HEADLINE TRIBUN BATAM
UWT Sampai Telinga Jokowi dan Jadi Isu Seksi Jelang Ex-Offico, Kadin: Pemukiman Bisa Nol Rupiah
Wacana pembebasan UWT seakan identik dengan agenda pelimpahan ex-officio. Hal itu setidaknya terlihat dalam spanduk-spanduk yang banyak terpasang.
Penulis: Dewi Haryati |
TRIBUNBATAM.id, BATAM - Persoalan Uang Wajib Tahunan (UWT) atas lahan di atas HPL (hak pengelolaan lahan) BP Batam menjadi isu seksi, seiring mencuatnya pro kontra wali kota ex officio Kepala BP Batam.
Bahkan wacana pembebasan UWT seakan identik dengan agenda pelimpahan ex-officio. Hal itu setidaknya terlihat dalam spanduk-spanduk yang muncul dalam kontroversi ex offico.
Menurut catatan, tuntutan pembebasan UWT, terutama untuk lahan permukiman masyarakat Batam, sudah muncul semenjak dua tiga tahun silam, saat era kepemimpinan Kepala BP Batam Hatanto Reksodipoetra.
Tuntutan itu mereda seiring terbitnya revisi Peraturan Kepala (Perka) tentang lahan.
Ada sejumlah rivisi tarif yang semula memberatkan kemudian menjadi lebih “akomodatif”. Kini, balutan persoalan UWT kembali mencuat.
Benarkah kebijakan tentang UWT linier pemberlakuan ex-officio?
Wali Kota Batam, M Rudi, tak memberikan komentar tegas saat ditanyakan rencananya, membebaskan Uang Wajib Tahunan (UWT) atas lahan permukiman masyarakat Batam, Jumat (10/5) lalu.
Sambil menghubungi seseorang lewat telepon genggamnya, ia hanya memberikan isyarat dengan melambaikan sebelah tangannya.
Seakan ia bermaksud tidak ingin memberikan komentar.
• Kala Ex Officio Jadi Perang Spanduk di Batam
• Soal Perang Spanduk Wali Kota Ex Officio Viral di Batam, Walikota Ngaku Tak Mau Ikut Campur
• Ada yang Risih hingga Cuek, Begini Reaksi Warga Batam Soal Perang Spanduk Ex Officio di Batam
Saat itu Rudi keluar dari lift di lantai 2 Gedung Wali Kota Batam, sebelum salat Jumat.
Ia terlihat bergegas masuk ke dalam mobil dinasnya. Mobil itu sudah siap menunggunya, dengan seorang sopir di dalamnya.
Lalu, ketika diminta komentarnya soal perang spanduk, antara mereka yang menolak dan mendukung wali kota ex officio Kepala BP Batam, Rudi kembali irit komentar.
"Tak ikut campurlah. Mau salat (Jumat). Ngapain ikut campur," kata Rudi saat itu. Setelahnya, tak ada komentar lain.
Meski demikian, sebelumnya, dalam beberapa kali kesempatan, Rudi termasuk yang paling sering menyuarakan persoalan UWT bagi masyarakat Batam.
Ia ingin UWT dihapuskan khusus lahan permukiman. Alasannya, masyarakat tak perlu lagi dibebani dengan double pembayaran, yakni Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan UWT.
Sementara itu Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kota Batam, Jadi Rajagukguk yang dimintai komentarnya mengatakan, hak milik di atas Hak Pengelolaan Lahan (HPL) BP Batam, sebenarnya sudah banyak diberikan.
Itu dibolehkan sejak tahun 2000.
"Semua lahan di Batam, secara de facto yang mengelolanya adalah BP Batam," kata Jadi, Jumat (10/5).
Untuk bisa menjadi hak milik, memang ada proses yang mesti ditempuh.
"Secara de jure, lahan harus dibebaskan dulu dari penguasaan masyarakat, dan disertifikatkan menjadi HPL BP Batam. Barulah kemudian dialokasikan kepada pihak ketiga lainnya," ujarnya.
Pihak ketiga ini, bisa badan hukum dan atau perorangan. Kemudian dari situ, bisa ditingkatkan administrasi pertanahannya menjadi Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai, atau Hak Milik, jika memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam ketentuan peraturan di bidang hukum pertanahan atau hukum agraria.
Jadi melanjutkan, semua lahan di wilayah kerja Otorita Batam (OB)– atau BP Batam saat ini, memang dikelola oleh BP Batam. Wilayah kerjanya hanya mencakup delapan pulau di Batam.
"Di luar wilayah kerja itu, beda. Karena Pemko Batam wilayah kerjanya lebih dari 150 pulau. Itu bukan HPL BP Batam," kata Jadi.
Ia mengatakan, jika lahan di Batam berstatus hak milik, maka UWT-nya bisa dinolkan. Namun ini untuk lahan penduduk, atau yang tidak kategori komersil.
"Kalau lahan komersil, UWT mestinya tetap ada. Karena lahan itu kan dikomersilkan, di sewakan, dan dapat hasil," ujarnya.
Sampaikan ke Presiden
Saat rencana Wali Kota ex officio Kepala BP Batam bergulir sejak Desember 2018 lalu, maslah ex-officio dan UWT menjadi isu seksi dibicarakan di kalangan masyarakat.
Tentang kedua persoalan itu, Rudi mengatakan, kalau ia tak pernah meminta menjadi Kepala BP Batam kepada Presiden RI Joko Widodo. Rudi juga menepis anggapan, kalau ia haus akan kekuasaan, dengan menjadi Wali Kota ex officio Kepala BP Batam.
"Saya tak pernah minta jadi Kepala BP. Yang saya minta, rakyat saya masih menyewa tanah ke negara, dan HPL (hak pengelolaan lahan) nya berada di BP. Tolong diselesaikan. Berikan mereka hak sebagai seorang warga negara, tinggal di tanah negaranya sendiri. Pak bantulah rakyat Batam, yang juga rakyat Indonesia," ujarnya, di hadapan ibu-ibu yang hadir dalam peringatan hari ibu ke-90 tahun tingkat Kota Batam, Desember tahun lalu.
Pada kesempatan itu, Rudi juga mengulas sejarah munculnya pungutan UWT atas lahan di Batam.
"Kalau dulu tahun 1973 Otorita Batam (OB) didirikan, betul butuh uang untuk bangun Kota Batam. Saat itu Batam hanya tingkat kelurahan, kecamatannya di Belakangpadang. Batam tak ada sumber untuk OB berkembang," ceritanya.
Makanya, Rudi menilai wajar saat itu OB di kepemimpinan BJ Habibie menerapkan pungutan UWT atas sewa lahan di Batam. Tujuannya untuk biaya operasional pembangunan Batam.
"Tapi perlu diketahui juga Undang-Undang Otonomi Daerah sudah terbit, sudah ada pemerintah di Batam dan rakyat Batam juga sudah banyak. Untuk operasional dari pemerintah sudah cukup," ujar Rudi.
Karena itu, ia menilai, pungutan UWT atas sewa lahan di Batam ini sudah selayaknya dihentikan.
Sementara itu menanggapi ide itu, Kepala BP Batam kala itu, Lukita Dinarsyah Tuwo mengatakan, jika pemerintah ingin menghapuskan UWT, maka kewenangannya ada di tangan pemerintah pusat. Sebab berdasarkan Kepres Nomor 41 Tahun 1973, semua lahan di Batam adalah lahan negara.
Kepres ini juga mengatur, pendapatan dari UWT digunakan untuk membangun infrastruktur yang ada di Batam. Termasuk untuk melakukan pembersihan, pematangan, penyiapan infrastruktur dan sebagainya. (tribunbatam.id/dewi haryati)