Pembunuh Pacar Hamil yang Picu Demo Hong Kong Bersedia Serahkan Diri ke Taiwan

Chan Tong-kai, pemuda yang menjadi buron Taiwan karena tuduhan membunuh pacarnya yang sedang hamil, bersedia dideportasi ke Taiwan.

South China Morning Post
Chan Tong-kai, WN Hong Kong, tersangka pembunuhan pacarnya yang sedang hamil di Taiwan, diselamatkan oleh batalnya RUU ekstradisi yang ditolak oleh demonstran selama 17 pekan terakhir. Chan tidak bisa diekstradisi karena tidak ada perjanjian ekstradisi antara Hong Kong dengan negara itu. 

TRIBUNBATAM.ID, HONG KONG - Chan Tong-kai, pemuda yang menjadi buron Taiwan karena tuduhan membunuh pacarnya yang sedang hamil, bersedia dideportasi ke Taiwan.

Chan Tong-kai yang disebut-sebut menjadi salah satu demo penolakan RUU Ekstradisi awal Juni lalu, akan bebas pada 23 Oktober dari penjara Hong Kong dengan kasus yang berbeda.

Chan dilaporkan sudah mengirim surat kepada pemimpin Hong Kong, bersedia menyerahkan diri kepada otoritas Taiwan.

Hal itu diungkapkan oleh pemerintah, Jumat (18/10/2019) malam dalam sebuah pernyataan bahwa Kepala Eksekutif Carrie Lam Cheng Yuet-ngor telah menerima surat dari Chan Tong-kai yang meminta pemerintahnya membuat pengaturan.

Bom Meledak Salat Jumat, 33 Tewas dan Atap Masjid Runtuh di Afghanistan

Sederet Menteri Wajah Lama yang Diprediksi Masuk dalam Kabinet Jokowi-Maruf 

Demo Hong Kong yang Radikal Menyebar ke Sekolah, Guru-guru Paling Terjepit dan Galau

“Biro Investigasi Kriminal Taiwan hari ini telah menerima surat yang dikeluarkan oleh Kepolisian Hong Kong, menyampaikan keputusan Chan untuk menyerahkan dirinya ke Taiwan. Surat itu juga menyampaikan bahwa otoritas Hong Kong akan membantu Chan dalam pengaturan yang relevan, dan memberikan bantuan yang diperlukan dan layak secara hukum kepada Taiwan dalam hal ini,” bunyi pernyataan itu seperti dilansir TribuynBatam.id dari South China Morning Post.

Pendeta Canon Peter Koon Ho-ming, pendeta Anglikan terkemuka mengunjungi Chan setiap minggu di penjara untuk membujuknya menyerahkan diri.

Para demonstran Hong Kong berdemo saat Ulang Tahun Taiwan, mengkampanyekan pemisahan diri dari China dan menghidupkan kembali Republik China, beberapa waktu lalu
Para demonstran Hong Kong berdemo saat Ulang Tahun Taiwan, mengkampanyekan pemisahan diri dari China dan menghidupkan kembali Republik China, beberapa waktu lalu (South China Morning Post)

Chan dalam suratnya berharap langkah itu akan meredakan kekacauan di Hong Kong.

Chan dipenjara tahun lalu karena tuduhan pencucian uang dan akan dibebaskan Rabu depan.

“Saya telah mengunjunginya selama lebih dari setengah tahun. Awalnya dia khawatir akan menyerahkan diri, tetapi setelah berbicara dengan pengacara dari Taiwan dan keluarganya, dia membuat keputusan bulan lalu,” kata sekretaris jenderal provinsi Gereja Anglikan kota itu.

Aksi demo terus berlangsung hingga saat ini, bahkan intensitasnya semakin keras karena isunya bergeser sebagai aksi anti-China dan tuntutan Hong Kong menjadi negara bebas.

RUU ekstradisi ini mendapat penolakan keras ketika pemerintah eksekutif Hong Kong mengajukannya ke DPR.

Dalam RUU itu, pemerintah Hong Kong --atas perintah pengadilan-- boleh mengekstradisi pelaku kriminal ke negara yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi.

Hal itulah yang memicu protes dan tidak berhenti meskipun pemerintah akhirnya menarik kembali RUU tersebut.

Penolakan terjadi karena RUU itu memungkinkan Hong Kong menyerahkan para pelaku kriminal ke China daratan sehingga dinilai akan menimbulkan kriminalisasi dan melanggar hak asasi manusia.

Salah satu kasus adalah pembunuhan yang dilakukan Chan di Taiwan saat ia berlibur dengan sang pacar, Poon Hiu-wing, Februari 2018 lalu.

Setelah kasus pembunuhan itu, Chan kembali ke Hong Kong tanpa sang kekasih.

Namun, pria 20 tahun itu tidak bisa ditangkap karena tidak ada perjanjian ekstradisi antara Hong Kong dengan Taiwan.

Chan ditahan di Hong Kong atas tuduhan pencucian uang sekembalinya dari Taiwan, namun masa tahanannya habis pada 23 Oktober 2019 nanti.

Di Taiwan, Chan Tong-kai sudah masuk daftar buron terkait kematian pacarnya yang hamil, tetapi tidak dapat dipindahkan ke pulau yang memiliki pemerintahan sendiri itu.

Kekasihnya, Poon Hiu-wing, meninggal saat berlibur di Taiwan bersama Chan dan diduga menjadi korban pembunuhan.

Demo Hong Kong yang dipicu oleh penolakan RUU ekstradisi
Demo Hong Kong yang dipicu oleh penolakan RUU ekstradisi (South China Morning Post)

Hal inilah yang mendorong Ketua Eksekutif Carrie Lam Cheng Yuet-ngor untuk mendorong RUU ekstradisi, yang akan memungkinkan Hong Kong untuk mengirim buron ke yurisdiksi yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi.

Anggota parlemen Ann Chiang La wan, dari Aliansi Demokratik untuk Kemajuan Hong Kong sempat mengunjungi Chan di penjara pada bulan Juli lalu dan mencoba membujuknya untuk menyerahkan diri kepada otoritas Taiwan.

Chiang mengatakan kepada SCMP bahwa setelah kunjungan itu ia tidak ada kontak lagi dengan Chan.

“Aku bilang aku ingin mengunjunginya lagi setelah pertemuan terakhir kali. Tetapi kami akhirnya tidak memiliki kontak lebih lanjut,” katanya, "Tapi saya tahu seorang pastor telah bekerja [dalam kasus ini]."

Para demonstran Hong Kong menginjak-injak bendera China dalam aksi demo, Minggu (22/9/2019).
Para demonstran Hong Kong menginjak-injak bendera China dalam aksi demo, Minggu (22/9/2019). (South China Morning Post)

Ann Chiang tyidak tahu sikap Chan saat ini, apakah akan menyerahkan diri ke Taiwan atau tetap berada di Hong Kong.

Namun yang jelas, setelah masa tahanannya habis, ia bisa menghirup udara bebas di negaranya sendiri.

Anggota dewan eksekutif Ronny Tong Ka-wah mengatakan tidak ada cara lain untuk melanjutkan kasus ini.

“Sebagai penduduk tetap, Chan menikmati kebebasan di Hong Kong sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Tidak ada cara untuk membatasi kebebasannya setelah ia dibebaskan,” kata Tong.

"Bagi saya hal ini sebenarnya tidak bisa diterima, tetapi masyarakat telah mencapai titik yang tidak bisa kembali."

Seperti diketahui, pemerintah eksekutif Hong Kong diperangi oleh demonstran selama 17 pekan ketika mengajukan RUU ekstradisi ke parlemen.

Dalam RUU itu, seorang pelaku kriminal dapat diekstradisi ke negara lain, termasuk yang tidak ada perjanjian ekstradisi dengan Hong Kong, termasuk China daratan.

RUU ini ditolak karena dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia karena para tersangka tidak ada jaminan para tersangka mendapat keadilan oleh negara lain.

Pendemo menuduh China berada di balik RUU itu karena banyak pelaku kriminal yang melarikan diri ke Hong Kong.

Bahkan aksi demo yang berlangsung keras selama hampir empat bulan itu berlum juga berhenti hingga saat ini dan isunya kemudian bergeser menjadi gerakan anti-China.

Anggota parlemen dari partai oposisi mencoba mengajukan jalan tengah dengan menyusun RUU Yuridiksi Pidana.

Andrew Wan Siu-kin, dari Partai Demokratik dalam amandemen RUU Yurisdiksi Pidana tersebut mengajukan pemberian kekuasaan ekstrateritorial pengadilan lokal atas kejahatan luar biasa, seperti pembunuhan dan genosida.

Setelah Departemen Kehakiman menyetujui rancangan undang-undang tersebut sesuai dengan persyaratan hukum, Wan menulis surat kepada Kepala DPR Andrew Leung Kwan-yuen.

Namun Leung pada bulan Agustus lalu meminta Andrew mengikuti prosedur standar untuk mengajukan amandemen, yakni dimulai dari panel.

“Itu menunjukkan kamp pro-kemapanan dan pemerintah sangat munafik. Waktunya pasti tidak cukup jika hal itu dimulai dari panel. Mereka mencekik kesempatan terakhir untuk membuat keadilan dengan prosedur," kecam Andrew 

Demo Hong Kong kembali membara, Minggu (29/9/2019), dengan isu gerakan anti-China. Aksi demo juga meluas secara global
Demo Hong Kong yang terus membara, dari penolakan RUU ekstradisi ke gerakan anti-China. Aksi demo juga meluas secara global (South China Morning Post)

Sekretaris Kehakiman Teresa Cheng Yeuk-wah telah menolak proposal untuk memberdayakan pengadilan lokal sejak Mei.

Dia mengatakan, tindakan itu akan mengubah tradisi bahwa pengadilan setempat hanya menangani kejahatan yang dilakukan di Hong Kong.

Legislator Partai Buruh Fernando Cheung Chiu-hung sempat mengusulkan Hong Kong mentransfer tersangka kriminal ke Taiwan, tetapi tidak ke daratan China atau Makau.

Beberapa jam setelah usulannya memicu perdebatan sengit dari kalangan pengunjuk rasa, Fernando akhirnya menarik kembali usulan tersebut, Juli lalu.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved