Ada Kelompok yang Tak Ingin Rekonsiliasi Jokowi dengan Prabowo, Moeldoko: Sudah Kami Petakan

Sebut Ada Kelompok yang Tak Ingin Rekonsiliasi Jokowi dengan Prabowo, Moeldoko: Sudah Kami Petakan

KOMPAS.com/KRISTIAN ERDIANTO
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko saat ditemui di sela-sela acara halalbihalal, di rumah dinas Wakil Presiden Jusuf Kalla, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (15/6/2018) 
Moeldoko Sebut Ada Kelompok yang Tak Ingin Ada Rekonsiliasi Jokowi dengan Prabowo: Kelompok Mana Kami Tahu
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - ‎Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan ada kelompok-kelompok yang tidak ingin calon presiden Jokowi dan Prabowo bertemu menggelar rekonsiliasi.

Bahkan masih kata Moeldoko, kelompok tersebut nekat untuk turun ke jalan saat sidang pembacaan putusan sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (27/6/2019) besok.

"Kami mensinyalir proses rekonsiliasi berjalan dengan baik tapi ada kelompok yang tidak bisa menerima itu. Mereka memaksakan diri turun ke jalan. Saya menyayangkan kelompok ini tidak menginginkan rekonsiliasi," kata Moeldoko di Komplek Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (26/6/2019).

Mantan Panglima TNI ini bahkan mengaku sudah memetakan kelompok-kelompok mana saja yang tidak menginginkan rekonsiliasi.

Kelompok tersebut terus dipantau dan diawasi pergerakannya.
"Kami sudah tahu siapa-siapa saja, kelompok mana saja, sudah kami petakan dan mappping semua. Kami juga waspadai apabila terjadi sesuatu pada tanggal 27 atau mungkin setelah itu. Tapi mudah-mudahan tidak ada," ‎ungkap Moeldoko.

Moeldoko juga menekankan masyarakat sangat menginginkan suasana berjalan dengan baik dan kondusif saat keputusan esok.

‎"Saya pikir kita semuanya sudah sepakat ya, bahwa langkah atau pendekatan menuju ke MK adalah pendekatan terbaik. Untuk itu menurut saya, apapun hasilnya harus bisa menerima dengan baik," katanya.

Tidak harus ada pembagian kekuasaan

Wakil Sekretaris Jenderal PAN yang juga juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga Saleh Partaonan Daulay mengatakan dalam menjalin rekonsiliasi tidak harus ada pembagian kekuasaan (power sharing).

Menurutnya rekonsiliasi dijalin bukan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, melainkan untuk kepentingan bangsa.

"Engga mesti ya karena dalam rekonsiliasi itu kepentingan yang diajukan bukan sektoral parpol tapi keptingan bangsa dan negara. Kalau masih terus-terusan ribut maka engga akan selesai," kata Saleh di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (24/6/2019).

Selain itu, menurut Saleh, dalam menjalin rekonsiliasi, tidak berarti harus mengakomodir semua partai masuk ke dalam pemerintahan.

Dalam negara demokrasi harus tetap ada oposisi yang mengawasi pemerintahan.

"Dan harus dijaga kunci oposisi yang konstruktif, karena tanpa itu maka terlalu kuat pemerintahan, karena engga ada yang koreksi sama sekali dan sampaikan sesuatu yang berbeda, itu sangat tidak tepat," katanya.

Saleh sendiri berharap rekonsiliasi antara kubu Jokowi dan Prabowo dapat terjalin.

Sehingga, pemerintahan dapat berjalan dan memenuhi janji-janjinya kepada masyarakat.

"Karena tugas kedepan banyak, berikan pelayanan pada masyarakat secara maksimal.jadi jangan terus terusan ribut" katanya.

Respons politikus PDIP

Ketua DPP PDIP Andreas Hugo Pareira menilai tidak perlu adanya pembagian kekuasaan (power sharing) dengan partai oposisi dalam rangka rekonsiliasi pasca Pemilu Presiden 2019.

Menurutnya apabila ada pembagian kekuasaan maka tidak akan ada ruang menjadi penyeimbang atau pengoreksi pemerintah.

“Siapa yang akan jadi partai penyeimbang di luar? Kami PDIP ini sudah pernah menjadi partai yang di luar pemerintahan 10 tahun dan kami merasakan betul manfaat jadi partai penyeimbang di luar pemerintahan itu penting,” kata Andreas di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (20/6/2018).

Keberadaan oposisi dalam sebuah pemerintahan demokrasi menjadi sangat penting.

Keberadaan oposisi dapat menjadi pembelajaran politik bagi masyarakat.

“Penting buat pendidikan politik bagi masyarakat. Karena toh kita kan harus tanggung jawab dengan konstituensi kita juga. Yang melihat bahwa kita selama pemilu kan berbeda pendapat,” tuturnya.

Selain itu, bila kemudian tidak ada oposisi maka masyarakat akan melihat bahwa politik selama ini hanya bertujuan pragmatris.

Pertarungan politik akan dinilai hanya sebagai perebutan kekuasaan saja.

“Kalau tidak konstituen kita melihat, hanya karena kekuasaan lalu kau mengorbankan kemudian apa-apa yang kau pikirkan sebelumnya. Itu kan engga bagus juga untuk pembelajaran politik. Apa artinya selama kampanye kita berbeda pendapat dan berdialog berdiksusi beda pendapat dalam melihat persoalan?” katanya.

Jokowi buka peluang

Presiden Joko Widodo membuka pintu selebar-lebarnya bagi partai politik oposisi untuk bergabung bersama partai politik pendukung pemerintah periode 2019-2024.

Terutama bagi Partai Gerindra yang dipimpin rival Jokowi dalam Pilpres 2019, Prabowo Subianto.

Sebagaimana dikutip dari wawancara khusus dengan Jakarta Post, Rabu (11/6/2019) kemarin, Jokowi mengaku, membuka diri bagi siapa saja yang ingin bekerja sama membangun negara.

“Saya terbuka kepada siapa saja yang ingin bekerja sama untuk mengembangkan dan membangun negara bersama,” ujar Jokowi saat ditanya spesifik mengenai kemungkinan masuknya Gerindra ke koalisi pendukung pemerintah.

“Sangat tidak mungkin bagi kami untuk membangun negara sebesar Indonesia sendirian. Kami membutuhkan kerja bersama,” lanjut dia.

Posisi Gerindra di DPR periode 2019-2024 relatif kuat. Pada Pileg 2019, Gerindra menempati urutan ketiga parpol yang memperoleh suara terbanyak dengan 17.594.839 suara atau 12,57 persen.

Meski demikian, Jokowi menegaskan, prinsip yang akan dikedepankan adalah musyawarah untuk mufakat sekaligus kontrol yang baik dalam menjalankan pemerintahan.

“Semangat kita tetap musyawarah untuk mufakat. Bagaimanapun, sebuah negara demokrasi besar tetap membutuhkan kontrol, baik dari internal maupun dari eksternal,” ujar Presiden.

Lebih akrab dengan Gerindra Masih dikutip dari Jakarta Post, elite tiga parpol pendukung pemerintah, yakni PDI-P, PKB dan PPP juga telah berbincang mengenai kemungkinan mengundang Gerindra bergabung ke koalisi.

Koalisi sudah gemuk

Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar (Cak Imin) menilai kalau sampai saat ini partai pendukung koalisi pasangan Jokowi-Maruf Amin sudah cukup besar.

Cak Imin mengisyaratkan untuk komposisi partai pendukung di koalisi paslon 01 sudah cukup, sehingga tidak memerlukan adanya penambahan partai politik oposisi untuk bergabung.

Namun, Cak Imin pun tidak mempermasalahkan kalau pada akhirnya terdapat partai oposisi yang bergabung jikalau hal itu dilakukan dalam rekonsiliasi nasional.

"Sementara yang ada saja," ucap Cak Imin saat ditemui di Kantor DPP PKB, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (17/6/2019).

"Ya pada dasarnya koalisi pendukung 01 sudah gemuk ya. Jumlahnya besar, sehingga di DPR tak perlu tambahan lagi. Tapi kalau dalam rekonsiliasi nasional, why not, tak masalah," tambahnya.

Sebelumnya, Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN) mengisyaratkan bergabung ke koalisi pendukung paslon 01, Jokowi-Maruf Amin.

Kabar tersebut pun diawali dari pertemuan antara Komandan Kogasma Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan Jokowi di Istana Negara.

Selanjutnya, berkembang ketika AHY bersama Edhy Baskoro Yudhoyono (Ibas) mengunjungi Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri pada moment Idul Fitri, lalu.

Sementara, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan pun pernah bertemu dengan Presidem Jokowi usai Pilpres 2019.

Pertemuan keduanya diisukan membahas soal koalisi. (*)

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Moeldoko Petakan Kelompok yang Tidak Terima Adanya Rekonsiliasi Jokowi dengan Prabowo

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved