Setelah China, AS Juga Perang Dagang dengan India. Indonesia Ikut Kembang-kempis
AS mencabur fasilitas perdagangan Generalized System of Preferences (GSP) sejak 5 Juni 2019. India membalas, menaikkan tarif sejumlah produk AS.
TRIBUNBATAM.ID, NEW DELHI - Setelah China, Amerika Serikat (AS) kini terlibat perang dagang dengan India.
AS mencabur fasilitas perdagangan Generalized System of Preferences (GSP) sejak 5 Juni 2019. India membalas, menaikkan tarif sejumlah produk AS.
GSP adalah kebijakan perdagangan suatu negara yang memberi pemotongan bea masuk impor terhadap produk ekspor negara penerima.
• Limbah Plastik Menumpuk di Daerah Sagulung, Warga Gerah Lalu Ancam Bakal Unjuk Rasa BP Batam
• Batam Lampu Kuning! Perang Dagang AS, Ekspor Singapura Terjun Bebas, Elektronik Paling Terpukul
• Imbas Perang Dagang AS vs China, Amerika Pantau Mata Uang Malaysia, Singapura, dan Vietnam
Ini merupakan kebijakan perdagangan sepihak yang umumnya dimiliki negara maju untuk membantu perekonomian negara berkembang, tetapi tidak bersifat mengikat.
Negara pemilik program GSP bisa bebas menentukan negara mana dan produk apa yang akan diberikan pemotongan bea masuk impor.
Penghapusan GSP ini membuat ketar-ketir Indonesia yang juga mendapatkan GSP dari AS.
Pasalnya, kebijakan ini dilakukan oleh pemerintahan Donald Trump terhadap negara yang mengalami surplus perdagangan dengan AS dan negara tersebut tidak lagi masuk dalam kategori negara berkembang.
India juga tidak tinggal diam, mereka akan mengenakan tarif pembalasan yang lebih tinggi terhadap 28 produk asal AS termasuk almond, apel, dan kacang walnut mulai Minggu (16/6/2019).
India merupakan negara penerima manfaat terbesar dari skema GSP yang memungkinkan ekspor bebas bea masuk hingga senilai US$ 5,6 miliar.
Perangt dagang antara AS dan India ini pernah digaungkan oleh Perdana Menteri Narendra Modi pada Juni tahun lalu.
India menaikkan pajak impor setinggi 120% atas sejumlah produk dari AS, setelah AS menolak membebaskan tarif impor baja dan aluminium.
Namun India berulang kali menunda menaikkan tarif karena kedua negara terlibat dalam pembicaraan perdagangan.
Perdagangan antara AS dengan India mencapai sekitar US$ 142,1 miliar pada tahun 2018.
Kini, India bertindak tegas dan menerapkan tarif impor balasan balasan terhadap 28 barang tertentu yang berasal dari atau diekspor dari AS.
Tarif impor India yang lebih tinggi untuk barang-barang AS dapat berdampak pada meningkatnya ketegangan antara kedua negara seperti halnya China.
Sekretaris Negara AS Mike Pompeo yang dijadwalkan akan mengunjungi India pada bulan ini mengatakan, AS terbuka untuk dialog untuk menyelesaikan perbedaan perdagangan dengan India.
India merupakan pembeli almond AS terbesar, bahkan lebih seperuh dari almond AS mengalir ke India senilai US$ 543 juta.
India juga pembeli apel AS terbesar kedua, dengan nilai US$ 156 juta pada tahun 2018.
Sebelumnya, peraturan baru India di bidang-bidang seperti e-commerce dan lokalisasi data telah membuat marah AS karena memukul perusahaan-perusahaan seperti Amazon.com, Walmart Inc, Mastercard dan Visa.
Indonesia Juga Terancam
AS terus menyelidiki 13 negara yang mengalami surplus perdagangan dengan mereka untuk menekan negatif transaksi berjalan.
AS memiliki peluang besar meninjau kembali fasilitas GSP bagi Indonesia karena faktor yang sama.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemdag), Indonesia mengalami surplus US$ 8,26 miliar dari total perdagangan sebesar US$ 28,61 miliar di tahun 2018.
Namun, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, ekspor yang mendapat fasilitas GSP hanya sebesar 10%.
"Apa yang terjadi dengan proses review GSP India akan terjadi juga akan ada review bagi Indonesia," ujar Sinta sepertti dilansir TribunBatam.id dari Kontan.co.id.
Fasilitas GSP diberikan AS bagi negara berkembang, sementara Indonesia saat ini dinilai telah melampaui level tersebut.
"Taraf ekonomi indonesia lebih tinggi (upper middle income)," ujar Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Muhammad Faisal.
Selain selalu dilakukan review, kebijakan Presiden AS Donald Trump, saat ini pun selalu diliputi ketidakpastian.