SEDERET FAKTA Kerajaan Sriwijaya yang Heboh Karena Disebut Fiktif, Harta Karun Hingga Arkeologi

Warga sempat heboh mencari harta karun yang diperkirakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya

KOMPAS/IRENE SARWINDANINGRUM
Kanal kuno peninggalan zaman Kerajaan Sriwijaya menjadi bagian dalam pertunjukan teatrikal Pelayaran Bersejarah Kerajaan Sriwijaya pada pembukaan Festival Sriwijaya di Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya, di Palembang, Sumatera Selatan, Senin (16/6/2014) malam. Festival yang digelar hingga 22 Juni itu diselenggarakan di situs pusat Kerajaan Sriwijaya dengan maksud memperkenalkan kembali dan melestarikan sejarah Sriwijaya 

#SEDERET FAKTA Kerajaan Sriwijaya yang Heboh Karena Disebut Fiktif, Harta Karun Hingga Arkeologi#

TRIBUNBATAM.id - Nama Kerajaan Sriwijaya belakangan ini jadi perdebatan dimana-mana.

Ini Pasca muncul pernyataan kontroversial dari Ridwan Saidi, budayawan Betawi bahwa sejartah kerjaaan Sriwijaya cuma fiktif belaka.

Pada akhir Juni 2019 lalu, Komunitas Petualang Metal Detector Indonesia berburu benda bersejarah Kerajaan Sriwijaya.

Arya, salah satu anggota komunitas tersebut, mengatakan, penggunaan metal detector mempercepat pencarian jejak peninggalan zaman Sriwijaya dibandingkan dengan cara-cara manual.

"Di Sumsel saya yang pertama menggunakan metal detector sejak 2017. Tahun 2019 sudah mulai banyak yang ikut pakai metal detector, memang dalam memastikan posisi jejak sejarah jauh lebih akurat," ujar Arya di Palembang, Selasa (25/6/2019).

Hasil Sriwijaya FC vs PSGC Ciamis, Sriwijaya FC Berhasil Membalas Ketertinggalan, Babak I Seri 1-1

Sayap Pesawat Sriwijaya Air Rute Jakarta-Batam Rusak, Begini Kata Manajemen

Arya sendiri mengaku telah mengumpulkan 100 koleksi jejak Kerajaan Sriwijaya, seperti koin, kalung, manik-manik, tombak, dan cincin sejak menggunakan metal detector.

Mayoritas penemuan berada di pinggiran dan di dalam Sungai Musi di wilayah Mariana, Kedukan Bukit, Ujung Borang, dan Ujung Kenten.

"Dalam memastikan itu peninggalan zaman Sriwijaya atau bukan, saya bertanya dan belajar dari dosen-dosen sejarah di Palembang atau bertanya kepada pemburu lain. Jika asli, akan saya simpan di rumah," katanya.

Barang-barang bersebut tidak ia perjualbelikan. Namun, jika ada peneliti dari luar negeri, seperti Spanyol, Afrika, Singapura, dan Makau, akan diberikan sebagai buah tangan.

"Mungkin bagi orang lain, peninggalan sejarah tidak ada artinya, tapi bagi saya ini sudah jadi hobi sejak kecil serta tujuannya menjaga aset sejarah," kata Arya.

Seorang pemburu benda zaman Kerajaan Sriwijaya yang tergabung dalam Komunitas Petualang Metal Detektor Indonesia, Arya, nampak tengah mendeteksi benda bersejarah di pinggir Sungai Musi.(Antara News Sumsel/Arya/Aziz Munajar/19)

Sementara itu, di Ogan Komering Ilir, warga sempat heboh mencari harta karun yang diperkirakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya.

Harta karun ditemukan sejak 2015 setelah kebakaran hutan di wilayah Sungai Bagan, Kanal 12, Pulau Tengkoran, Pulau Pisang, dan Kemada, serta beberapa situs di wilayah Desa Ulak Kedondong, Kecamatan Cengal, termasuk Talang Petai.

Ringgu, salah satu tokoh pemuda setempat, mengatakan untuk mencari harta karun, warga rela berkemah berhari-hari.

Untuk menuju ke Talang Petai, butuh waktu 2 jam dengan naik perahu menyusuri sungai menuju Selat Bangka dengan menyewa perahu Rp 1 juta untuk PP.

Seorang warga pernah menemukan emas berbentuk keong di Talang Petai, Desa Simpang Tiga, Kecamatan Tulung Selapa.

Sayangnya, keong emas tersebut dijual warga ke toko emas di Palembang dengan harga yang ditawarkan mencapai ratusan juta rupiah.

Kusnaini, seorang warga, mengatakan, suaminya menemukan banyak harta karun. Salah satunya cincin emas yang memiliki kadar 9,58 gram dengan berat 5,7 ons.

Selain itu, Kusnaini juga menyimpan serbuk emas yang dia bungkus dengan plastik obat, keramik China yang diduga berasal dari Dinasti Tang, anting-anting, mangkuk perunggu, manik-manik, dan gerabah.

Kabid Kebudayaan Dinas Pariwisata OKI Nila Maryati mengatakan, temuan benda peninggalan Kerajaan Sriwijaya di Teluk Cengal, Kecamatan Cengal, Kabupaten OKI, menjadi perhatian pemerintah daerah.

"Kesulitan bagi OKI ialah di OKI tidak ada tenaga ahli dalam penemuan benda lama sehingga harus menunggu hasil laporan dari pihak BPCB," ujarnya.

Dia menyebutkan, di wilayah pesisir pantai timur OKI, memang banyak laporan tentang penemuan benda yang tertanam di bawah tanah dan di atas lahan gambut.

"Warga desa menemukan barang-barang itu ketika lahan gambut terbakar dan warga hendak melakukan penanaman padi ala sonor," ujar Nila.

Pencarian ibu kota dan Prasasti Kota Kapur


Salah satu situs Kota Kapur di tengah perkebunan karet yang sengaja ditutupi tanah untuk menghindari penjarahan.(KOMPAS.com/HERU DAHNUR)

Catatan China di awal abad ke-13 berjudul Chu-Fan-Chi (Catatan tentang Negeri-negeri Barbar/Asing) yang ditulis oleh Chau-Ju-kua mengonfirmasi ibu kota Kerajaan Sriwijaya.

“Para penduduk Sanfo-tsi (Sriwijaya—red) tinggal secara tersebar di luar kota atau di atas air, dengan rakit-rakit yang dilapisi dengan alang-alang,” tulis Chau-Ju-kua.

Hal tersebut menjawab pertanyaan yang kerap dilontarkan terkait ibu kota Sriwijaya.

Dilansir dari Kompas.com, 17 September 2013, Nurhadi, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Balai Arkeologi Pelambang, mengatakan, permukiman Sriwijaya dibuat dengan konsep mendesa.

“Rumah-rumah dibangun dengan bahan kayu dan bambu berupa rumah panggung atau rumah terapung,” lanjutnya.

Hal tersebut karena lokasi permukiman berada di tepian Sungai Musi yang terkadang meluap.

Menurutnya, dataran di wilayah Palembang pada masa silam banyak berupa rawa. Hanya bangunan keagamaan yang dibangun oleh Sriwijaya dengan bahan bata merah mengingat lokasinya di tempat tinggi.

Sementara itu, peneliti dari Balai Arkeologi Sumatera Selatan (Sumsel) Retno Purwati mengatakan Kerajaan Sriwijaya pertama kali ditemukan oleh sejarawan asal Perancis George Coedes pada 1918 setelah ditemukannya Prasasti Kota Kapur.

Prasasti Kota Kapur yang ditemukan di Desa Kota Kapur, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, berisi kalimat-kalimat ancaman berupa sumpah dan kutukan terhadap pihak yang tidak tunduk pada penguasa kala itu.

Seorang ahli epigrafi bangsa Belanda bernama H Kerm akhirnya membahas temuan itu.

Awalnya Sriwijaya sempat diduga sebagai nama seorang raja. Namun, setelah ditemukan Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, diketahui Sriwjaya adalah nama kerajaan yang berdiri pada abad ke-7.

Prasasti lain yang menyangkut Kerajaan Sriwijaya juga ditemukan, baik dalam keadaan utuh maupun pecahan.

Selain itu, beberapa arkeolog dari luar negeri juga menbahas tentang Kerajaan Sriwijaya.

Salah satunya adalah penulis asal Jepang Takashi Suzuki yang telah dua kali menerbitkan buku tentang Kerajaan Sriwijaya.

Buku pertama yang terbit pada 2012 berjudul The History of Srivijaya Under the Tributary Trade System of China dan buku kedua berjudul The History of Srivijaya Angkor and Champa yang terbit pada 2019.


Cincin emas bermotif bunga ditemukan warga di Situs Talang Petai Simpang Tiga, Ogan Komering Ilir, Sumsel.(Dok. Humas OKI)

Retno mengatakan pada 2014 saat seminar soal Kerajaan Sriwijaya, arkelog dari India, Inggris, Jepang, dan Singapura juga sempat berdatangan ke Palembang.

“Dan bahkan sampai sekarang ibu kota Sriwijaya jadi rebutan, ada yang bilang di Palembang, Jambi, Pekanbaru, Medan, Malaysia, bahkan Thailand. Kalau fiktif, kenapa sampai direbutkan begitu?” ujarnya.

Sementara itu, sejarawan Pangkalpinang, Akmad Elvian, mengatakan, prasasti di Kota Kapur Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, yang berangka 608 Saka atau 686 Masehi adalah salah satu bukti kuat tentang keberadaan dan nama kedatuan Sriwijaya.

Sebelum prasasti ditemukan pada 1892 oleh JK Meulen, para ahli sejarah menyebut kedatuan besar yang menguasai Nusantara dan seluruh Asia Tenggara dengan sebutan Shih-li-fo-shih atau Fo-shih berdasarkan berita perjalanan musafir I-Tsing.

"Beberapa ahli sejarah menganggap kata 'Sriwijaya' adalah nama seorang raja karena kebiasaan raja-raja di Nusantara menggunakan kata Sri di depan Abhiseka atau gelar yang berarti mulia," kata Elvian.

Kekaburan historisitas Sriwijaya menemukan titik terang karena adanya sumber berbahasa Melayu kuno dengan huruf Pallawa pada baris ke-2, baris ke-4, dan baris ke-10 prasasti Kota Kapur Bangka.

Pada baris ke-2 Prasasti Kota Kapur tercantum kalimat "....manraksa yam kadatuan Criwijaya kita..." yang berarti Kedatuan Sriwijaya (Kerajaan Sriwijaya).

Selanjutnya pada baris ke-4 tercantum tulisan ".... Ya mulam datu Criwijaya..." yang berarti Datu Sriwijaya atau Raja Sriwijaya.

Selanjutnya pada baris ke-10 tercantum tulisan "....yam mala Criwijaya kaliwat..." yang berarti bala Sriwijaya atau tentara Sriwijaya.

Keberadaan prasasti Kota Kapur Bangka mempertegas bahwa nama kerajaan yang berkuasa hampir di seluruh wilayah Nusantara dan Asia Tenggara pada abad 7 sampai abad 13 Masehi adalah kerajaan atau kedatuan Sriwijaya.

"Hal menarik lagi dari prasasti Kota Kapur Bangka, yaitu pada baris ke-10 isi prasasti Kota Kapur, terdapat kalimat 'Bumi Jawa tidak tunduk kepada Sriwijaya'".

"Para sejarawan sepakat bahwa yang dimaksud dengan Bumi Jawa di kalimat ini adalah Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat," ujar penulis buku Kampoeng di Bangka itu.

Terkait belakangan ini ada yang menilai Sriwijaya adalah cerita fiktif, Akmad Elvian enggan mengomentari. Ia meminta masyarakat merujuk pada sumber sejarah dan bukti-bukti yang telah ditemukan.

"Dari sumber yang ditemukan, Sriwijaya memang benar adanya," ucap Elvian yang pernah bertugas sebagai kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pangkalpinang.(David Oliver Purba, Erlangga Djumena, Yunanto Wiji Utomo, Heru Dahnur, Aji YK Putra)

#SEDERET FAKTA Kerajaan Sriwijaya yang Heboh Karena Disebut Fiktif, Harta Karun Hingga Arkeologi#

Hai Guys! Berita ini ada juga di KOMPAS.com

Artikel ini telah tayang di banjarmasinpost.co.id dengan judul FAKTA-FAKTA Kerajaan Sriwijaya yang Disebut Fiktif, dari Prasasti Kota Kapur hingga Arkeolog Jepang

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved