Kontroversi Sate Jamu Kuliner Ekstrem di Solo, di Tengah Larangan Gubernur Ganjar Pranowo
Kota Solo, Jawa Tengah, ternyata terdapat kuliner ekstrem yakni olahan daging anjing. Masyarakat sekitar menyebutnya dengan sate jamu
Penulis: Septyan Mulia Rohman | Editor: Agus Tri Harsanto
TRIBUNBATAM.id - Kota Solo, Jawa Tengah, ternyata terdapat kuliner ekstrem yakni olahan daging anjing.
Oleh masyaratakat sekitar, olahan daging anjing akrab dikenal dengan sebutan sate jamu.
Sebutan sate jamu sudah sejak lama dan menyebar di kalangan masyarakat, meski tidak diketahui siapa yang pertama kali mencetuskan.
Disebut jamu (obat, red), konon olahan daging ini dipercaya bisa menambah stamina.
Warung makan ini dengan mudah ditemukan di kota ini.
Keberadaannya cukup menarik setelah Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo telah mengeluarkan instruksi melarang konsumsi daging ini.
Pedagang sate jamu, Kamto yang berjualan di Jalan Solo -Purwodadi, Jetak, Wonorejo, Karanganyar, mengaku sudah belasan tahun membuka warung sate guguk.
Warungnya yang berada di tepi jalan tersebut, buka dari pukul 10.00 hingga pukul 17.00 WIB.
"Sudah lama (jual sate guguk), lali (lupa) kapan saya mulai jualan," sebut Kamto, Rabu (11/12/2019).
Menurut Kamto, bahan dasar daging guguk ia dapatkan dari daerah Jawa Barat.
Namun, ia tidak menyebutkan secara rinci dari daerah mana ia dapatkan bahan dasar tersebut.
"Anjing-anjing itu dibawa menggunakan truk dari Jabar," kata Kamto.
Dalam sehari, ia bisa menghabiskan 40 hingga 50 Kg daging guguk yang ia jual dalam bentuk basah (rebus, red) dan goreng.
Diakui Kamto, ia menjagal anjing pada malam hari di kebun di belakang rumahnya. Setelah menjagal, ia juga mengolah serta memasak daging tersebut.
"Jumlahnya sekitar 5 anjing, saya jagal sendiri," ujarnya.
Pantauan Tribun, warungnya terlihat ramai pembeli yang datang santap siang di warung Kamto.
Menurutnya, ada beberapa warung yang sama di sekitar tempat ia berjualan sate guguk tersebut.
"Di sekitar sini ada dua warung yang sama kok mas," jelas Kamto.
Kamto juga mengaku selain mendapatkan atau membeli bahan dasar dari pemasok, ia juga menerima bahan dasar yang dijual satuan.
"Kalau ada yang jual satuan kita terima juga," katanya.
Pedagang lainnya, Mas Ijey (36) yang berdagang di Kelurahan Gilingan Kecamatan Banjarsari menawarkan menu olahan daging guguk.
Saat Tribun berkunjung, Ijey menawarkan daging guguk goreng kering. Harganya Rp 15 ribu per porsi.
"Untuk yang pertama kali, saya sarankan yang goreng kering saja dulu," ujar Ijey yang sehari-hari bertugas menyambut tamu.
Pria dengan gaya rambut mohawk itu, sudah bekerja di warung itu selama 10 tahun. Kata dia, warung itu sudah berjualan sejak 20 tahun lalu.
Warung itu buka sejak pukul 09.00 hingga pukul 16.00 WIB. Hari Minggu tutup. Lokasinya persis di belakang Kantor Kelurahan Gilingan Kecamatan Banjarsari.
Saat berkunjung, sekira pukul 10 pagi, pengunjung sudah berdatangan ke warung seluas sekitar 100 meter persegi itu.
Di dinding warung, tampak baliho bertuliskan extrem kuliner dengan logo kepala guguk jenis Bulldog.
Warung itu menawarkan menu olahan daging anjing. Diantaranya, rica daging basah, rica daging goreng, rica tulang basah, sate daging dan buntel hingga masak kering.
Warung dengan olahan daging anjing ini begitu terbuka. Tidak seperti di daerah di luar Solo yang menjualnya sembunyi-sembunyi untuk kalangan tertentu.
Warung itu menyembelih hampir 10 anjing dalam satu harinya.
"Di sini terbuka karena dijamin kesehatannya. Kalau siang sampai sore banyak pengunjungnya. Kami sore tutup karena habis. Sehari, kami memotong paling sedikit delapan anjing," ujar dia.
Ijey mengaku, anjing itu dipasok dari luar Solo.
"Kebanyaknnya dari Jabar Mas, kaya Garut, Tasikmalaya sampai Majalengka. Kami pesan mereka kirim ke sini rata-rata tiga hari sekali. Sekali kirim 20-an lah," jelasnya.
Harganya dibanderol dari Rp 400 ribu sampai Rp 600 ribu, tergantung beratnya.
"Setelah anjingnya kami terima, kami potong sendiri," ucapnya.
Ijey memastikan anjing yang diolah ini higienis dan terbebas dari penyakit. Ijey mengaku anjing tersebut rutin dicek kesehatannya selama satu bula sekali. Termasuk pengambilan sampel darah.
Hanya saja, di tempat itu, tidak terlihat dipasang sertifikat higienis.
Koordinator Dog Meat Free Indonesia (DMFI) Surakarta, Mustika Chandra menyangsikan klaim pedagang bahwa guguk itu telah divaksinasi, karena vaksinasi membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Mekanisme vaksinasi juga harus melibatkan instansi terkait.
"Kalaupun sudah divaksinasi, minimal harus dikarantina hingga dua minggu. Sedangkan selama ini langsung mereka sebarkan," ujar Mustika.
Hasil investigasi DMFI per April 2019, warung guguk di wilayah Solo Raya sekitar 200 warung. Meliputi Kabupaten Karanganyar, Sukoharjo, dan Surakarta.
Bahan baku kebanyakan didatangkan dari wilayah Tasikmalaya, Garut, Wonogiri, Surakarta, dan sebagian dari Jawa Timur.
Pasokan dari luar Solo, didatangkan tiga kali dalam seminggu. Satu truk memuat sekitar 100 ekor. Pengepul yang menerima di wilayah Sragen. Tiap ekor dihargai Rp 27 ribu hingga 40 ribu per kilo, sedangkan tiap ekornya berbobot 7-8 kilo.
"Dari area lokal hanya lima atau sepuluh ekor saja sekali pengiriman, karena di Solo sendiri sudah habis dijadikan sate," kata Mustika.
Ia membeberkan, proses pengiriman hingga sampai ke tangan pedagang juga tidak memperhatikan hak-hak hewan. DMFI menyaksikan sendiri semua proses itu melalui investigasi yang mereka lakukan.
Mustika menyebut, di wilayah Solo Raya, baru Karanganyar saja yang sudah menerbitkan peraturan daerah tentang larangan untuk mengonsumsi daging guguk.
Sedangkan, wilayah lain seperti Surakarta dan Sukoharjo sama sekali belum memiliki regulasi serupa.
Padahal, regulasi ini sangat penting. Terutama untuk memutus mata rantai utamanya.
"Dengan regulasi saja masih ada yang mengonsumsi. Apalagi, kalau belum dibikin perdanya. Kita juga butuh terus mengedukasi masyarakat," katanya.(*