HUMAN INTEREST
Meski Harga Rempah Naik, Dwi Meraup Berkah Selama Corona Merebak, Jualan Jamunya Laris Manis
Sejak merebaknya virus covid-19 ternyata membawa keberkahan tersendiri bagi Dwi, seorang penjual jamu di Tiban.
TRIBUNBATAM.id BATAM - Jamu merupakan minuman tradisional asli Indonesia yang kaya akan kandungan rempah-rempah.
Sejak turun-menurun, jamu telah dipercaya dapat memberi manfaat bagi kesehatan tubuh.
Di tengah merebaknya pandemi Covid-19, jamu diyakini dapat membantu untuk menjaga daya tahan tubuh dan dapat memelihara stamina.
Dari fenomena tersebut, banyak masyarakat berburu rempah-rempah untuk diolah menjadi jamu.
Hal tersebut ternyata mengakibatkan harga rempah-rempah di pasar naik hingga 2x lipat dari harga semula.
Bukan tanpa alasan, kenaikan harga rempah-rempah tersebut tentunya sangat berdampak besar bagi penjual jamu.
Dwi Sudiyarsih (45) yang akrab disapa Bude, penjual jamu di sekitar pintu masuk Pasar Tiban Centre Batam mengaku bahwa dirinya sangat merasakan dampak dari kenaikan harga rempah-rempah hampir dua kali lipat tersebut.
• Kadinkes Batam Ungkap Alur dan Proses Penanganan ODP & PDP Covid-19
"Jahe biasanya Rp 20.000/kg sekarang jadi Rp 40.000/kg. Temulawak sebelum naik seperti sekarang saya beli Rp 30.000/kg sekarang udah nyentuh Rp 60.000/kg. Sama juga dengan kencur. Biasanya saya beli Rp 20.000/kg sekarang udah Rp 50.000/kg," ujar Dwi.
Kenaikan harga rempah-rempah tersebut ternyata menjadi tantangan bagi Dwi.
Ia mengaku terus berupaya agar tetap dapat berjualan setiap hari walau harga rempah sedang melonjak.
"Mau nggak mau kan rempahnya wajib dibeli. Walaupun harganya sedang melambung. Imbasnya, saya terpaksa menaikkan harga jamu saya. Sebelumnya satu gelas jamu harganya Rp 4.000 sekarang menjadi Rp 5.000," katanya.
Hanya saja, Dwi mengakui tapi tidak semudah itu bisa menaikkan harga.
"Pelanggan saya terkadang ada juga yang masih belum nerima harganya naik seribu rupiah. Masih ada yang nawar. Daripada saya kehilangan pelanggan, mau tidak mau saya tetap menerima tawaran pelanggan saja. Biar tetap dapat untung, saya kurangi saja porsi jamunya," ujarnya.
Meski harga rempah naik, tapi Dwi mengaku tak tertarik menggantinya dengan produk bubuk sebagaimana yang banyak dilakukan orang.
Menurutnya, kepercayaan pelanggan terhadap kualitas jamunya tetap dipertimbangkan.
"Lagian jamu yang asli itu adalah jamu yang menggunakan rempah-rempah asli yang diblender halus kemudian dimasak. Kalau bubuk menurut saya malah jadi mengurangi kualitas jamu itu sendiri," ujarnya.
Terlepas dari tantangan kenaikan bahan baku jamu tersebut, Dwi mengaku bahwa kondisi pandemi saat ini justru mendatangkan berkah baginya.
Bukan tanpa alasan, di saat harga rempah sedang melambung, sebagian masyarakat memilih rutin untuk meminum jamu lebih dari biasanya.
Hal tersebut membuat jamu milik Dwi menjadi laris manis diserbu orang.
"Alhamdulillah semenjak Corona ini, orang-orang jadi banyak yang minum jamu. Bahkan selain disajikan dalam gelas, saya sediakan juga dalam kemasan botol. Jadi bisa di stok untuk dirumah masing-masing," ujarnya
Menurut Dwi, jamu yang banyak dicari masyarakat saat ini ialah kunyit asem, temulawak, dan beras kencur.
Dalam sehari ia dapat menjual sekitar 20 gelas jamu dan 7 botol jamu. Dwi menjual jamunya di Pasar dari pukul 05:00 pagi hingga pukul 11:00 siang.
Wanita paruh baya yang tinggal di Sungai Panas ini ternyata menjadi satu-satunya tulang punggung untuk keluarganya sejak suaminya berhenti bekerja karena sakit.
"Jamu ini merupakan mata pencaharian pokok keluarga kami. Dulu suami saya kerja di rumah makan bakso milik kerabat, namun semenjak kakinya sakit beliau tidak bekerja lagi. Harapan kami pada jamu ini saja, Mbak. Tidak mudah, makanya untuk menambah penghasilan saya berjualan kerupuk juga. Lumayan untung seribu atau dua ribu kan," ujarnya.
Wanita asal Jawa Tengah ini merantau ke Batam pada tahun 2001 dan tinggal di rumah kerabatnya.
Jamu yang ia jual selama ini merupakan resep terun-temurun keluarganya.
"Dulu bulek saya yang pertama kali mengajarkan saya cara bikin jamu. Beliau juga dulunya berjualan jamu. Namun sekarang saya yang meneruskan. Sebelum jualan jamu di Pasar, saya dulunya keliling daerah kompleks sini. Kadang panas-panasan kadang juga kuyup kena hujan. Cari tumpangan berteduh tidak gampang. Kadang saya numpang di masjid saja kalo kepanasan atau kehujanan. Karena usia semakin tua, saya putuskan untuk berjualan di Pasar saja," ujar Dwi.
Selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, saat ini dirinya harus membayar sewa kepada pemilik lapak sebesar Rp 300.000/bulan.
Mengingat kondisi suami tidak lagi sehat, Dwi menggantikan posisi suami untuk mencari uang setiap harinya, dikarenakan hasil penjualannya tersebut harus ia sisihkan untuk membeli obat sang suami.
"Dulu saat sedang sehat, kita berdua sama-sama bekerja mencari uang. Saat sedang diuji seperti ini, saya harus gantikan beliau. Saling mengisi satu sama lain saja," ujar Dwi. (TRIBUNBATAM.id/Rebekha Ashari Diana Putri)