Perempuan di Garis Depan Demo Hong Kong, Boneka Beruang, 'Pemburu' Gas Air Mata Hingga Pelecehan

Saya merasa sangat terkejut bagaimana gadis-gadis, termasuk saya, bereaksi dalam situasi ini. Saya pikir kita semua tegar

Reuters
Para wanita di garis depan demo Hong Kong, kadang terjebak dalam bentrokan keras dengan polisi 

TRIBUNBATAM.ID, HONG KONG - Aksi demonstrasi Hong Kong selama tiga bulan terakhir berlangsung keras, penuh bentrokan.

Para pendemo garis keras, umumnya anak-anak muda, berhadapan dengan gas airmata, peluru kacang dan terakhir water cannon dari polisi.

Jika awalnya mereka hanya mempersenjatai diri dengan payung, poara pendemo kini juga menggunakan senjata untuk menghadapi polisi. Mulai dari bom molotov, katapel, dan terakhir, membuat bom gas sendiri.

Sebagian besar pendemo yang terlibat bentrokan berasal dari kampus, baik pria atau wanita.

Demo Hong Kong Rusuh Lagi, Polisi Bubarkan Ribuan Massa dengan Water Cannon

5 Senjata Ini Favorit di PUBG Mobile Indonesia, yang mana Pilihanmu?

BERITA PERSIB - Setelah Sebulan Menunggu, Akhirnya Persib Raih Prestasi Ini Saat Hadapi PSS Sleman

Keberanian di gasir depan bentrokan tidak hanya didominasi oleh pria tetapi juga para wanita dan salah satu pemimpin demonstran juga seorang wanita, Agnes Chow.

Kerhadiran perempuan dalam aksi demo ini tidak hanya sekadar menyediakan logistik, “palang merah” atau penggembira, tetapi mereka tanpa kenal takut menghadapi petugas di garis depan.

Di saat terjadi bentrokan, mereka tanpa kenal takut menghadapi polisi, dan kembali menjadi “wanita” lagi di saat istirahat.

Jordyn (23) adalah satu di antaranya.

Seorang demonstran wanita dalam demo Hong Kong (SCMP)

Mahasiswi sebuah universitas ini, Sabtu (31/8/2019) malam tetap membawa boneka beruang kesayangannya saat tidur setelah demo beberapa jam yang melelahkan.

Tentu bukan tidurt yang nyaman karena ia mudah terbangun jika mendengar suaqra keras.

”Saya bukan orang yang berani sama sekali,” kata perempuan ini kepada South China Morning Post..

Awalnya ia hanya ikut untuk meramaikan, tetapi sebulan terakhir, ia terus mengumpulkan keberanian untuk turun ke jalan.

Dilengkapi kacamata, respirator (masker gas), filter dan botol air, ia kadang sendirian berlari paling depan untuk memadamkan tabung gas air mata yang baru ditembakkan oleh polisi.

"Saya tidak kuat secara fisik, dan saya tidak melakukan olahraga," katanya. “Jadi saya merasa sangat terkejut bagaimana gadis-gadis, termasuk saya, bereaksi dalam situasi ini. Saya pikir kita semua tegar."

Joshua Wong dan Agnes Chow, dua pentolan demonstrasi Hong Kong saat ditangkap

Jordyn adalah satu di antara jutaan warga Hongkong yang telah memprotes pemerintah kota sejak 9 Juni dan terus berada di dalam pasukan hitam hingga memasuki tiga bulan.

Dalam gerakan tanpa pemimpin yang kini memasuki minggu ke-13 ini, ratusan wanita bersedia jadi martir di garis depan, puluhan di antaranya menjadi “pemimpin spontan” setiap kali demo, menurut This Week in Asia.

Bahkan, sdatu di antara wanita itu mengalami luka di bagian matanya saat demo 9 Agustus lalu, yang memicu protes ribuan paramedis di rumah sakit dan guru pada pekan berikutnya.

Isu Pelecehan Seksual

Meski para demonstran menghapuskan stereotip tentang gender, namun para wanita ini juga rentan mengalami pelecehan seksual.

Dalam demo Sabtu, puluhan wanita terlihat membawa pamplet #ProtestToo, modifikasi dari gerakan global #MeToo yang menentang pelecehan seksual, beberapa waktu lalu.

Pamplet ini bukan tanpa alasan. Konon, dari lebih 850 orang yang ditangkap polisi selama reli demo, sebagian adalah wanita dan mereka kabarnya mengalami pelecehan oleh petugas.

Meskipun tidak ada bukti atau pengakuan langsung dari para korban, namun isu itu berkembang di tengah para pendemo.

Jordyn bergabung dengan Gerakan Payung pro-demokrasi tahun 2014 ketika ribuan orang menduduki jalanan kota selama 79 hari. Tidak ada bentrok dalam demo saat itu.

Setelah 9 Juni tahun ini, dia berkata bahwa “akhirnya melihat harapan di Hong Kong lagi”, ketika 2 juta orang turun menentang RUU ekstradisi.

“Saya percaya bahwa jika Anda menginginkan keadilan, Anda perlu memperjuangkannya,” kata Jordyn yang selalu berada di garis depan demo.

Selama demo, ia sering mendapat luka oleh gas air mata, tidak bisa melihat atau sulit bernapas dengan benar, tetapi ia tidak panik.

Jordyn belajar cepat. Ia sudah belajar bagaimana membangun barikade jalan dan memadamkan tabung gas air mata dengan cara menutupnya dengan kerucut lalulintas, serta menuangkan air ke atasnya.

Mengevakuasi rekan-rekannya yang menjerit saat terkena gas air mata juga salah satu risikonya di garis depan. Termasuk saat lari dikejar polisi.

"Saya tidak takut ditangkap, mungkin saya pikir saya cukup beruntung masih bisa melarikan diri," kata Jordyn. “Tapi saya takut dipukuli. Saya telah melihat ekspresi wajah dan mata mereka saat memukuli orang-orang ... seperti menyaksikan seseorang yang mencoba membunuh Anda. "

Jordyn bertekad akan terus turun ke jalan sampai pemerintah memenuhi lima tuntutan para pengunjuk rasa, yang mencakup penarikan resmi dari tagihan ekstradisi serta penyelidikan independen terhadap penggunaan kekuatan polisi.

"Saya melihat banyak kemarahan dan kesedihan di antara para demonstran," kata Jordyn. "Saya juga merasa sedih untuk diri saya sendiri karena saya tidak membenci siapa pun di masa lalu ... Saya menyalahkan polisi dan (kepala eksekutif) Carrie Lam. Mengapa Anda harus mengubah saya menjadi seseorang yang saya tidak suka? "

Seorang demonstran wanita menghadapi polisi di garis depan demo Hong Kong
Seorang demonstran wanita menghadapi polisi di garis depan demo Hong Kong (HKPF/Todd R. Darling)

Para pendemo saat ini memang memilih “tanpa pemimpin” agar mereka bisa tetap bergerak meskipun sejumlah rekannya ditangkap.

Stephy, perempuan lainnya di garis depan, terlihat lebih siap dari Jordyn yang hanya mengenakan kaos hitam.

Ia mengenakan jaket motor gede warna hitam dengan topeng respirator, seperti pasukan antihuru-hara.

"Kami siap melawan triad," katanya dengan tegas, merujuk pada tersangka anggota geng yang bentrok dengan demonstran di North Point.

Wanita berusia 21 tahun itu memiliki kelompok kecil sekitar 20 orang, tiga wanita, dan selalu berada di garis depan.

Sepanjang protes, Stephy --yang juga hanya memberikan nama depannya-- telah melihat beberapa dari mereka ditangkap, terluka serta menjadi bulan-bulanan polisi.

“Setelah dua atau tiga aksi demo, saya mulai melihat lebih banyak gadis keluar dan berdiri di depan. Saya pun mencoba untuk ikut,” kata Stephy saat istirahat di North Point.

Sama seperti Jordyn, Stephy sebenarnya juga gadis penakut, tetapi kemudian menjadi lebih kuat untuk berjuang mati-matian demi perjuangan mereka.

"Setelah dua atau tiga protes, saya mulai melihat lebih banyak gadis berani keluar dan berdiri di depan, bukannya bersembunyi di belakang," katanya, “Saya pun tak mau ketinggalan.”

Stephy mengatakan, ia telah memainkan banyak peran dalam gerakan ini, termasuk membantu mereka yang terkena gas air mata dan memeriksa titik-titik protes untuk memeriksa apakah ada polisi di sekitarnya.

“Kami tidak punya skenario apapun menjelang demo. Biasanya hanya dari melihat situasi pada hari protes. Setiap hari cenderung berbeda,” katanya.

Stephy, berpakaian lengkap untuk mengejar dan memadamkan gas air mata

Yan (23) yang bekerja di manajemen properti mengatakan bahwa perusahaannya telah memberi izin untuk bergabung dengan aksi saat hari libur, tetapi kadang ia melanggarnya.

Namun sejauh ini perusahaannya tidak mempermasalahkan.

“Tapi saya siap kehilangan pekerjaan demi gerakan ini. Saya masih muda dan saya dapat mencari pekerjaan lain. Kita perlu melindungi kebebasan Hong Kong."

Yan juga mengaku menjadi lebih berani saat gerakan itu berkembang.

“Kebanyakan wanita tidak sekuat pria. Saya melihat mereka lebih memainkan peran penting, seperti memindahkan material dan melindungi orang lain. Tetapi, kami selalu menjadi semakin solid dan saling melindungi dan menjaga”

Ia dan seorang teman wanita lainnya awalnya mencoba memadamkan tabung gas air mata untuk pertama kalinya.

Sejak itulah ia semakin yakin bahwa wanita sebenarnya bisa berbuat banyak.

Jika sebagian besar pendemo menghindar jika ada gas air mata ditempakkan polisi, Yan justru mengejarnya dan dengan sesegera mungkin memadamkannya.

“Memeadamkan tabung gas air mata itu adalah hal yang penting di garis depan, sebelum asapnya menyebar dan mengganggu puluhan orang.”

Cheung, seorang siswa berusia 17 tahun merasa bahwa aksi demo sama dengan dengan "medan perang" di mana setiap orang, pria atau wanita, memainkan peran yang sama dan memiliki musuh yang sama.

"Kami semakin yakin bahwa gerakan ini sangat penting untuk masa depan kami ... Ini adalah rumah kami."

Sensitifitas Tinggi

Para perempuan memang menjadi warna tersendiri setiap gerakan massa di manapun. Keberanian bahkan secara tidak langsung menjadi motivator utama bagi kaum pria untuk tidak takut.

Di Sudan, tahun ini, memimpin demo yang menggulingkan presiden lama Omar al-Bashir adalah wanita.

Bahkan di China, saat gerakan demo menuntut demokrasi di lapangan Tiananmen, Beijing, 4 Juni 1989 yang menimbulkan banyak korban jiwa, ada seorang wanita yang mendapat julukan Ibu Tiananmen.

Susanne Choi Yuk-ping, profesor sosiologi Universitas China, Hong Kong, mengatakan bahwa gerakan tanpa pemimpin ini membuat para wanita merasa dirinya bisa tampil lebih baik.

"Saya tidak terkejut bahwa dalam gerakan anti-ekstradisi ini kita telah melihat banyak wanita turun ke jalan, bergabung dengan demonstrasi dan bahkan di garis depan," kata Choi.

Wartawan mencoba menghalangi polisi yang hendak memukul demonstran wanita

Bahkan, sejumlah besar wanita memiliki andil dalam Gerakan Payung sejak 1997 lalu, saat penyerahan Hong Kong dari Inggris ke China.

“Saya pikir semua pengalaman ini tentu akan memberdayakan perempuan, dan membuat mereka merasa memiliki kepentingan untuk perubahan ini,” katanya.

Choi mencatat bahwa para wanita memiliki ikatan sosial yang lebih kuat sehingga beberapa kelompok wanita menjadi peran yang kuat dalam setiap aksi.

“Wanita memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap orang lain sehingga mereka bisa menjadi sangat kreatif dalam gerakan ini, menyediakan logistik, memotivasi bahkan mengorganisir berbagai petisi.dengan cara feminin yang mereka miliki,” katanya.

Hal lain yang membuat para wanita turun ke jalan adalah untuk melawan stereotype gender.

“Sebelumnya, perempuan Hong Kong sering diejek sebagai gong nui (atau 'gadis Kong) yang diidentikkkan materialistis,” katanya. "Tapi sejak bulan lalu, saya telah melihat perubahan persepsi tentang wanita Hong Kong."

Hanya saja, seperti dicatat profesor Universitas Hong Kong Petula Ho Sik-Ying, wanita lebih rentan daripada pria terhadap berbagai bentuk pelecehan.

“Perempuan akan selalu menjadi sasaran empuk,” kata pakar gender itu. "Anda harus bersiap dengan serangan itu. Tidak hanya secara fisik, tetapi juga postingan di media sosial, tentang penampilan fisik dan hal lainnya.”

Hal itu merujuk foto seorang demonstran perempuan yang diseret polisi dalam kondisi pakaiannya sobek sehingga ada bagian tubuhnya yang terbuka..

"Itu merupakan gerakan maskulin dan sangat patriarkis," katanya. "Kita semua menikmati aspek romantis dari gerakan ini, tetapi ada lebih banyak bahaya juga di baliknya,” katanya.

Tuduhan kekerasan seksual oleh polisi juga semakin kuat akhir-akhir ini meskipun belum ada bukti.

Seorang pengunjuk rasa wanita yang telah ditangkap di depan umum menuduh polisi melesehkannya.

Dia mengklaim dirinya disuruh melepas semua pakaiannya dan diperintahkan untuk berjongkok oleh seorang petugas wanita.

Seorang juru bicara polisi telah membantah tuduhan itu dan mengatakan bahwa mereka memiliki rekaman bagaimana mereka memperlakukan aktivis yang ditangkap.

Pada Rabu malam, ribuan orang berkumpul di Central untuk meminta jawaban dari polisi Hong Kong atas tuduhan tersebut.

Kerumunan emosional meneriakkan slogan-slogan seperti "Malu pada polisi Hong Kong" dan “Stop Pelecehan Terhadap Perempuan.”

Dewan Pengaduan Polisi Independen mengatakan bahwa pihaknya sedang melakukan penyelidikan terhadap tuduhan itu.

Sebuah survei yang diluncurkan pada 21 Agustus oleh Asosiasi Terkait Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan menyebutkan, 46 dari 221 responden wanita mengaku telah mengalami kekerasan seksual sejak gerakan dimulai.

Laporan-laporan ini termasuk disentuh di bagian tubuh yang sensitif, percobaan kekerasan seksual, dan dihina oleh penggunaan bahasa seksies.

Terlepas dari hal itu, para demonstran pria sangat mengagumi keberadaan wanita di garis depan.

"Mereka sangat efisien dan berani ... Beberapa bahkan berjalan di depan kami tanpa takut... Mereka juga menjadi pengingat saat kami bergerak terlalu berlebihan. Saya menghormatinya," kata seorang demonstran bernama Chan.

Demonstran pria lain mengatakan bahwa beberapa wanita kadang tampil menghadapi polisi sendirian, meminta mereka untuk tidak brutal.

“Harus diakui, polisi memang hati-hati menghadapi para wanita jika suasana memanas. Padahal, risiko mereka akan menjadi korban sangat tinggi,” katanya.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved