KILAS BALIK
Ramai Isu Susunan Kabinet Jokowi 2019-2024, Begini Sistem Penyusunan Kabinet di Era Soeharto
Soeharto sangat terpukul menerima surat yang ditandatangani 14 menteri di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Ekuin, Ginanjar Kartasasmita
TRIBUNBATAM.id - Di akhir kekuasaannya, Soeharto menyisakan cerita sedih.
Diketahui, Soeharto berkuasa kurang lebih 32 tahun berkuasa.
Dilansir dari Kompas.com dalam artikel 'VIK "Kejatuhan Soeharto", Kisah Soeharto pada Pengujung Kekuasaan', hal miris itu menimpa Soeharto pada 20 Mei 1998, sehari sebelum Soeharto mengumumkan pengunduran diri dari jabatan presiden.
Saat itu, tergambar sosok Soeharto yang tak berdaya saat situasi politik semakin menyudutkan posisinya.
Bermacam cara Soeharto untuk bertahan terlihat sia-sia karena desakan mundur yang semakin kuat.
• Butuh Akses Internet? Inilah Panduan Mendapatkan Wi-Fi Gratis di Singapura
• BREAKINGNEWS - Sodorkan HP Ingin Tanya Jalan, Turis Korea Justru Dijambret & Terseret di Aspal Batam
• Perempuan Ini Nyamar Jadi Jemaah Laki-laki di Pengajian Akbar, Polisi Syok Geledah Isi Tasnya
• Warga Protes Oli Bekas Dibuang ke Drainase, Begini Jawaban Kontraktor Proyek Masjid Agung II Batam

Soeharto bahkan digambarkan begitu bimbang dan nelangsa saat "ditinggalkan" 14 menteri yang enggan dilibatkan dalam Komite Reformasi.
Ketika itu, Presiden Soeharto masuk ke kamar di kediamannya, Jalan Cendana, Jakarta Pusat, begitu menerima surat dari ajudan, Kolonel Sumardjono.
Surat yang diterima pukul 20.00 WIB itu berisi penolakan 14 menteri bidang ekonomi, keuangan, dan industri (ekuin).
Mereka tidak mau terlibat dalam Komite Reformasi atau kabinet baru hasil reshuffle nantinya.
Soeharto sangat terpukul menerima surat yang ditandatangani 14 menteri di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Ekuin, Ginanjar Kartasasmita.
Betapa tidak, Komite Reformasi dan reshuffle memang dipersiapkan Soeharto sebagai solusi atas tuntutan reformasi yang disuarakan masyarakat, termasuk menuntut pergantian kepemimpinan nasional.
Selain itu, alinea pertama surat itu secara implisit juga meminta "Jenderal yang Tersenyum" itu untuk mundur.

Penolakan 14 menteri itu menambah deretan penolakan. Sebelumnya, tokoh seperti Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid juga tidak bersedia terlibat dalam Komite Reformasi.
Kondisi saat itu memang tidak menguntungkan Soeharto.
Aksi unjuk rasa yang menuntut reformasi berubah menjadi tragedi setelah empat mahasiswa Universitas Trisakti terbunuh pada 12 Mei 1998.
Kerusuhan bernuansa rasial pun meletus pada 13-15 Mei 1998, yang membuat Jakarta terasa lumpuh.
Aksi demonstrasi mahasiswa juga semakin besar hingga bergerak masuk dan menguasai kompleks parlemen pada 18 Mei 1998.
Kondisi ini menyebabkan Harmoko, yang beberapa bulan sebelumnya meminta Soeharto jadi presiden, kini malah meminta Soeharto mundur.
Soeharto merasa ditinggalkan. Apalagi, dia merasa menjadi presiden bukan atas keinginan pribadi. Ini tersirat dalam pidatonya usai bertemu sejumlah tokoh pada 19 Mei 1998.
"Sebelumnya saya sudah mengatakan, apakah benar rakyat Indonesia masih percaya kepada saya, karena saya sudah 77 tahun," tutur Soeharto, dikutip dari buku Detik-detik yang Menentukan (2006) yang ditulis BJ Habibie.
"Rasanya kalau saya meninggalkan begitu saja lantas bisa dikatakan ‘tinggal gelanggang colong playu’. Artinya meninggalkan keadaan yang sebenarnya saya harus bertanggung jawab," kata Soeharto.

Adik Soeharto, Probosutedjo, mengungkapkan bahwa Bapak Pembangunan itu terlihat gugup dan bimbang pada Rabu malam itu.
"Suasana bimbang ini baru sirna setelah Habibie menyatakan diri siap menerima jabatan Presiden," ujar Probosutedjo.
Jelang tengah malam, Soeharto memerintahkan ajudan untuk memanggil ahli hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra, Mensesneg Saadilah Mursjid, dan Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto.
Soeharto berbulat hati untuk mundur esok hari, 21 Mei 1998. Kekuasaan akan diserahkan kepada Wapres BJ Habibie.
Tidak banyak yang tahu, malam sebelum mengambil keputusan berat itu sempat ada pertentangan dari anak-anak Soeharto.
Putri sulung Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana mengungkapkan hal itu dalam tulisan berjudul 'Bapak Kami Melarang Dendam' yang diunggah di blog pribadinya (tututsoeharto.id), Senin (21/5/2018) .
Diceritakan Mbak Tutut, pada saat Soeharto memutuskan berhenti dari jabatan Presiden, dia memanggil anak-anaknya.
"Kami terus terang pada saat itu agak tidak rela kenapa bapak yang sudah bekerja seluruh hidupnya untuk bangsa dan negara ini diperlakukan demikian.
Kami memohon bapak untuk menunda dulu keputusan beliau," tulis Mbak Tutut.

Soeharto lalu bertanya alasan anak-anaknya menolak keputusannya.
Menurut Mbak Tutut, saat itu dia dan adik-adiknya beranggapan pendukung bapaknya masih banyak sekali dan siap maju.
Mereka juga siap turun ke jalan melawan demonstrasi yang saat itu berlangsung.
Hal itu dilakukan untuk menunjukkan bahwa Soeharto tidak bersalah dan dia tidak sendiri karena masih banyak rakyat yang loyal.
Lalu, meluncurlah kalimat bijaksana dari Soeharto.
“Sadarkah kalian setelah mereka (pendukungmu/yang mendukung Bapak) turun ke jalan, akan banyak lagi korban.
Tidak!!!!
Bapak tidak mau itu terjadi, hanya untuk mempertahankan kedudukan bapak dan semakin banyak lagi korban akan berjatuhan.
Lebih baik bapak berhenti, kalau memang sudah tidak dikehendaki untuk menjadi Presiden.
Kalian harus merelakan semua ini. Percayalah bahwa Allah tidak tidur.
Dan satu hal bapak minta pada kalian semua, jangan ada yang dendam dengan kejadian ini, dan jangan ada yang melakukan balas dendam, karena dendam tidak akan menyelesaikan masalah.”

Ucapan Soeharto ini membuat anak-anaknya terdiam.
“Lagi pula kalau kamu balas dendam, belum tentu akan mengubah hidup kalian jadi lebih baik, yang ada malah mereka yang kalian balas itu belum tentu juga mau menerima, dan mereka akan membalas lagi.
Masalahpun tidak terselesaikan, malah yang terjadi permusuhan berkepenjangan, sampai kapan, tak ada yang tau.
Bersabarlah anak-anakku, karena orang sabar disayang Allah,” ucap Soeharto kala itu yang ditulis lagi oleh Mbak Tutut.
Artikel ini telah tayang di surya.co.id dengan judul Nasib Miris Soeharto 'Ditinggalkan' 14 Menterinya di Akhir Kekuasaan, Begitu Bimbang dan Nelangsa