DEMO HONG KONG

Demo Hong Kong Mereda, Tapi Helm, Masker Gas, Payung Hingga Tato Makin Laris-manis. Ada Apa?

Selain untuk mengantisipasi jika aksi demo kembali muncul, perlengkapan demo laris karena ingin menjadikannya sebagai aksesoris

South China Morning Post/Instagram
Demo Hong Kong mereda, berbagai peralatan demo dan tato laris-manis sebagai asesoris perjuangan 

TRIBUNBATAM.ID, HONG KONG - Hari Minggu dua hari lalu, demo Hong Kong mencapai puncaknya ketika pasukan payung memenuhi Victoria Park. Hebatnya, demo berlangsung sangat damai.

Setelah itu, hingga Selasa hari ini, belum ada tanda-tanda demo Hong Kong akan kembali dimulai, kecuali propaganda di media sosial, seperti seruan boikot film Mulan, produk pro-Beijing dan pemerintah atau seruan mogok belajar.

Namun yang menarik, berbagai perlengkapan demo, seperti payung, helm, masker gas yang disebut "masker mulut babi" hingga tongkat menjadi benda yang paling banyak dicari masyarakat Hong Kong.

Berbagai lapak yang menjual asesoris demo diserbu pembeli.

Ramalan Zodiak Rabu 21 Agustus 2019, Virgo Dikejar Takut, Leo Menawan, Cancer Berlebihan

Demo Hong Kong Berakhir, Seruan Mogok Belajar Jadi Cara Baru Melawan Pemerintah

Bursa Transfer Liga 1 2019 - Persib Bandung Resmi Kenalkan 3 Pemain Asing Baru, Ini Targetnya

Lee Ching-hei, misalnya, yang mengelola dua lapak pop-up di Hong Kong, menjual asesoris demo ini, seperti helm, kacamata, dan masker gas di distrik Mong Kok dan Tai Po, dua titik utama demo Hong Kong yang paling keras selama dua bulan terakhir.

"Kami menjual 50 hingga 60 set masker gas dan dalam satu jam semuanya terjual habis," kata pebisnis berusia 33 tahun itu seperti dilansir South China Morning Post, Selasa (20/8/2019).

Lee yang telah menjadi penjual topeng gas yang paling populer sepanjang aksi demo mengatakan, di saat demo mereda pun, peralatan tersebut tetap laku keras.

Ada dua alasan barang-barang itu menjadi buruan warga. Pertama, untuk mengantisipasi jika aksi demo kembali muncul serta alasan lain yang tak kalah menraik, sebagai aksesoris

Alasan kedua sepertinya lebih mendominasi karena demo Hong Kong menjadi "mainan" baru anak-anak muda Hong Kong yang ingin membuat sejarah dalam gerakan demokrasi Hong Kong.

Demo Hong Kong selama libur musim panas ini adalah yang terbesar sepanjang sejarah, jauh lebih besar dari aksi penolakan penyerahan Hong Kong dari Inggris ke China tahun 1997 serta demo tahun 2014.

Sejak 2014, payung sudah menjadi ciri khas demonstran, sebagai perisai, tempat persembunyian dari incaran kamera polisi hingga senjata jika sewaktu-waktu terjadi aksi kekerasan.

Demo yang dimulai pada 8 Juni 2019 lalu untuk menentang RUU ekstradisi dan tidak berhenti selama 11 minggu atau hampir tiga bulan, payung masih menjadi ciri khas.

Namun, bentrokan, anarkisme, provokasi terjadi dimana-mana serta mendapat perhatian penuh dunia internasional.

Meskipun hanya puluhan ribu orang yang menjadi demonstran garis keras --dari jutaan warga yang ikut demo-- namun membuat aksi ini menjadi isu penting bagi Beijing, Hong Kong, bahkan menular ke berbagai negara lain.

Sejak polisi menggunakan gas air mata pada 11 Juni, masker gas dan kacamata mulai menjadi perburuan pendemo.

Apalagi setelah itu, aksi ini berubah menjadi provokatif dan anarkis pada Juli lalu sehingga tembakan gas air mata memenuhi udara Hong Kong di berbagai titik kerumunan demonstran.

Pendemo juga mulai mempersenjatai diri mereka dengan bom molotov dan senter laser untuk mengganggu pandangan polisi.

Lee mengatakan, dia menjual berbagai asesoris itu dengan memberikan diskon besar kepada siswa --hampir 90 persen-- karena ia ingin terlibat dalam mendukung aksi ini, meskipun ceruk bisnis jualannya juga sangat besar.

Masker gas terbaik dijual dengan harga sekitar HK $ 1.000 (sekitar Rp 1,8 juta, tetapi semakin sulit didapat karena banyak toko yang kehabisan.

Lee kemudian berusaha mencari masker yang biasa digunakan di pabrik kimia tersebut dan menjualnya dengan harga murah.

"Anak-anak muda bahkan tidak takut mati. Mengapa kita harus takut bangkrut?” Katanya yang mengaku menjual rugi masker-masker tersebut.

Sebagian besar pengunjuk rasa pro-demokrasi Hong Kong umumnya mahasiswa dengan hampir setengahnya berusia dua puluhan, menurut survei terbaru oleh beberapa universitas.

Lee menggunakan Facebook dan Telegram --aplikasi yang populer di kalangan pengunjuk rasa-- untuk mengiklankan barang-barangnya.

Dia menyewa sebuah toko perhari, tetapi mengomel karena naiknya harga sewa karena banyak yang tidak berani menyewakan untuknya dengan alasan takut pemerintah.

Tato Perjuangan

Lain Lee yang panen asesoris demo, lain lagi cerita ahli tato David Zuleta yang juga menjadi serbuan para anak muda.

Gerai tatonya saat ini laris-manis oleh kalangan muda yang ingin merancah kulitnya dengan simbol-simbol demo Hong Kong.

Ada yang menggambar masker, payung, bunga lambang Hong Kong serta kata-kata yang populer selama aksi demo.

Tak hanya pria, para wanita juga juga melukis kulit mereka dengan berbagai lambang yang menggambarkan demo tersebut.

Tato dengan simbol-simbol perjuangan Hong Kong laris-manis

Tidak hanya para demonstran, para ekspatriat di Hong Kong ini juga ikut-ikutan mentato kulitnya untuk mennjukkan solidaritas.

Sage Victor, misalnya, pemuda 19 tahun yang tinggal di Hong Kong bersama orangtuanya enam tahun lalu dari Los Angeles mengatakan bahwa sejak protes Pendudukan Hong Kong (oleh China) pada tahun 2014, ia sudah tertarik dan demo kali ini, ia ikut bergabung dengan ribuan pendemo.

“Tato adalah sebuah cara bagiku untuk mengingat perjuangan yang telah terjadi di Hong Kong. Itu melambangkan gagasan besar dan aksi heroik yang tidak akan pernah dilupakan. Saya bangga ada di dalamnya," katanya.

Ia membuat sejumlah lambang di tubuhnya, seperti bunga bauhinia (lambang Hong Kong), payung serta garis-garis yang melambangkan gedung pencakar langit.

Apapun simbol atau lambang yang dibuat oleh para pekerja seni tato ini selalu menarik bagi para anak muda Hong Kong. 

Zuleta, seniman tato yang terkenal dengan nama "Vidzul" mengatakan, ia menciptakan berbagai pilihan desain untuk kliennya yang menekankan "revolusi dan perdamaian".

Zuleta yang berasal dari Kolombia ini sudah bekerja di Hong Kong selama satu dekade dan mengatakan, banyak anak-anak Hong Kong yang ingin mengingat momen demonstrasi ini untuk waktu yang lama.

"Banyak yang ingin membuat tato permanen untuk menujukkan garis perjuangan mereka. Tetapi saya selalu menyarankan agar tidak perlu melukiskan hal-hal yang provokatif karena tato adalah seni," katanya.

Begitulah para anak muda Hong Kong yang saat ini ingin membuat "sejarah hari ini" untuk perjuangan mereka, agar bisa diingat sebagai sejarah pada masa yang akan datang.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved