Investigasi KNKT Selesai, Begini Ternyata Lion Air JT 610 Jatuh, Ada 9 Penyebab Kecelekaan Diungkap
Hasil Investigasi KNKT Telah Keluar, Mengejutkan, Ini Ternyata Sebab Lion Air JT 610 Jatuh
Hasil Investigasi KNKT Telah Keluar, Mengejutkan, Ini Ternyata Sebab Lion Air JT 610 Jatuh
TRIBUNBATAM.id - Investigasi jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 dengan registrasi PK-LQP tujuan Jakarta-Pangkal Pinang 29 Oktober 2018 telah selesai.
Komite Nasional Keselamatan Transportasi ( KNKT) telah melaporkan temuan akhir dari kecelakaan pesawat Lion Air JT 610 tersebut hari ini, Jumat (25/10/2019).
KNKT akhirnya melaporkan kronologi jatuhnya pesawat JT 610 seiring investigasi yang diselesaikan.
Kronologi bermula pada tanggal 29 Oktober 2018 pukul 06.32 WIB.
Pesawat Boeing yang dioperasikan maskapai Lion Air dengan registrasi PK-LQP terbang dari Jakarta menuju Bandara Depati Amir Pangkal Pinang.
Tiga belas menit usai terbang, pesawat hilang dari radar pengatur lalu lintas udara setelah pilot Bhavye Suneja melaporkan adanya beberapa gangguan pada kendali pesawat.
"Gangguan itu meliputi indikator ketinggian dan indikator kecepatan. Akhirnya pesawat mengalami kecelakaan di Tanjung Karawang dan seluruh penumpang serta awak pesawat tidak ada yang selamat," kata kata Kepala Sub Komite Investigasi Keselamatan Penerbangan KNKT Nurcahyo Utama di Jakarta, Jumat (25/10/2019).
Berdasarkan hasil investigasi, Nurcahyo mengungkap kerusakan indikator kecepatan dan ketinggian di pesawat PK-LQP telah terjadi pertama kali tanggal 26 Oktober 2018.
Pada tanggal tersebut, pesawat yang sama terbang dari Tianjin, China ke Manado Indonesia.

Setelah beberapa kali perbaikan pada kerusakan yang berulang, pada tanggal 28 Oktober 2018 Angle of Attack (AOA) sensor kiri diganti di Denpasar, Bali.
AOA sensor kiri yang dipasang mengalami deviasi sebesar 21 derajat yang tidak terdeteksi pada saat diuji setelah dipasang.
Deviasi ini mengakibatkan perbedaan penunjukan ketinggian dan kecepatan antara instrument kiri dan kanan di cockpit, juga mengaktifkan stick shaker dan Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS) pada penerbangan dari Denpasar ke Jakarta.
Namun disinyalir, pilot pada penerbangan Denpasar-Jakarta berhasil menghentikan aktifnya MCAS dengan memindahkan stab trim switch ke posisi cut out.
Setelah mendarat di Jakarta, pilot melaporkan kerusakan yang terjadi namun tidak melaporkan stick shaker dan pemindahan stab trim ke posisi cut out.
Selain itu, lampu peringatan AOA Disagree tidak tersedia sehingga pilot tidak melaporkannya.
Masalah yang dilaporkan tersebut hanya dapat diperbaiki menggunakan prosedur perbaikan AOA Disagree.
Kerusakan berlanjut hingga tanggal 29 Oktober 2018, tepat saat pesawat jatuh di Perairan Tanjung Karawang.
FDR yang ditemukan merekam kerusakan yang sama terjadi pada penerbangan tersebut.
Pilot diketahui melaksanakan prosedur non-normal untuk IAS Disagree, namun tidak mengenali kondisi runaway stabilizer.
Beberapa peringatan, berulangnya aktivasi MCAS dan padatnya komunikasi dengan ATC berkontribusi pada kesulitan pilot untuk mengendalikan pesawat.
Pada tanggal 10 Maret 2019, kecelakaan serupa terjadi di Ethiopia melibatkan pesawat Boeing 737-8 (MAX) yang mengalami kerusakan AOA sensor.
KNKT Beri Rekomendasi Pihak Terkait Kecelakaan
Komite Nasional Keselamatan Transportasi ( KNKT) telah melaporkan penyebab kecelakaan pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan PK-LQP dari Jakarta ke Pangkal Pinang yang jatuh di Perairan Karawang 29 Oktober 2018.
Karena laporan investigasi kecelakaan telah usai, KNKT juga memberikan rekomendasi kepada 7 pihak terkait, di antaranya Lion Air, Boeing, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, FAA, Batam Aero Technic (BAT), Airnav Indonesia, dan Xtra Aerospace.
"Di luar perbaikan kami juga telah memberikan beberapa rekomendasi untuk semua pihak yang terkait. Sebab KNKT melihat masih ada isu keselamatan yang harus diperbaiki," kata Kepala Sub Komite Investigasi Keselamatan Penerbangan KNKT Nurcahyo Utama di Jakarta, Jumat (25/10/2019).
Rinciannya:
- Lion air 3 rekomendasi keselamatan
- Boeing 6 rekomendasi keselamatan
- Direktorat Jenderal Perhubungan Udara sebanyak 3 rekomendasi keselamatan
- FAA 8 rekomendasi
- BAT 3 rekomendasi
- AirNav Indonesia 1 rekomendasi, dan
- Xtra sebanyak 1 rekomendasi.
Adapun untuk Lion Air, KNKT merekomendasikan manajemen untuk mengelola masalah yang berulang.
Sementara Boeing diharapkan bisa memperbaiki asumsi yang digunakan terkait assessment dalam membuat desain pesawat baru.
Seperti fitur Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS) yang baru terdapat pada pesawat Boeing 737-8 MAX misalnya, diperlukan asumsi yang tepat saat pilot mengalami masalah pada fitur tersebut.
"Saat desain dan sertifikasi (MCAS) dibuat berbagai asumsi sesuai ketentuan yang berlaku. Asumsi itu menentukan pilot akan bereaksi memberikan trim yang cukup. Tapi ternyata itu (trim yang cukup) tidak terjadi (dalam pesawat yang kecelakaan)," jelas Nurcahyo.
Selain itu, pihaknya meminta Ditjen Perhubungan Udara untuk mengawasi prosedur yang dimiliki operator maupun bidang perawatan pesawat.
Pun memastikan pesawat itu laik terbang.
"Ini perlu ditingkatkan pengawasannya supaya bisa beroperasi dengan baik," kata dia.
Sementara FAA, KNKT merekomendasikan adanya beberapa perubahan regulasi terkait desain pesawat, sertifikasi, maupun panduan atau aturan informasi yang sebaiknya tersedia di buku panduan pilot dan teknisi. P
asalnya pada kecelakaan pesawat Lion Air PK-LQP, pilot dan teknisi sulit untuk mengetahui kerusakan pesawat karena tidak mendapat informasi yang memadai soal fitur MCAS.
Fitur tersebut bahkan tidak ada dalam buku panduan pilot dan pelatihan.
"Kalau untuk Batam Aero Technic, ini lebih kepada manajemen perawatan pesawat sehingga teknisi bisa m?ngimplementasikannya," tutur Nurcahyo.
Adapun untuk Airnav Indonesia yang membuat sensor, perlu adanya pengubahan manual untuk penanganan saat pesawat emergency.
Terakhir, Xtra Aerospace juga perlu memperbaiki dengan menyediakan suatu prosedur penggunaan alat untuk kalibrasi pesawat.
9 Faktor Utama Penyebab Pesawat 737 MAX Lion Air jatuh
Kasubkom Penerbangan sekaligus investigator dalam kecelakaan Lion Air dengan nomor penerbangan PK-LQP Nurcahyo Utomo mengatakan, pihaknya telah menemukan 9 faktor utama yang menyebabkan pesawat jatuh.
Dia bilang, 9 faktor itu saling terkait sehingga apabila salah satunya bisa ditangani, mungkin kecelakaan setahun lalu tidak akan pernah terjadi.
"Jadi 9 hal yang kita temui adalah 9 hal yang terjadi hari itu. Mungkin kalau salah satunya bisa ditangani, mungkin kecelakaan itu tidak pernah terjadi. Itu saling terkait," kata Nurcahyo Utomo dalam konferensi pers laporan akhir kecelakaan pesawat udara di Jakarta, Jumat (25/10/2019).
Nurcahyo mengatakan, sejumlah pihak terkait seperto Boeing, Lion Air, DGCA, FAA, BAT, dan Collins Aerospace yang membuat sensor telah melakukan perbaikan.
Bila dirinci, Lion Air telah melakukan perbaikan sebanyak 35 tindakan perbaikan, Boeing sebanyak 8 tindakan perbaikan, DGCA sebanyak 10 tindakan perbaikan, FAA sebanyak 17 tindakan perbaikan, BAT sebanyak 2 tindakan perbaikan, Collins Aerospace sebanyak 4 tindakan perbaikan, dan AirNav Indonesia sebanyak 2 tindakan perbaikan.
"Selain itu, diluar perbaikan kami juga telah memberikan beberapa rekomendasi untuk semua pihak yang terkait. Sebab KNKT melihat masih ada isu keselamatan yang harus diperbaiki," ucap dia.
Adapun 9 faktor yang telah ditemukan KNKT, yang saling berkaitan satu sama lain sehingga menyebabkan kecelakaan pesawat, yakni:
1. Asumsi terkait reaksi pilot yang dibuat pada saat proses desain dan sertifikasi pesawat Boeing 737-8 (MAX), meskipun sesuai dengan referensi yang ada ternyata tidak tepat.
2. Mengacu asumsi yang telah dibuat atas reaksi pilot dan kurang lengkapnya kajian terkait efek-efek yang dapat terjadi di cockpit, sensor tunggal yang diandalkan untuk MCAS dianggap cukup dan memenuhi ketentuan sertifikasi.
3. Desain MCAS yang mengandalkan satu sensor rentan terhadap kesalahan.
4. Pilot mengalami kesulitan melakukan respon yang tepat terhadap pergerakan MCAS yang tidak seharusnya karena tidak ada petunjuk dalam buku panduan dan pelatihan.
5. Indikator AOA DISAGREE tidak tersedia di pesawat Boeing 737-8 (MAX) PK-LQP, berakibat informasi ini tidak muncul pada saat penerbangan dengan penunjukan sudut AOA yang berbeda antara kiri dan kanan, sehingga perbedaan ini tidak dapat dicatatkan oleh pilot dan teknisi tidak dapat mengidentifikasi kerusakan AOA sensor.
6. AOA sensor pengganti mengalami kesalahan kalibrasi yang tidak terdeteksi pada saat perbaikan sebelumnya.
7. Investigasi tidak dapat menentukan pengujian AOA sensor setelah terpasang pada pesawat yang mengalami kecelakaan dilakukan dengan benar, sehingga kesalahan kalibrasi tidak terdeteksi.
8. Informasi mengenai stick shaker dan penggunaan prosedur non-normal Runaway Stabilizer pada penerbangan sebelumnya tidak tercatat pada buku catatan penerbangan dan perawatan pesawat mengakibatkan baik pilot maupun teknisi tidak dapat mengambil tindakan yang tepat.
9. Beberapa peringatan, berulangnya aktifasi MCAS dan padatnya komunikasi dengan ATC tidak terkelola dengan efektif. Hal ini diakibatkan oleh situasi-kondisi yang sulit dan kemampuan mengendalikan pesawat, pelaksanaan prosedur non-normal, dan komunikasi antar pilot, berdampak pada ketidak-efektifan koordinasi antar pilot dan pengelolaan beban kerja. Kondisi ini telah teridentifikasi pada saat pelatihan dan muncul kembali pada penerbangan ini.
Artikel ini telah tayang di tribunkaltim.co dengan judul Investigasi Jatuhnya Lion Air JT 610, KNKT: Andai Perbaikan Dilakukan Kecelakaan Mungkin Tak Terjadi