selalu Berukuran Raksasa? Ini Rahasia di Baliknya

Salah satu media ternama yang tak mendapatkan akses adalah lembaga penyiaran publik Australia, ABC.

Pemerintah Nauru menuduh ABC telah melakukan "pelecehan dan tidak memberikan respek" dalam peliputannya di negeri mungil itu.

"Nauru tidak bisa mengklaim diri menyambut kehadiran media jika pemerintahnya mendikte media mana yang boleh datang dan melarang lembaga penyiaran Australia," kata direktur pemberitaan ABC Gaven Morris.

Selain ABC Australia, kantor berita Perancis AFP juga tidak mendapatkan akreditasi untuk meliput ajang tahunan tersebut.

Sejauh ini hanya sedikit jurnalis yang bisa masuk ke Nauru.

Sebagian besar terhambat dengan kebijakan Nauru memberlakukan visa jurnalis sebesar 8.000 dolar Australia atau lebih dari Rp 80 juta.

Celakanya, dengan harga semahal itu permohonan visa belum tentu dikabulkan dan jika visa tidak diberikan maka uang yang sudah disetor tak dikembalikan.

Di bawah tekanan untuk lebih terbuka setelah ditunjuk menjadi tuan rumah KTT PIF pada 1-9 September 2018, pemerintah Nauru untuk sementara meniadakan biaya visa bagi jurnalis yang akan melakukan peliputan.

Meski demikian, pemerintah Nauru membatasi jumlah jurnalis yang bisa meliput yaitu hanya sebanyak 30 orang, sudah termasuk fotografer dan operator kamera beserta para reporter.

Pemerintan Nauru beralasan, wilayah negeri itu yang amat kecil tak mampu mengakomodasi jurnalis dalam jumlah besar dan membantah telah membatasi kebebasan pers.

Baca: Kedapatan Simpan Video Blue Sadis di HP, Turis Asal Malaysia Ditolak Masuk Australia

Baca: Karena Cuaca, Aspal di Jalan Raya Australia Meleleh. Para Pengendara pun Berhak Dapatkan Kompensasi

Baca: Dinamit Denmark Tak Meledak, Tapi Beruntung, Australia Justru Dikalahkan Peru

"Kami adalah negara kecil dan memiliki fasilitas akomodasi yang terbatas untuk ajang PIF ini," demikian pernyataan pemerintah Nauru.

"Media dari seluruh dunia sudah memahami masalah ini dan sudah mengajukan permohonan secara resmi, tetapi ABC merasa harus mendapatkan perlakuan istimewa," tambah pemerintah.

Di sisi lain, para pengamat menilai pernyataan pemerintah Nauru itu sekadar upaya untuk meminimalkan pandangan negatif.

"Meski infrastruktur memainkan peran dalam pembatasan ini tetapi kami amat terkejut dengan upaya mengontrol peliputan media," demikian pernyataan New Zealand Parliamentary Press Gallery.

Pulau Pengungsi

"Alergi" Nauru terhadap media berakar dari keberadaan pusat pemrosesan pencari suaka yang dibiayai Australia.

Dengan luas pulau yang hanya 21 kilometer persegi, maka lokasi pusat detensi itu tak jauh dari lokasi digelarnya KTT PIF 2018.

Di bawah kebijakan imigrasi keras yang diterapkan Canberra, para pencari suaka dicegah untuk mendarat di daratan Australia.

Pemerintah Australia mengirim para pengungsi lajang ke Pulau Manus di Papua Niugini, sementara mereka yang sudah berkeluarga, anak-anak, dan perempuan dikirim ke Nauru.

Pusat detensi Nauru yang kini menampung 240 orang termasuk perempuan dan anak-anak, memberikan keuntungan ekonomi bagi negeri terisolasi berpenduduk 11.000 jiwa itu.

Apalagi, satu-satunya sumber pendapatan Nauru yaitu fosfat yang merupakan bahan dasar pembuatan pupuk sudah semakin sedikit jumlahnya.

Pada 2010-2011, pendapatan pemerintah Nauru baru sekitar 20 juta dolar Australia atau sekitar Rp 213 miliar.

Namun pada 2015-2016, pendapatan negeri itu melonjak hingga 115 juta dolar atau Rp 1,2 triliun.

Peningkatan pendapatan negara itu sebagian besar disebabkan uang yang dibayarkan Canberra bagi Nauru untuk mengelola pusat detensi pengungsi.

Sebagai imbalan, Canberra menghindari pembangunan pusat detensi pengungsi di wilayah Australia dan memroses mereka sejauh mungkin jauh dari mata warga dan media.

Meski demikian, kondisi itu tidak mencegah kelompok-kelompok pegiat HAM dan PMM untuk mengkritik kondisi kamp di Guantanamo-nya Australia itu.

PBB berulang kali mengungkap keprihatinan dan kritikan bahwa kebijakan Australia menahan orang-orang yang tidak berbuat kejahatan adalah tindakan melanggar hukum.

Dalam laporannya pada 2016, Komite Hak Anak-anak PBB menyebut perlakuan tak manusiawi terhadap anak-anak ditemukan di kamp detensi Nauru.

Perlakuan tak manusiawi itu termasuk kekerasan fisik, psikologi, hingga pelecehan seksual.

PBB juga menyebut kebijakan pembatan media yang diberlakukan pemerintah Nauru membuat kondisi buruk tersebut terlambat diketahui dunia.

Video Pilihan Polisi Tangkap 2 Pelaku Penculikan Anak Seorang Jaksa Namun, Canberra berkilah, kebijakan itu malah menyelamatkan banyak nyawa karena mengurangi niat para penyelundup manusia mengirimkan pengungsi ke Australia dengan menggunakan perahu berkualitas buruk. (kompas.com/Ervan Hardoko) 

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Nauru, Guantanamo-nya Australia di Pasifik"

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved