Jutaan Warga Hong Kong Lawan UU Ekstradisi: Orang China Daratan Mungkin Diam, Tetapi Kami Tidak
Orang-orang (China) daratan mungkin tidak berani berbicara tentang apa yang telah dilakukan pemerintah mereka, tetapi orang-orang Hongkong berbeda
TRIBUNBATAM.ID, HONG KONG - Jutaan warga Hong Kong menggelar unjuk rasa menentang Undang Undang Ekstradisi yang diluncurkan oleh pemerintah eksekutif Hong Kong, Minggu (9/6/2019).
UU itu dikeluarkan oleh Pemerintah Hong Kong untuk menekan angka kriminalitas. Dalam UU itu, setiap perilaku kriminal akan diekstradisi ke daerah asal mereka setelah menjalani hukuman.
Peserta unjuk rasa yang mayoritas mengenakan pakaian putih-putih itu berasal dari berbagai kalangan, mulai dari dunia usaha, pengacara, mahasiswa, aktivis prodemokrasi, hingga kelompok-kelompok agama.
• Dijuluki Bapak Loro Ati Nasional, Didi Kempot Mendadak Trending di Twitter, Ini Penyebabnya
• VIRAL Video Siwon Hebohkan Bandara Ngurah Rai Bali, Seminggu Jelang Konser Super Junior di Indonesia
• Mantan Kepala BP Batam Lukita Jadi Pesaing Terberat Wako Rudi pada Pilwako Batam Nanti
Mereka bergerak dari Victory Park memenuhi Causeway Bay dan menelusuri jalan besar tersebut menuju kantor pemerintahan.
Siang hari, aksi berlangsung damai, namun memasuki tengah malam, aksi massa mulai tak terkendali.

Pendemo memasang barikade di jalanan dan melakukan tindakan anarkis pada sejumlah fasilitas umum di jalanan dan menghentikan transportasi umum.
Sempat terjadi bentrok, termasuk antara polisi dengan wartawan karena merreka tidak ingin aksi kekerasan muncul di media.
Kenapa begitu banyak yang turun ke jalan?
Anna Chan Wah, penggerak sksi demonstrasi tahun 2003 menyebutkan bahwa aksi tersebut karena soal DNA orang Hong Kong.
Bahwa rakyat Hong Kong sudah sejak lama hidup dalam demokrasi dan anti-diskriminasi sehingga UU itu dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap demokrasi.
"Kami tahu protes jalanan kami hari ini tidak akan mengubah apa pun, tetapi kami di sini untuk memperjuangkan demokrasi di Hong Kong dan untuk menunjukkan bahwa kami masih memiliki suara," katanya seperti dilansir TribunBatam.id dari South China Morning Post.
Tahun 2003, Anna Chan turun ke jalan menentang undang-undang keamanan nasional yang membawa setengah juta orang ke jalan-jalan.
Melaju cepat ke 2019, sentimen yang sama persis terdengar keras dan jelas di kota pada hari Minggu ketika hampir satujuta warga Hongkong turun ke jalan untuk menunjukkan perlawanan.
Kali ini protes menentang RUU ekstradisi yang akan memungkinkan pemindahan narapidana ke tempat asalnya, termasuk Cina daratan.
Banyak pengunjuk rasa mengatakan pesimistis RUU itu akan dihentikan. Namun, mereka tidak akan menyerah tanpa perlawanan.
Banyak yang tetap setia pada "DNA" mereka sebagai warga Hongkong, menjalankan kebebasan mereka, dan turun ke jalan untuk mengirim pesan.
Aniken Pang Hoi-tin, seorang siswa berusia 21 tahun, terdengar seperti Chan pada tahun 2003.
"Saya tidak peduli apakah tindakan kami akan mempengaruhi keputusan pemerintah --saya hanya tahu saya harus melakukan sesuatu untuk melindungi tempat saya tinggal," kata Pang.
"Mereka yang berkuasa seharusnya melindungi rakyat mereka."
Janus Wong, seorang pekerja sosial berusia 40 tahun juga sepakat dengan pendapat itu.
"Warga Hongkong harus berbicara untuk mengekspresikan diri mereka dan mengatakan kepada dunia bahwa Hong Kong berbeda dari China," katanya.
"Orang-orang (China) daratan mungkin tidak berani berbicara tentang apa yang telah dilakukan pemerintah mereka, tetapi orang-orang Hongkong akan melakukannya."
Prosesi pada hari Minggu dimulai pada sore hari dan berlanjut ketika hari mulai gelap.
Menjelang malam, protes massa melewati pusat kota dan mengepung markas pemerintah di Admiralty.
Aksi itu menghidupkan kembali kenangan tentang protes bersejarah tahun 2003.
Tetapi menjelang tengah malam, waktu itu, situasi menjadi suram.
Adegan-adegan kekerasan yang buruk meletus di luar Dewan Legislatif ketika massa menyerbu barikade baja. Polisi menanggapinya dengan pentungan dan semprotan merica.

Penyelenggara unjuk rasa mengklaim, lebih dari satu juta orang mengikuti aksi demonstrasi menentang undang-undang ekstradisi ke China, pada Minggu (9/6/2019).
Lima belas tahun yang lalu, pemrotes yang marah didorong oleh banyak frustrasi, dari rancangan keamanan nasional hingga wabah Sars dan ekonomi yang suram.
Para pawai pada hari Minggu hanya memiliki satu ketakutan: bahwa undang-undang ekstradisi dapat menyebabkan pengadilan yang tidak adil dan pelanggaran hak asasi manusia di China daratan.
"Saya sama sekali tidak percaya bahwa pemimpin kota, yang bahkan tidak berani berbicara tentang penutupan Lapangan Tiananmen, akan memainkan peran sebagai penjaga gerbang dengan baik dalam menangani permintaan ekstradisi," kata Matthew Ng Kwok-bun (50).
Dr Rose Wu, pendiri Front Hak Asasi Manusia Sipil yang membantu mengorganisasi pawai 2003 mengatakan, tanggapan spontan dari spektrum luas orang-orang yang bergandengan tangan dalam pawai kemarin jauh berbeda dengan 2003.
"Orang-orang menyuarakan keprihatinan mereka dengan membentuk kelompok mereka sendiri, bukan platform institusional," kata Wu.
Dia berbicara mengacu pada ratusan petisi online yang muncul bulan lalu untuk menentang RUU tersebut, dan ditandatangani oleh mahasiswa, alumni universitas, dan ibu rumah tangga.
Di luar negeri, protes dilakukan di lebih dari 20 kota di seluruh dunia.
"Reaksi cepat dan kuat di seluruh dunia juga memberikan dorongan besar bagi warga Hongkong," kata Wu.
Kenapa UU Itu ditentang?
Unjuk rasa tersebut adalah aksi massa terbesar sejak penyerahan Hong Kong ke China pada 1997 dan aksi menentang UU keamanan nasional pada 2003.
Rocky Chang (59), seorang guru besar yang ikut dalam aksi unjuk rasa mengatakan, undang-undang ekstradisi adalah akhir bagi Hong Kong.
"Ini urusan hidup atau mati.. undang-undangnya jahat," kata Chang kepada kantor berita Reuters.
Pihak berwenang di Hong Kong mengatakan, sudah ada perangkat yang mencegah orang-orang ang tersangkut kasus agama atau politik untuk tidak diekstradisi ke China daratan.
Pemimpin Hong Kong, Carrie Lam, ingin proses amandemen undang-undang tentang ekstradisi ke China daratan dapat rampung sebelum Juli.
Berdasarkan usulan perubahan yang dimasukkan oleh pemerintah Hong Kong, tersangka kasus pembunuhan dan perkosaan di Hong Kong bisa diekstradisi ke China daratan Taiwan dan Makau.

Pemerintah mengatakan keputusan akhir apakah seseorang akan diekstradisi atau tidak, berada di tangan pengadilan Hong Kong.
Selain itu tidak akan ada aturan umum dan semuanya diputuskan kasus per kasus.
Sebagai bekas koloni Inggris, Hong Kong dikenal sebagai daerah semiotonom "satu negara, dua sistem". Hong Kong memiliki sistem hukum tersendiri dan warganya dapat menikmati kebebasan yang tidak diperoleh di China daratan.
Hong Kong memiliki perjanjian ekstradisi dengan 20 negara, termasuk Amerika Serikat dan Inggris, namun tak ada perjanjian serupa dengan China daratan, meski perundingan ekstradisi dengan Beijing sudah dilakukan dalam dua dasawarsa terakhir.
Beberapa pihak mengatakan tidak adanya kesepakatan dengan Beijing disebabkan oleh lemahnya perlindungan hukum terhadap terdakwa di China daratan.
Carrie Lam menegaskan, pihaknya tidak akan membatalkan penyusunan undang-undang tersebut meskipun menimbulkan prptes.
"Ini adalah undang-undang yang sangat penting yang akan membantu dalam menegakkan keadilan dan memastikan bahwa Hong Kong akan memenuhi kewajiban internasional dalam menanggulangi tindak kejahatan lintas batas dan trans-nasional," kata Carrie Lam, Senin (10/6/2019).
Pemerintah Hong Kong mendorong rancangan undang-undang tersebut melalui legislatif yang akan memungkinkan dilakukannya ekstradisi ke yurisdiksi mana pun yang belum memiliki perjanjian, termasuk China daratan.