Kubu Prabowo Tuduh Pemilu Penuh Kecurangan, Tapi Enggan Ajuikan Gugatan ke MK. Maunya Apa?
Badan Pemenangan Nasional pasangan Prabowo-Sandiaga (BPN) enggan untuk mengajukan gugatan sengketa ke Mahkamah Konstitusi (MK) nantinya.
TRIBUNBATAM.id, JAKARTA - Prabowo Subianto, calon presiden nomor urut 02, menyatakan akan menolak hasil Pilpres 2019 yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Prabowo yang berpasangan dengan Sandiaga Uno menuduh telah terjadi kecurangan selama penyelenggaraan pemilu, dari mulai masa kampanye hingga proses rekapitulasi hasil perolehan suara yang saat ini masih berjalan.
Kendati demikian, pihak Badan Pemenangan Nasional pasangan Prabowo-Sandiaga (BPN) enggan untuk mengajukan gugatan sengketa ke Mahkamah Konstitusi (MK) nantinya.
• Hasil Otopsi Ungkap Aktris Han Ji Seong Telah Mengemudi Mabuk Sebelum Tewas Akibat Kecelakaan Fatal
• Harga Rokok FTZ di Batam Diperkirakan Naik, Imbas Penerapan Cukai Rokok dan Mikol Mulai Hari Ini
• Siapkan 10 Ribu Porsi, Wali Kota Batam Rudi Undang Masyarakat Buka Puasa Bersama
Padahal, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyatakan, dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pilpres, pasangan calon dapat mengajukan keberatan kepada MK dalam waktu paling lama tiga hari setelah penetapan oleh KPU.
Lantas, apa sebenarnya yang diinginkan Prabowo-Sandiaga?
Koordinator Juru Bicara BPN Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan, keputusan untuk tidak mengajukan gugatan ke MK merupakan langkah yang juga diatur secara hukum.
Namun, Dahnil tak menjawab secara tegas langkah apa yang akan diambil oleh Prabowo-Sandiaga untuk menggugat hasil pilpres jika tak mengajukan gugatan ke MK.
"Apa yang kita lakukan, upaya mencari keadilan secara politik, kita serahkan pada masyarakat, Pak prabowo akan ikuti suara rakyat," ujar Dahnil saat ditemui media center pasangan Prabowo-Sandiaga, Jalan Sriwijaya I, Jakarta Selatan, Rabu (15/5/2019).
Dahnil membantah ketika ditanya apakah mengikuti suara rakyat artinya akan ada pengerahan massa dalam jumlah besar untuk menolak penetapan hasil pilpres.
Beberapa waktu lalu, anggota Dewan Pakar BPN Amien Rais sempat menyerukan soal "people power", kemudian menggantinya dengan istilah gerakan kedaulatan rakyat.
Menurut Dahnil, masyarakat berhak untuk menolak hasil pilpres dengan menggelar aksi unjuk rasa yang disebut Amien Rais sebagai gerakan kedaulatan rakyat.
"Itu hak rakyat," kata Dahnil.
"Yang jelas seperti disampaikan Pak Prabowo, kalau ada gerakan kedaulatan rakyat harus tetap non-violence. Anti kekerasan, itu prinsip dasarnya. Enggak boleh ada kekerasan," ucapnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono, meminta agar pendukung 02 tidak mengakui hasil Pilpres 2019.
Dengan demikian, Arief mengatakan, pendukung Prabowo-Sandiaga tidak perlu lagi mengakui pemerintah yang terbentuk pada periode 2019-2024.
"Masyarakat yang telah memberikan pilihan pada Prabowo Sandi tidak perlu lagi mengakui hasil pilpres 2019 dengan kata lain jika terus dipaksakan hasil pilpres 2019 untuk membentuk pemerintahan baru, maka masyarakat tidak perlu lagi mengakui pemerintahan yang dihasilkan Pilpres 2019," ujar Arief melalui keterangan tertulisnya, Rabu (15/5/2019).
Menurut Arief, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan oleh pendukung Prabowo-Sandiaga.
Pertama, dengan menolak membayar pajak kepada pemerintah.
Sebab, pemerintah yang terbentuk dari penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak sah.
"Tolak bayar pajak kepada pemerintahan hasil Pilpres 2019 yang dihasilkan oleh KPU yang tidak legitimate itu adalah hak masyarakat karena tidak mengakui pemerintahan hasil Pilpres 2019," kata Arief.
Ia juga menyarankan para pendukung melakukan aksi diam dan tidak melontarkan kritik apapun terhadap pemerintah.
Selain itu Arief menilai caleg dari Partai Gerindra dan parpol koalisi tidak perlu ikut masuk ke parlemen periode 2019-2024.
"Kita lakukan gerakan boycott pemerintahan hasil Pilpres 2019 seperti yang pernah diajarkan oleh Ibu Megawati ketika melawan rezim Suharto yang mirip dengan rezim saat ini," tuturnya.
"Yang pasti negara luar juga tidak akan mengakui pemerintahan hasil Pilpres 2019 nantinya. Ini penting agar sistem demokrasi yang jujur, bersih dan adil bisa kita pertahankan," kata Arief.
KPU Tantang Adu Data dengan BPN
Sementara itu, KPU menantang BPN Prabowo-Sandiaga untuk adu data di rapat pleno terbuka rekapitulasi nasional.
Hal ini disampaikan Komisioner KPU RI, Wahyu Setiawan menanggapi sikap BPN yang menolak hasil penghitungan suara oleh KPU.
Wahyu menilai sikap BPN tersebut tidak sejalan dengan sikap saksi mereka yang ikut dalam rapat pleno rekapitulasi nasional di Kantor KPU.
Menurut dia, sejauh ini saksi dari Prabowo-Sandi belum pernah menyandingkan data hasil pilpres milik mereka di tiap provisi yang diklaim berbeda dengan hasil penghitungan KPU.
"Tidak bijak membangun narasi ada kecurangan, tetapi dalam rapat pleno rekapitulasi justru tidak menunjukkan data-data yang mereka miliki," kata Wahyu saat dihubungi Kompas.com, Rabu (15/5/2019).
Padahal, lanjut Wahyu, rapat itu harusnya menjadi ajang adu data bagi semua pihak yang berkepentingan dengan hasil pemilu. Setiap saksi dari pasangan calon maupun partai politik bisa mengkroscek lagi hasil rekapitulasi KPU dengan data yang masing-masing telah mereka pegang.
"Membangun narasi kecurangan di luar rapat pleno rekapitulasi justru dikhawatirkan akan memperkeruh nalar publik. Harusnya sampaikan saja di rapat pleno jika ada data yang berbeda," kata dia.
Hingga Selasa (14/5/2019) malam, hasil rekapitulasi 19 provinsi telah ditetapkan dalam rapat pleno rekapitulasi di Kantor KPU.
Hasilnya, pasangan calon nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin unggul di 14 provinsi. Sedangkan paslon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menang di 5 provinsi.
Sementara ini, jumlah perolehan suara Jokowi Ma'ruf unggul dengan 37.341.145 suara. Sedangkan Prabowo-Sandi mendapatkan 22.881.033 suara. Selisih perolehan suara di antara keduanya mencapai 14.460.112.
Namun, pada Selasa sore kemarin, BPN Prabowo-Sandi menegaskan menolak penghitungan suara yang tengah berjalan di KPU.
Alasannya, BPN mengklaim telah terjadi banyak kecurangan yang merugikan pihaknya di Pilpres 2019.
"Berdasarkan hal tersebut, kami BPN Prabowo-Sandi bersama rakyat indonesia yang sadar hak demokrasinya, menyatakan menolak hasil perhitungan suara dari KPU RI yang sedang berjalan," kata Ketua BPN, Djoko Santoso dalam acara 'Mengungkap fakta-fakta kecurangan pilpres 2019' di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Selasa (14/5/2019).
Dalam acara yang dihadiri oleh Prabowo-Sandi tersebut, tim teknis BPN menyampaikan pemaparan mengenai berbagai kecurangan yang terjadi sebelum, saat pemungutan suara, dan sesudahnya.
Diantaranya adalah permasalahan daftar pemilih tetap fiktif, politik uang, penggunaan aparat, surat suara tercoblos hingga salah hitung di website KPU. BPN juga menampilkan penghitungan suara versi mereka.
Anggota Dewan Pakar BPN, Laode Kamaluddin mengungkapkan, berdasarkan data sistem informasi Direktorat Satgas BPN, perolehan suara Prabowo-Sandi unggul. Hingga Selasa (14/5/2019), pasangan Prabowo-Sandiaga disebut memperoleh suara sebesar 54,24 persen atau 48.657.483 suara.
Sedangkan pasangan Jokowi-Ma-ruf Amin memperoleh suara sebesar 44,14 persen. "Di tengah banyaknya kecurangan posisi kita masih ada di 54,24 persen," ujar Laode.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Tuduh Pemilu Curang tapi Enggan Buktikan di MK, Mau Prabowo Apa?