Dahnil Anzar Sebut Bambang Widjojanto Mirip Abraham Lincoln yang Lawan Vampir Pengisap Darah Rakyat
“Kalau dilihat-lihat Pak BW ini seperti Abraham Lincoln,” ucap Juru Bicara BPN itu, diikuti tawa BW.
TRIBUNBATAM.id - Dahnil Anzar Simanjuntak menyamakan Bambang Widjojanto dengan mantan Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln.
Itu karena Ketua Tim Hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno tersebut berjanggut tanpa kumis.
“Kalau dilihat-lihat Pak BW ini seperti Abraham Lincoln,” ucap Juru Bicara BPN itu, diikuti tawa BW.
Hal itu terjadi saat keduanya hadir sebagai narasumber dalam diskusi 'Pemufakatan Curang Itu Fakta', di Posko BPN, Jalan Sriwijaya I, Kebayoran Baru, Jakarat Selatan, Senin (24/6/2019).
Dahnil Anzar Simanjuntak menyebut BW saat ini sedang memimpin BPN menghadapi sidang sengketa hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi.
Katanya, untuk memperjuangkan kedaulatan rakyat yang menurutnya diisap oleh pihak-pihak tertentu.
Pengandaian tersebut diambil Dahnil Anzar Simanjuntak dari film ‘Abraham Lincoln: Vampire Hunter’ yang diadaptasi dari novel fiksi garapan Seth Grahame-Smith.
“Seperti di film, Pak BW ini juga menghadapi vampir yang mengisap darah rakyat Indonesia,” katanya.
Sebelumnya, Ketua tim kuasa hukum Prabowo-Sandi Bambang Widjojanto (BW), menyebut Pemilu 2019 adalah pemilu terburuk yang pernah digelar di Indonesia sejak era reformasi.
Ia berpatokan pada jumlah KPPS (kelompok penyelenggara pemungutan suara), Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), dan aparat keamanan yang meninggal dunia dan sakit seusai Pemilu 2019.
Bahkan, BW menantang publik untuk menunjukkan Pemilu di negara mana yang lebih buruk dari Indonesia, jika berdasarkan data tersebut.
“Ini adalah Pemilu terburuk sejak era reformasi, jangan dibandingkan dengan Orde Baru, karena sekarang bukan Orde Baru,” ujar BW di posko BPN, Kebayoran Baru, Jakarat Selatan, Senin (24/6/2019).
"Tidak ada Pemilu di dunia ini yang menimbulkan korban lebih dari 700 orang."
"Tunjukkan kepada saya, ada tidak Pemilu di dunia yang korbannya lebih dari 700? Dan itu ada di Pemilu Indonesia 2019,” sambung BW.
Indikator kedua yang membuat Pemilu 2019 sebagai yang terburuk sejak era reformasi, menurut BW, adalah adanya 22 juta potensi pelangggaran seputar Pemilu.
Ia pun menyinggung penemuan 400 ribu amplop yang disiapkan untuk serangan fajar dalam kasus Bowo Sidik.
“Kejahatan di Pemilu seperti fenomena gunung es, yang ketahuan hanya akan sekitar 0,5 sampai 1 persen."
"Sementara kami menemukan ada potensi 22 juta pelanggaran di seputar Pemilu. Kalau tidak dilaporkan ke Bawaslu bukan berarti tidak ada kejahatan,” tuturnya.
Indikator ketiga, lanjut BW, adalah adanya indikasi mobilisasi sumber daya negara untuk memenangkan salah satu paslon.
Sementara, ia juga menilai adanya problem struktural dalam pelaksanaan hukum di tingkat bawah.
“Misal di Papua dan Kota Surabaya, Bawaslu mengatakan dilakukan pemungutan suara ulang (PSU) tapi hingga kini tak dilaksanakan,"
"Berarti ada problem struktural dalam pelaksanaan ‘low-enforcement’ di sini,” tegasnya.
Sedangkan faktor kelima adalah terus menerusnya permasalahan yang ada pada DPT (Daftar Pemilih Tetap).
Ia menyebut DPT yang bermasalah merupakan sumber penggelembungan suara.
“Kita terus menerus melakukan kebodohan dengan adanya masalah pada DPT."
"Dan kami menemukan adanya NIK (nomor induk kependudukan) rekayasa, kecamatan siluman, pemilih ganda, dan pemilih di bawah umur."
"Dan DPT yang bermasalah itu berdasarkan data kependudukan yang disusun pemerintah,” cetus BW.
Sebelumnya, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pramono Ubaid, tak setuju ucapan Ketua Tim Pengacara Prabowo-Sandi Bambang Widjojanto (BW).
BW mengatakan, Pemilu 2019 adalah pesta demokrasi terburuk yang pernah diselenggarakan.
Menurut Pramono Ubaid, ucapan BW berbanding terbalik dengan kenyataan yang tercatat dalam sejarah, tanpa didasari data dan argumentasi yang jelas.
"Pernyataan Mas BW yang menyatakan bahwa Pemilu 2019 merupakan Pemilu terburuk dalam sejarah Indonesia, merupakan pernyataan yang ahistoris."
"Serta tidak didasarkan pada data dan argumen yang jelas," kata Pramono Ubaid saat dihubungi, Senin (27/5/2029).
Kemudian, Pramono Ubaid membandingkan pelaksanaan Pemilu tahun ini dengan era Orde Baru.
Semisal, Pemilu saat itu hanya diikuti oleh tiga partai politik, tidak adanya capres penantang, hingga bagi mereka yang mau nyaleg harus melewati penelitian khusus dari aparat hanya demi mendapat status 'bersih diri.'
Selain itu, penyelenggara Pemilu tidak independen karena di bawah naungan Departemen Dalam Negeri (Depdagri), dan pengawas Pemilu di Kejaksaan.
Selanjutnya, tidak diperbolehkan adanya pemantau Pemilu. Ditambah adanya jumlah kursi gratis di DPR khusus bagi TNI-Polri.
"Ada sekian jumlah kursi gratis di DPR, yang tidak dipilih dalam Pemilu, bagi TNI dan Polri," tutur Pramono Ubaid.
Dari perbandingan itu semua, Pramono Ubaid menegaskan bahwa Pemilu pasca-reformasi jauh lebih baik ketimbang Pemilu yang berlangsung selama Orde Baru.
"Seberapa pun banyaknya masalah yang ada pada Pemilu pasca-reformasi, termasuk Pemilu 2019, sudah bisa dipastikan masih jauh lebih baik dari Pemilu selama Orde Baru," tegasnya.
Sebelumnya, BW menilai Pemilu 2019 pesta demokrasi terburuk yang pernah diselenggarakan di Indonesia.
Ia membandingkan Pemilu tahun 1955 dengan Pemilu 2019.
Kata dia, Pemilu paling demokratis justru terjadi di awal perang kemerdekaan, semisal tahun 1959 ketika Indonesia dipimpin oleh Presiden Soekarno.
"Inilah Pemilu terburuk di Indonesia, selama Indonesia pernah berdiri," ucap BW di Jakarta Pusat, Jumat (24/5/2019).
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Dahnil Anzar Bilang Bambang Widjojanto Mirip Abraham Lincoln yang Lawan Vampir Pengisap Darah Rakyat