Curhatan di Facebook VIRAL, Soal Jiwasraya & Asabri, SBY Sebut Tak Perlu Ada Gerakan Turunkan Jokowi
SBY pada bagian tulisannya di facebook di artikel 'ada yang dibidik dan hendak dijatuhkan', mengungkapkan soal isu Jiwasraya.
#Curhatan di Facebook VIRAL, Soal Jiwasraya & Asabri, SBY Sebut Tak Perlu Ada Gerakan Turunkan Jokowi
TRIBUNBATAM.id - Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) curhat di facebook.
SBY pada bagian tulisannya di facebook di artikel 'ada yang dibidik dan hendak dijatuhkan', mengungkapkan soal isu Jiwasraya.
Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) setuju bahwa kasus Jiwasaraya maupun Asabri tidak boleh dipolitisasi.
SBY mengatakan, pengalaman serupa yang pernah terjadi dalam pemerintahannya diharapkan tak terulang lagi di era kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi).
"Sejumlah kalangan mengatakan janganlah kasus Jiwasraya dan Asabri ini terlalu dipolitisasi. Saya sangat setuju," kata SBY dikutip dari catatan yang diunggah di laman Facebook-nya, Senin (27/1/2020).

Dalam tulisannya itu, SBY menceritakan pengalaman semasa kepemimpinannya tentang terbentuknya panitia khusus (pansus) atas kasus bail-out Bank Century 10 tahun lalu.
Saat itu, kata dia, politik negeri ini sangat gaduh dan serangan kepada pemerintah serta dirinya secara pribadi sangat gencar.
Unjuk rasa yang kerap kali terjadi saat itu selalu meminta dirinya dan Boediono yang merupakan wakilnya untuk turun.
"Kegaduhan politik yang melampaui batas itu tentu mengganggu stabilitas politik dan stabilitas sosial kita serta konsentrasi pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugasnya," kata dia.
Tidak hanya itu, pada periode pertamanya memimpin bersama Jusuf Kalla (JK), bahkan para pengunjuk rasa meminta agar mandat SBY-JK saat itu dicabut.
SBY mengatakan, lawan-lawan politiknya saat itu melakukan protes karena pemerintah menaikkan harga BBM hingga tiga kali lantaran harga minyak dunia meroket.
Padahal kenaikan itu diperlukan guna mengurangi subsidi BBM dalam APBN, dan untuk menyehatkan fiskal kita.
Namun saat itu pemerintah tetap membantu kaum miskin dan tidak mampu melalui cash transfer.
"Pengalaman yang saya alami itu, melalui artikel yang saya tulis ini, tak perlu terjadi lagi. Tak perlu dialami orang lain. Tak perlu ada gerakan atau teriakan 'turunkan Jokowi'," terang dia.
SBY mengatakan, dalam keadaan negara seperti saat ini jangan sampai ada penumpang gelap yang memiliki tujuan tertentu.
"Jangan punya nafsu untuk menjatuhkan pemimpin dan pemerintahan di tengah jalan. Dulu hal begini beberapa kali saya alami. Kekuasaan harus didapatkan secara sah. Kalau tidak halal, Allah tidak akan merahmatinya. Kekuasaan harus didapatkan melalui pemilu," kata dia.
Setelah melakukan penyidikan sejak 17 Desember 2019, Kejaksaan Agung menetapkan lima orang sebagai tersangka.
Tak hanya itu, para tersangka dalam kasus yang diprediksi merugikan negara sekitar Rp 13,7 triliun tersebut pun langsung ditahan.
Para tersangka disangkakan Pasal 2 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kelima orang tersebut yaitu Direktur Utama PT Hanson International Tbk Benny Tjokrosaputro, mantan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya Harry Prasetyo, dan Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Tbk Heru Hidayat. Kemudian, mantan Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya Hendrisman Rahim dan pensiunan PT Asuransi Jiwasraya Syahmirwan.
Sempat Berpolemik
Kasus Jiwasraya sempat berpolemik di Komplek Parlemen menyeret nama Presiden Republik Indonesia keenam, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Hal tersebut berawal dari pernyataan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo yang menyebutkan kasus Jiwasraya telah ada sejak era kepemimpinan SBY.
Hal tersebut ditanggapi Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Rachland Nashidik.
Lewat akun Twitternya @RachlandNashidik; pada Selasa (21/1/2020), Rachland mengungkapkan kemarahan SBY.
Kemarahan Ketua Umum Partai Demokrat itu dijelaskannya karena tudingan yang ditujukan kepada SBY sangat tidak beralasan.
"Tentu saja SBY harus marah namanya dikaitkan skandal Jiwasraya. Itu kebohongan bodoh yang gampang ditebak bertujuan melindungi para perampok dari telunjuk publik," ungkap Rachland.
"Itulah sebabnya SBY ingin Pansus dibentuk: Bukan untuk memuaskan dirinya tapi demi memenuhi rasa keadilan publik," tambahnya.
Rachland menyandingkan kasus Jiwasraya dengan kasus Century pada era tahun 2000-an.
Berbeda dengan kasus Century, KPK kini dapat luwes bekerja karena bertanggung jawab penuh kepada presiden.
"Pansus Century dulu ditolak karena KPK sedang bekerja. Pansus dinilai cuma akan mempolitisasi kasus. Tapi KPK kini, seperti halnya Jaksa Agung, bertanggung jawab pada Presiden," jelas Rachland.
Oleh karena itu, Partai Demokrat ditegaskannya mendorong agar dibentuknya Panitia Khusus (Pansus) Jiwasraya.
Sehingga kasus Jiwasraya tidak berujung pada politisasi.
"Penggunaan Hak Angket Dewan melalui Pansus jadi penting agar skandal Jiwasraya tak mengalami politisasi. Demokrat sepenuhnya paham memperjuangkan Pansus Angket tidak mudah karena kalah jumlah," jelas Rachland.
"Tapi ini harus dilakukan karena ini satu-satunya langkah yang benar. Pak SBY berulang bilang Demokrat tidak boleh duduk di sisi yang salah dari sejarah," jelasnya.

SBY Bersedia Disalahkan
Dikutip dari Kompas.com, Presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono ( SBY) akhirnya buka suara soal krisis PT Asuransi Jiwasraya (Persero) yang dituding bermasalah sejak masa pemerintahannya.
SBY mempersilakan jika periode pemerintahannya menjadi pihak yang disalahkan dan diminta bertanggung jawab.
"Kalau di negeri ini tak satu pun yang mau bertanggung jawab tentang kasus Jiwasraya, ya salahkan saja masa lalu," kata SBY, seperti diungkapkan asisten pribadinya, Ossy Dermawan lewat akun Twitter @OssyDermawan, Jumat (27/12/2019).
Saat dikonfirmasi, Ossy membenarkan peristiwa seperti yang ditulis dalam twit tersebut.
Ossy menyebutkan, soal krisis Jiwasraya itu disampaikan SBY kepada para tamu yang dia terima pada Kamis (26/12/2019).
Menurut SBY, publik pun tahu bahwa krisis Jiwasraya mulai terjadi dalam kurun 2018-2019.
Namun, jika memang tak ada pihak yang bertanggung jawab, SBY mempersilakan jika periode pemerintahannya disalahkan.
SBY mengatakan, mereka yang kala itu menjabat di periode pemerintahannya masih ada.
"Yang rakyat ketahui, krisis besar Jiwasraya terjadi dua tahun terakhir, 2018-2019. Jika ini pun tak ada yang bertanggung jawab, ya sudah, salahkan saja tahun 2006," kata SBY, berdasarkan kicauan Ossy.
"Para pejabat tahun 2006 juga masih ada, mulai dari saya, Wapres JK (Jusuf Kalla), Menkeu SMI (Sri Mulyani), Menteri BUMN, dan lain-lain. Tapi, tak perlu mereka harus disalahkan," kata dia.
SBY, kata Ossy, mengaku mendapatkan informasi bahwa saat ini banyak perusahaan BUMN yang bermasalah.
Ketua Umum Partai Demokrat ini menduga krisis di tubuh perusahaan-perusahaan BUMN itu barangkali akan kembali ditudingkan kepada dirinya.
"Mulai dari keuangan yang tak sehat, utang yamg sangat besar, sampai dengan dugaan penyimpangan (melanggar aturan). Kalau begini, jangan-jangan saya lagi yang disalahkan," tutur SBY, menurut twit Ossy.
Sejak Pemerintahan SBY
Presiden Joko Widodo angkat bicara soal kasus gagal bayar polis asuransi PT Asuransi Jiwasraya (Persero).
Jiwasraya sebelumnya menyerah dan tak sanggup memenuhi kewajiban pembayaran yang mencapai Rp 12,4 triliun.
Jokowi menegaskan, masalah di Jiwasraya ini terjadi sejak 10 tahun lalu, atau sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
"Ini persoalan yang sudah lama sekali 10 tahun yang lalu, problem ini yang dalam tiga tahun ini kita sudah tahu dan ingin menyelesaikan masalah ini," kata Jokowi saat berbincang dengan wartawan di Balikpapan, Rabu (18/12/2019).
Jokowi menegaskan, kasus gagal bayar Jiwasraya ini adalah masalah yang berat.
Namun, ia meyakini Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Kementerian Keuangan mampu mengatasinya.
Perusahaan asuransi Jiwasraya memastikan pembayaran kewajiban sebesar Rp 12,4 triliun yang dijanjikan pada Desember 2019 tak bisa terlaksana.
Hal ini disampaikan Hexana Tri Sasongko selaku Direktur Utama Jiwasraya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, penyelesaian masalah gagal bayar polis PT Asuransi Jiwasraya (Persero) bakal diserahkan ke ranah hukum.

Demokrat Desak Pembentukan Pansus Jiwasraya
Penelusuran kasus Jiwasraya yang terus bergulir kini berpolemik di Komplek Parlemen Senayan.
Sebagian Fraksi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia berharap adanya pembentukan Panitia Khusus (Pansus).
Namun, usulan tersebut digagalkan pimpinan DPR yang hendak membentuk Panitia Kerja (Panja) atas kasus tersebut.
Polemik yang terjadi atas penyelesaian kasus Jiwasraya ditanggapi Rachland Nashidik.
Lewat akun twitternya pada Senin (20/1/2020), Rachland menegaskan pentingnya pembentukan Pansus ketimbang Panja.
Menurutnya, lewat pembentukan Pansus, DPR memiliki kewenangan lebih dalam penyelesaian kasus Jiwasraya.
"Skandal Jiwasraya memerlukan kekuatan kewenangan Pansus DPR agar kepada publik dapat dijelaskan: apa duduk perkaranya, kapan kejadiannya, siapa dan kenapa harus bertanggungjawab," jelas Rachland.
"Semuanya agar keadilan bisa ditegakkan dan di masa datang skandal yang sama dapat dicegah berulang," tegasnya.
Alasannya Rachland mendorong agar dibentuknya Pansus karena Panja memiliki kewenangan terbatas.
Terbatasnya kewenangan tersebut antara lain, tidak adanya hak angket, interpelasi dan menyatakan pendapat.
Sehingga menurutnya, pembentukan Panja dalam peengusutan kasus Jiwasraya akan percuma.
Sebab bukan hanya menghalangi DPR RI mengungkap kasus Jiwasraya, tetapi menurutnya juga menghalangi pencarian keadilan.
"Tak seperti Pansus, Panja DPR tak memiliki kekuatan kewenangan 'Angket', 'Interpelasi' dan 'Menyatakan Pendapat'," tegas Rachland.
"Bila pembentukan Panja menghalangi kewenangan maksimum DPR untuk membongkar skandal Jiwasraya, maka Panja sama saja menghalangi pencarian keadilan," tambahnya.
Usulan Pansus Meredup
Dikutip dari Kompas.com, krisis keuangan di tubuh PT Asuransi Jiwasraya memunculkan wacana pembentukan panitia khusus (pansus) oleh DPR RI.
Sejumlah fraksi di DPR menilai pansus merupakan wadah tepat bagi anggota dewan untuk turut mengawal dan mengawasi pengusutan kasus dugaan korupsi di perusahaan asuransi berpelat merah itu.
Usulan Pansus Jiwasraya bahkan sempat menggema di rapat paripurna DPR pada Senin (13/1/2020).
Anggota dewan dari sejumlah fraksi menyampaikan interupsi terkait pembentukan Pansus Jiwasraya.
Namun, pada akhirnya wacana Pansus Jiwasraya meredup.
Setelah ada dorongan dari pimpinan DPR agar komisi terkait membentuk panitia kerja (panja) masing-masing.
Komisi VI DPR yang membidangi urusan BUMN tancap gas.
Dirangkum Kompas.com, berikut perjalanan wacana Pansus Jiwasraya yang akhirnya gagal terbentuk.
Sejumlah Fraksi DPR Sudah Setuju
Hingga Kamis (9/1/2020), wacana pembentukan Pansus Jiwasraya masih bergulir di DPR.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad saat itu menyatakan, sudah ada lima dari sembilan fraksi yang setuju untuk membentuk Pansus Jiwasraya.
"Secara informal sudah ada lima fraksi yang kemudian setuju untuk Pansus Jiwasraya," kata Dasco di gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Lima fraksi itu, menurut Dasco, adalah NasDem, PKS, Gerindra, Demokrat, dan Golkar.
Kala itu, dia mengatakan DPR akan menggelar rapat pimpinan dan rapat badan musyawarah (bamus) untuk membahas usul pembentukan pansus tersebut.
Gagal Dibentuk Karena Dianggap Memakan Waktu
Wacana membentuk Pansus Jiwasraya akhirnya gagal.
Dasco pun mengatakan, pimpinan DPR mendorong komisi terkait, yaitu Komisi III, Komisi VI, dan Komisi XI untuk membentuk panitia kerja (panja).
"Menurut saya akan terlalu lama bikin pansus prosesnya. Jadi karena pemerintah sudah melakukan hal-hal yang perlu kita respons cepat ya, kita akan segera," ucap Dasco di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (15/1/2020).
Dia menyatakan, DPR mesti bergerak cepat untuk menyeimbangkan langkah pemerintah dalam penanganan krisis Jiwasraya.
Hal ini menyusul penetapan lima orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi Jiwasraya oleh Kejaksaaan Agung.
Menurut Dasco, pembentukan pansus akan memakan waktu lama.
Diketahui, pembentukan pansus harus berdasarkan usulan minimal 25 anggota dan lebih dari satu fraksi.
Dasco pun menjelaskan Komisi III mengawasi proses penegakan hukum, Komisi VI mengawasi kinerja BUMN, dan Komisi XI mengawasi keuangan BUMN.
Komisi VI DPR Bentuk Panja
Di hari yang sama, Rabu (15/1/2020), Komisi VI DPR kemudian menggelar rapat internal.
Komisi VI DPR yang membidangi urusan BUMN pun memutuskan membentuk Panja Jiwasraya.
Anggota Komisi VI Rieke Diah Pitaloka mengatakan, pembentukan Panja diharapkan dapat memperjelas akar masalah kasus PT Asuransi Jiwasraya.
"Dengan keputusan internal Komisi VI tersebut, maka khususnya terkait PT Jiwasraya Persero diharapkan dapat lebih jelas peta masalah dan dapat ditemukan solusi yang tepat," kata Rieke.
Rieke memastikan, panja Jiwasraya tidak akan mengganggu proses dan penegakan hukum yang sedang berjalan.
Ia juga mendukung Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri aset-aset para pihak yang terlibat dalam kasus Jiwasraya.
"Kemudian, pihak penegak hukum terkait berani melakukan sita aset para pelaku pengemplang uang nasabah PT Jiwasraya, tanpa pandang bulu," ujarnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kasus Jiwasraya dan Asabri, SBY Sebut Tak Perlu Ada Gerakan Turunkan Jokowi", Penulis : Deti Mega Purnamasari