RAMADHAN 2019
Hukum Hubungan Badan saat Puasa Ramadhan, Puasa Batal, Ada yang Mesti Menjalani Denda dan Tidak
Hari pertama puasa Ramadhan 2019 berlangsung hari ini Senin (6/5/2019), simak hal yang membatalkan puasa termasuk hubungan badan.
Pertama, kewajiban kifarah ‘udhma dijatuhkan kepada orang yang sengaja menyenggama melalui kemaluan atau anus. Sedangkan kepada orang yang disenggama tidak dijatuhkan, baik laki-laki maupun perempuan. Hal itu seperti yang dikemukakan dalam Asnâ al-Mathâlib:
لَا كَفَّارَةَ عَلَيْهَا لِأَنَّهُ لَمْ يُؤْمَرْ بِهَا فِي الْخَبَرِ إلَّا الرَّجُلُ الْمَوَاقِعُ
Artinya: “Tidak kafarat bagi wanita yang disenggama, sebab ia tidak diperintah melakukannya, kecuali laki-laki yang menyenggamanya,, berdasarkan hadits.”
فَيَخْتَصُّ بِالرَّجُلِ الْوَاطِئِ كَالْمَهْرِ فَلَا يَجِبُ عَلَى الْمَوْطُوءَةِ وَلَا عَلَى الرَّجُلِ الْمَوْطُوءِ كَمَا نَقَلَهُ ابْنُ الرِّفْعَةِ
Artinya, “Tak beda dengan mahar, sanksi kafarat ini hanya dikhususkan bagi laki-laki yang menyenggama. Sehingga, tidak ada kewajiban bagi wanita yang disenggama, juga kepada laki-laki yang disenggama, sebagai yang dikutip oleh Ibnu al-Rif‘ah.”
Kedua, kafarat ini tidak dijatuhkan kecuali kepada orang yang merusak puasanya dengan senggama, dilakukannya secara sengaja, menyadari sedang berpuasa, tahu keharamannya, kendati dirinya tidak tahu kewajiban kafarat itu. Sehingga, jika ia merusak puasanya terlebih dahulu dengan yang lain, seperti makanan, kemudian bersenggama, maka tidak ada kafarat baginya, sebagaimana dalam Asna al-Mathalib:
وَقَوْلُنَا بِجِمَاعٍ احْتِرَازًا مِمَّنْ أَفْطَرَ أَوَّلًا بِغَيْرِهِ ثُمَّ جَامَعَ فَإِنَّهُ لَا كَفَّارَةَ فِي ذَلِكَ
Artinya, “Maksud kami dengan ‘senggama’ mengecualikan orang yang sebelumnya membatalkan puasa dengan selain senggama, kemudian ia bersenggama, maka tidak kewajiban kafarat di dalamnya.”
Begitu pula jika ia dipaksa melakukannya, karena lupa, dan karena ketidaktahuan yang diampuni, maka tidak perlu kafarat baginya.
Ketiga, yang dirusak adalah ibadah puasa. Selain ibadah puasa, seperti ibadah shalat atau i'tikaf, tidak ada kewajiban kafarat.
Keempat, yang dirusak adalah puasa diri sendiri. Berbeda halnya jika yang dirusak adalah puasa orang lain, seperti seorang musafir atau orang sakit merusak puasa istrinya.
لَوْ كَانَ بِهِ عُذْرٌ يُبِيحُ الْوَطْءَ مِنْ سَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِ فَجَامَعَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ صَائِمَةٌ مُخْتَارَةٌ فَإِنَّهُ لَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ بِإِفْسَادِ صَوْمِهَا
Artinya, “Andai ada udzur yang membolehkan senggama seperti perjalanan jauh atau yang lain, kemudian seseorang bersenggama dengan istrinya, padahal istrinya sedang berpuasa dan menginginkan itu, maka tidak ada kewajiban kafarat bagi orang tersebut walau telah merusak puasa istrinya.”
وَقَوْلُنَا مِنْ رَمَضَانَ احْتِرَازًا مِنْ الْقَضَاءِ وَالنَّذْرِ وَغَيْرِهِ) فَلَا كَفَّارَةَ فِي إفْسَادِهَا لِوُرُودِ النَّصِّ فِي رَمَضَانَ وَهُوَ مُخْتَصٌّ بِفَضَائِلَ لَا يُشْرِكُهُ فِيهَا غَيْرُهُ
Artinya, “Maksud kami dengan ‘bulan Ramadhan’ adalah mengecualikan puasa qadha, puasa nazar, dan sebagainya. Sehingga tidak ada kafarat karena rusaknya puasa-puasa tersebut berdasarkan nas yang ada. Sebab, bulan tersebut diistimewakan dengan sejumlah keutamaan yang tak tertandingi oleh bulan-bulan yang lain.”
Keenam, kafarat dijatuhkan karena aktivitas senggama meskipun aktivitasnya berupa anal seks, baik dengan manusia, dengan mayat, maupun dengan hewan, walaupun tak sampai keluar sperma. Berbeda halnya dengan aktivitas seksual yang lain, seperti onani, masturbasi, dan oral seks walaupun hingga keluar sperma. Maka beberapa aktivitas seksual terakhir ini tidak mewajibkan kafarat.