Syafruddin Tumenggung Bebas jeratan Korupsi, Sjamsul Nursalim Bisa melenggang Bebas?

Dengan bebasnya Syafruddin Tumenggung, apakah bisa membuat Sjamsul Nursalim yang saat ini bersembunyi di Singapura bisa melenggang?

Kontan/Gatra
Sjamsul Nursalim dan tambak udang Dipasena Lampung 

TRIBUNBATAM.ID, JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan putusan mengejutkan, mengabulkan kasasi terdakwa kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Temenggung, Selasa (9/7/2019).

Disebut mengejutkan karena beberapa waktu lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru menetapkan status tersangka pada bos Bank BDNI Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, terkait kasus yang sama.

Dengan bebasnya Syafruddin Tumenggung, apakah bisa membuat Sjamsul Nursalim yang saat ini bersembunyi di Singapura bisa melenggang?

MA menyatakan, Syafruddin terbukti melakukan tindakan tersebut tetapi perbuatan itu tak dikategorikan sebagai tindak pidana. Dengan demikian, Syafruddin Temenggung bebas dari jerat hukum.

MA Kabulkan Kasasi Terdakwa Kasus BLBI, Syafruddin Tumenggung

Jadi Tersangka Kasus BLBI, Ini Sepak Terjang Sjamsul Nursalim sebagai Pengusaha

KPK Bongkar Megakorupsi BLBI, Sjamsul Nursalim dan Istri Jadi Tersangka

Putusan tersebut termaktub dalam amar putusan No. 1555K/PID.SUS-TPK/2019.

Syafruddin awalnya divonis 13 tahun penjara di pengadilan Tipikor tingkat pertama, kemudian ditambah menjadi 15 tahun oleh 

"Menyatakan Syaruddin Arsyad Temenggung terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan kepadanya. Akan tetapi, perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana," ujar Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah dalam konferensi pers di Gedung MA, Selasa (9/7/2019).

"Melepaskan Terdakwa oleh karena itu dari segala tuntutan hukum. Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, harkat, dan martabatnya Terdakwa dikeluarkan dari tahanan. Menetapkan barang bukti dikembalikan kepada Terdakwa," kata dia.

Abdullah menambahkan, putusan dalam perkara tersebut tidak bulat, sebab ada dissenting opinion di dalamnya.

"Dalam putusan tersebut, ada dissenting opinion. Jadi tidak bulat. Ketua majelis sependapat dengan judex factii dengan pengadilan tingkat banding. Hakim Anggota I, Chaniago, berpendapat bahwa perbuatan Terdakwa perbuatan hukum perdata," ujar Abdullah.

"Hakim Anggota II, berpendapat terdakwa perbuatan tersebut merupakan ranah hukum administrasi," kata dia.

Syafruddin Temenggung mengajukan kasasi setelah Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukumannya menjadi 15 tahun penjara dari vonis 13 tahun penjara yang dijatuhkan Pengadilan Tipikor.

Mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional itu dinilai terbukti merugikan negara sekitar Rp 4,58 triliun terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

Sebelumnya. jaksa KPK juga mengajukan kontra-kasasi ke MA terkait kasus Syafruddin Temenggung.

Kasasi ini adalah jawaban jaksa atas kasasi yang lebih dulu diajukan Syafruddin ke MA.

"Kami penuntut umum mengambil sikap menjawab kasasi dengan mengajukan kontra memori kasasi," ujar jaksa Haerudin di Pengadilan Tipikor Jakarta, 13 Maret lalu.

Menurut Haerudin, setelah tim jaksa KPK mempelajari salinan lengkap putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Namun, Syafruddin yang tidak puas dengan putusan itu memang diberikan hak oleh undang-undang untuk menempuh upaya hukum kasasi ke MA.

"Penuntut umum berkesimpulan, pertimbangan hukum dalam tuntutan maupun putusan Pengadilan Tinggi itu sudah sejalan," kata Haerudin.

Syafruddin sidakwa merugikan negara sekitar Rp 4,58 triliun terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

Perbuatan Syafruddin telah memperkaya Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004.

Syafruddin selaku Kepala BPPN melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM).

Selain itu, Syafruddin disebut telah menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham.

Padahal, Sjamsul Nursalim belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan (misrepresentasi) dalam menampilkan piutang BDNI kepada petambak, yang akan diserahkan kepada BPPN.

Perbuatan Syafruddin dinilai telah menghilangkan hak tagih negara terhadap Sjamsul Nursalim.

Sjamsul Nursalim Tersangka

KPK umumkan pengendali saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim sebagai tersangka
KPK umumkan pengendali saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim sebagai tersangka (Ilham Rian Pratama/Tribunnews.com)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya mengumumkan pengendali saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim sebagai tersangka.

Kedua pasangan suami-istri itu diduga terlibat dalam kasus korupsi terkait Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI dari BPPN.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan setelah melakukan proses penyeIidikan dan ditemukan bukti permulaan yang cukup, KPK membuka penyidikan baru dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama dengan Syafruddin Arsyad.

"KPK kemudian menetapkan SJN (Sjamsul Nursalim), selaku pemegang saham pengendali BDNl dan ITN (Itjih Nursalim) selaku swasta sebagai tersangka," ujar Saut di Gedung Merah Putih KPK, Setiabudi, Jakarta Selatan, Senin (10/6/2019).

Saut mengatakan bahwa Sjamsul Nursalim telah diperkaya Rp 4,58 triliun oleh tindakan Syafruddin Arsyad Temenggung sesuai dengan pertimbangan putusan Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.

Sjamsul dan Itjih disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Namun untuk diketahui, saat ini Sjamsul dan Itjih tengah berada di Singapura meskipun keduanya telah resmi ditetapkan KPK sebagai tersangka.

Maka dari itu, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menegaskan agar Sjamsul dan Itjih bersikap kooperatif. Yaitu KPK mengharapkan Sjamsul dan Itjih untuk dapat segera kembali ke Jakarta.

KPK, kata Laode, telah mengirimkan surat panggilan ke 4 lokasi, antara lain The Oxley, Singapura; Cluny Road, Singapura; Head Office of Giti Tire Pte.Ltd, Singapura; dan Rumah Sjamsul dan Itjih di Simprug, Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

"KPK telah mengirimkan surat secara patut pada alamat yang tercatat secara formil dan alamat Iain di Indonesia dan Singapura. Surat permintaan keterangan tersebut pun telah diumumkan secara terbuka ke publik melalui media massa di Indonesia," tegas Laode di Gedung Merah Putih KPK, Setiabudi, Jakarta Selatan, Senin (10/6/2019).

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan taipan Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, sebagai tersangka skandal BLBI atau Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.

Sjamsul Nursalim adalah pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang mendapat kucuran BLBI tahun 2004 setelah kredit macet Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI yang dikucurkan kepada perusahaannya sendiri, Dipasena Group.

Aset Disita KPK

Selain penetapan sebagai tersangka, Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif juga menyebutkan akan menyita aset Sjamsul Nursalim untuk memaksimalkan upaya asset recovery terhadap kerugian negara senilai Rp 4,58 triliun tersebut.

Laode menuturkan, tim Unit Pelacakan Aset, Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi (Labuksi) KPK tengah melacak sejumlah aset Sjamsul Nursalim.

Sjamsul sendiri saat ini menetap di Singapura, namun kerajaan bisnisnya masih cukup besar di Indonesia melalui Gajah Tunggal Group.

Penetapan Sjamsul dan Itjih sebagai tersangka diawali dengan SPDP yang dikirim KPK kepada mereka berdua pada 17 Mei 2019 ke tiga alamatnya di Singapura dan satu lokasi di Jakarta, Indonesia.

Lokasi tersebut yaitu The Oxley, Cluny Road, Head Office of Giti Tire Pte.Ltd di Singapura dan Rumah di Simprug, Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta.

Sjamsul dan Itjih sudah dipanggil KPK sebanyak tiga kali, yakni pada Oktober 2018 sebanyak dua kali, dan Desember 2018 satu kali.

Ketidakhadiran mereka di muka hukum memungkinkan KPK untuk menyidangkan Sjamsul dan Itjih secara in absentia atau tanpa kehadiran terdakwa di pengadilan.

 "Kalau yang bersangkutan dipanggil tidak hadir entah karena kesehatan, usia atau alasan lain, dimungkinkan dalam hukum acara pidana disidangkan dengan cara in absentia," kata Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, beberapa weaktu lalu.

Dari Ban Hingga Softek

PT Gajah Tunggal Tbk milik keluarga Nursalim melantai di bursa dengan kode emiten GJTL.

Usahanya meliputi pengembangan, pembuatan dan penjualan barang-barang dari karet, termasuk ban dalam dan luar segala jenis kendaraan, flap dan rim tape serta juga produsen kain ban serta karet sintesis.

GJTL memproduksi ban dengan merek Zeneos dan GT Radial.

Gajah Tunggal memiliki sejumlah anak usaha, di antaranya PT Softex Indonesia yang memproduksi pembalut wanita, PT Filamendo Sakti, pabrik benang serta PT Dipasena Citra Darmadja, usdaha tambak udang yang mkendapat kucuran BLBI di Lampung.

Nursalim juga pemilik saham perusahaan petrokimia Polychem Indonesia Tbk --dulu GT Petrochem-- yangt pemproduksi poliester dan zat kimia, etilena glikol.

Perusahaan ini juga melantai di bursa dengan kode ADMG.

Nursalim juga pemegang merek sejumlah ritel dan gerai merek ternama untuk Indonesia, seperti Starbuck, Burger King, Sogo, Zara dan Sport Station.

Sengketa dengan Petambak

Dalam persidangan, Juli 2018, para petambak udang yang bekerja sama dengan PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM) milik Dipasena Group juga dihadirkan dalam persidangan di Pengadilan Tipikor sebagai saksi.

Lima petambak bersaksi untuk terdakwa Syafruddin.

Dalam persidangan, para petambak mengaku diperas oleh PT DCD dan PT WM milik Sjamsul Nursalim itu.

"Kami dijadikan seperti sapi perah dan bebek petelur," ujar Towilun, seorang petambak.

Menurut Towilun, awalnya pada 1995 dia ditawari kerja sama oleh PT DCD. Saat perjanjian kerja sama dilakukan, para petambak dikumpulkan dalam suatu ruangan.

Para petambak diminta menandatangani perjanjian kerja sama tanpa diperbolehkan membaca surat perjanjian oleh pihak DCD.

Hal serupa juga terjadi saat petambak diminta menandatangani akta kredit.

Menurut Towilun, petambak dijanjikan kredit Rp 135 juta. Dalam pengarahan, petambak diberi tahu bahwa petambak dapat melunasi utang setelah bekerja selama 6-8 tahun dan setelah itu tambak menjadi hak milik petani.

"Yang Rp 90 juta investasi perlengkapan budidaya. Yang Rp 45 juta buat modal kerja, beli pakan, beli telur dan kebutuhan hidup," kata Towilun.

Faktanya, setiap petambak tidak diberikan uang tunai Rp 135 juta. Dipasena memberikan secara bertahap berupa modal kerja dan investasi perlengkapan.

Setelah itu, menurut Towilun, petambak tidak pernah diberi tahu sampai kapan utangnya akan lunas. Petambak hanya diminta menyerahkan seluruh hasil tambak udang untuk dijual oleh PT DCD.

"Setelah udang panen, harus diserahkan pada perusahaan. Kami tidak menerima duit, hanya laporan dalam bentuk kertas," kata Towilun.

Menurut Towilun, harga penjualan udang oleh PT DCD paling rendah mencapai Rp 181 juta dalam sekali panen, namun harga beli dari petambak jauh lebih murah.

Selain itu, perusahaan tidak pernah menjelaskan posisi utang para petambak.

Menurut Towilun, apabila hal itu ditanyakan, petambak justru akan mendapat intimidasi dari pihak perusahaan.

Belakangan, kredit petani ke BDNI macet, namun oleh BPPN, pembayarannya tidak dibvebankan kepada DCD sebagai penjamin.

Auditor dari kantor akuntan publik Prasetio Utomo and Co, Rukyat Kosasih dalam kesaksiannya menyebutkan bahwa kredit dari PT DCD dan WM kepada plasma, atau para petambak udang macet.

Begitu juga utang PT Dipasena kepada BDNI juga macet dan melampui plafon yang disepakati.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved