Larang Warganya Untuk Berpergian, China Laporkan 32 Kasus Baru Covid-19, 25 di Beijing

Pada Jumat (19/6/2020), Beijing melaporkan peningkatan 25 kasus baru Covid-19 dalam 24 jam. Berikut penjelasan dari Komisi Kesehatan Nasional China.

AFP
Ilustrasi warga China di tengah wabah Covid-19. Virus Corona masih mewabah di China, Beijing laporkan kasus baru lagi. 

TRIBUNBATAM.id, BEIJING - Beijing kembali melaporkan penemuan kasus baru virus Corona atau Covid-19.

Pada Jumat (19/6/2020), Beijing melaporkan peningkatan 25 kasus baru Covid-19 dalam 24 jam.

Angka ini diumumkan langsung oleh Komisi Kesehatan Nasional China.

Dibandingkan dengan hari sebelumnya, hanya 21 kasus dikonfirmasi positif.

Pemerintah Beijing membatasi pergerakan orang di ibu kota dan meningkatkan langkah lain untuk mencegah penyebaran virus lebih lanjut setelah serangkaian terjadi penularan lokal dan klaster baru.

Pemerintah Beijing juga telah menetapkan lebih banyak 'lockdown' di permukiman dan melakukan tes masif kepada warganya untuk menghentikan penyebaran virus Corona.

China vs India Diambang Perang, India Siagakan Jet Tempur hingga Helikopter Serbu Apache

Secara nasional, China melaporkan 32 kasus baru konfirmasi virus Corona.

Lima kasus asimtomatik pasien Covid-19, mereka yang terinfeksi tetapi tidak menunjukkan gejala.

Wabah baru Covid-19 di Beijing dikaitkan dengan pasar makanan dan sayuran di pasar Xinfadi.

Berdasarkan data, per 11 Juni lalu, sudah 158 kasus baru dikaitkan dengan klaster Pasar Xinfadi.

Sebagai langkah pencegahan, lebih seribuan penerbangan domestik masuk dan keluar dari Beijing dibatalkan pada Rabu (17/6/2020), sebagai upaya untuk membendung penularan wabah virus Corona (Covid-19) di ibukota China.

South China Morning Post melaporkan, 1.255 penerbangan yang seharusnya terbang dari dan ke Bandara Internasional Beijing Daxing dan Bandara Internasional Beijing Capital dibatalkan.

Beijing dan sejumlah provinsi di China juga telah melarang warganya untuk berpergian meninggalkan kota.

Bukan itu saja, otoritas setempat pun menghentikan sejumlah moda transportasi pada Selasa (16/6/2020) untuk menghentikan penyebaran virus Corona ke kota dan Provinsi lain.

Di pusat keuangan China, Shanghai, pemerintah meminta para wisatawan dari Beijing menjalan karantina selama dua minggu, ketika 27 kasus baru Covid-19 ditemukan.

Kemunculan puluhan kasus baru Covid-19 di Beijing memicu kekhawatiran akan potensi gelombang kedua di China.

Sebagaimana diketahui, virus ini pertama kali muncul di Wuhan, China pada Desember 2019, sebelum menyebar ke seluruh dunia dan menjangkiti lebih dari 8 juta orang.

"Beijing akan mengambil tindakan yang paling tegas, menentukan, dan ketat untuk menghentikan wabah," ujar Xu Hejian, juru bicara pemerintah kota Beijing, dalam konferensi pers pada Selasa (16/6/2020).

Pejabat Kesehatan China, Senin (15/6/2020) pagi, kembali melaporkan 49 kasus baru, termasuk 33 kasus terkait pasar itu.

Pada Selasa (26/6/2020) pagi, otoritas China melaporkan 40 kasus baru konfirmasi positif Covid-19.

Menurut Komisi Kesehatan Nasional China, 27 kasus baru terdapat di Beijing.

Beijing telah menetapkan 22 titik sebagai daerah berisiko sedang pada Senin kemarin.

Hal ini perlu untuk mengambil tindakan yang ketat, mengantisipasi potensi masuknya infeksi.

Semua kelompok berisiko tinggi di Beijing, seperti yang punya kontak dekat dengan mereka yang terpapar, tidak diperbolehkan untuk meninggalkan kota, demikian laporan media milik pemerintah, People’s Daily.

Media China, Global Times melaporkan, otoritas Beijing mendorong setidaknya dua provinsi terdekat untuk melakukan pelacakan warga yang punya riwayat ke pasar Xinfadi.

Semua taksi dan jasa layanan mobil lainnya juga telah ditangguhkan. Beberapa rute bus jarak jauh antara Beijing dan Provinsi Hebei dan Shandong dihentikan.

Setidaknya tiga layanan shuttle bus dari Hebei dan satu lagi dari Inner Mongolia ke Bandara Beijing ditangguhkan.

Prihatin tentang risiko menular, banyak Provinsi juga telah merapkan persyaratan karantina bagi pengunjung dari Beijing.

Pada Selasa, Shanghai mulai meminta wisatawan dari daerah berisiko Covid-19 di China untuk jalani karantina selama 14 hari.

Akibat Perang Dagang, Peringkat Daya Saing Amerika Serikat dan China Merosot, Singapura Naik

Konflik yang terjadi antara Amerika Serikat (AS) dan China membawa berbagai dampak untuk keduanya.

Salah satunya untuk urusan ekonomi yang diketahui membuat Amerika Serikat dan China kurang kompetitif.

Tentunya sebagai akibat dari perang dagang dari kedua negara tersebut.

Hingga saat ini pun belum tampak adanya resolusi jangka pendek di antara kedua negara.

Dilansir dari BBC, Kamis (18/6/2020), baik China dan AS mengalami penurunan peringkat daya saing dalam daftar World Competitiveness Rankings untuk tahun ini.

Adapun beberapa negara, termasuk Singapura, Denmark, dan Swiss mengalami kenaikan daya saing.

Survei yang dilakukan Institute for Management Development (IMD) menyatakan, penanganan pandemi virus Corona yang dilakukan ketiga negara membantu memperkuat posisi daya saing mereka.

Peringkat daya saing AS merosot 7 peringkat ke peringkat 10.

Sementara itu, peringkat daya saing China anjlok 6 poin menjadi peringkat 20.

Kedua negara raksasa ekonomi tersebut terlibat dalam perang dagang sejak tahun 2018, termasuk perang tarif impor atas banyak negara.

Perang dagang telah meningkatkan ketidakpastian untuk aktivitas bisnis, faktor yang memberatkan daya saing kedua negara.

"Perang dagang telah menghancurkan ekonomi AS dan China, membalik lajut pertumbuhan positif kedua negara," ujar IMD dalam laporannya.

Singapura menjadi negara berdaya saing tertinggi di dunia untuk dua tahun berturut-turut, diikuti oleh Denmark dan Swiss. Adapun Belanda dan Hong Kong masing-masing berada pada peringkat empat dan lima.

Pemeringkatan IMD disusun dengan melakukan asesmen terhadap 63 negara atas ratusan faktor, termasuk serapan tenaga kerja, biaya hidup, dan belanja pemerintah.

IMD juga menyertakan survei eksekutif terkait topik-topik seperti stabilitas politik dan perlindungan hak kekayaan intelektual.

Negara-negara Asia Pasifik secara umum melemah daya saingnya.

Jepang, misalnya, menurun 4 poin ke peringkat 34 dan India tetap di peringkat 43.

Adapun daya saing Indonesia menempati peringkat 40 dari 63 negara, menurun dari peringkat 32 pada tahun 2019.

Hadirkan Investor Asing, Begini Cara China Melawan Blacklist Ekonomi Oleh Donald Trump

Ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan China berdampak kepada beberapa sektor perekonomian.

Donald Trump sebelumnya melakukan blacklist terhadap beberapa perusahaan China.

Namun China punya caranya sendiri untuk melawan semua itu.

Kedua negara saling berjibaku membuat langkah ekonomi ditengah hubungan bilateral yang semakin memburuk dengan variabel lain seperti virus Corona hingga persoalan Hong Kong.

Namun, belakangan ini China justru menyambut dengan terbuka bagi kehadiran investor asing di pasar keuangannya, termasuk dari Amerika Serikat.

China mengambil langkah konkret selama akhir pekan ini untuk membuka pasar keuangannya yang bernilai US$ 45 triliun bagi investor asing.

Melansir berita People's Daily, bank sentral China baru-baru ini mengeluarkan lisensi kepada perusahaan kartu kredit asal AS, American Express, untuk beroperasi di China.

Ini merupakan perusahaan kartu kredit asing pertama yang mendapatkan lisensi di negeri tirai bambu tersebut.

Langkah terbaru dari pihak China, yang mengikuti serangkaian langkah-langkah pembukaan baru-baru ini, justru dilakukan pada saat Amerika Serikat dengan Donald Trump-mya secara aktif menindak perusahaan-perusahaan China dan berusaha untuk menutup pintu ke pasar keuangan AS untuk investor China.

Para pejabat dan pakar menyebut, ini merupakan upaya AS untuk menahan laju pertumbuhan ekonomi China, saat hubungan bilateral berada pada titik terendah dalam beberapa dekade.

Mengutip People's Daily, pendekatan berbeda yang diambil oleh dua ekonomi terbesar di dunia itu juga merangkum tren pergeseran struktur kekuatan ekonomi global yang didorong oleh meningkatnya ketegangan dan krisis kesehatan masyarakat.

Analis China menilai, saat AS masih berjibaku untuk menangani masalah sosial, politik dan ekonomi dalam negeri, China mempertahankan fokus pada jalur pembangunan jangka panjangnya meskipun ada banyak tantangan.

Dalam sebuah pernyataan resmi yang dirilis Sabtu (13/6/2020) seperti dikutip Reuters, PBOC telah menyetujui lisensi untuk Express (Hangzhou) Technology Services Co yakni perusahaan kartu kredit patungan antara American Express dan LianLian DigiTech Co Ltd.

Langkah itu mencerminkan China terus membuka industri keuangannya. Hal ini secara efektif membuka pintu bagi perusahaan AS ke pasar pembayaran China yang sangat besar, yang diperkirakan bernilai US$ 27 triliun.

Menurut pernyataan tersebut, operasi harus dimulai dalam waktu enam bulan sejak tanggal penerbitan lisensi.

"Ini adalah contoh spesifik lain dari China yang memperluas, membuka dan memperdalam reformasi sisi pasokan di sektor keuangan," kata PBC dalam pernyataan itu, mencatat bahwa langkah itu kondusif untuk meningkatkan layanan pembayaran China dan internasionalisasi yuan.

Dalam sebuah pernyataan, American Express menyatakan akan mulai memproses transaksi akhir tahun ini.

"Kami senang menjadi perusahaan asing pertama yang menerima lisensi ini."

"Persetujuan ini merupakan langkah maju yang penting dalam strategi pertumbuhan jangka panjang kami dan merupakan momen bersejarah," kata Stephen J. Squeri, ketua dan CEO American Express, dalam sebuah pernyataan seperti yang dikutip dari Global Times.

Meski menjadi yang pertama dalam menerima lisensi izin pembayaran, American Express bukanlah satu-satunya lembaga keuangan AS yang diizinkan memasuki pasar keuangan China yang bernilai US$ 45 triliun.

Analis mengatakan, pernyataan tersebut menandakan bahwa langkah-langkah pembukaan lebih lanjut di sektor keuangan dan sektor lain dapat mengikuti, terlepas dari apa yang dikatakan atau dilakukan AS tentang China dan perusahaan China.

"Penting untuk ditekankan bahwa ketika membuka sektor keuangan cocok dengan kesepakatan fase satu, itu lebih merupakan langkah proaktif dengan kecepatan kita sendiri," Gao Lingyun, seorang ahli di Akademi Ilmu Sosial Tiongkok di Beijing yang mengikuti dengan cermat pembicaraan perdagangan China-AS, kepada Global Times pada hari Minggu.

Gao juga menambahkan, dengan menyambut perusahaan-perusahaan AS yang berkualitas ke pasar China tidak berarti bahwa China tidak akan menanggapi tindakan AS yang telah atau akan merusak kepentingan ekonomi China.

"Jika AS menindaklanjuti semua ancamannya untuk melukai perusahaan-perusahaan China, China pasti akan mengambil tindakan balasan serta untuk membantu perusahaan-perusahaan yang terkena dampak itu," katanya.

Amerika Serikat blacklist perusahaan China

Ketegangan antara Amerika Serikat dan China masih terus berlanjut.

Di bidang ekonomi ditandai dengan sikap Amerika Serikat yang menambah 33 perusahaan China ke daftar hitam atau blacklist ekonomi.

Disebut-sebut, perusahaan dan institusi itu membantu Beijing memata-matai populasi minoritas Uighur.

Langkah Departemen Perdagangan AS menandai upaya terbaru pemerintahan Trump untuk menindak perusahaan yang produknya dapat mendukung kegiatan militer China.

Sekaligus, menghukum Beijing karena perlakuannya terhadap minoritas Muslim.

"Tujuh perusahaan dan 2 institusi terlibat dalam pelanggaran HAM dan pelanggaran yang dilakukan dalam kampanye penindasan China, penahanan massal sewenang-wenang, kerja paksa, dan pengawasan teknologi tinggi terhadap Uighur," ujar Departemen Perdagangan AS dikutip Reuters, Sabtu (23/5/2020).

Sebanyak dua lusinan lembaga baik lembaga pemerintah maupun organisasi komersial ditambahkan dalam daftar hitam karena mendukung pengadaan barang yang digunakan oleh militer China.

Adapun perusahaan-perusahaan yang masuk dalam daftar hitam adalah perusahaan yang fokus pada kecerdasan buatan (AI) dan pengenalan wajah (face recognition).

Di mana perusahaan AS seperti Nvidia Corp dan Intel Corp telah banyak berinvestasi di dalamnya.

Di antara perusahaan daftar hitam itu, nama NetPosa disebut.

NetPosa merupakan salah satu perusahaan AI terkenal di China, yang anak usaha face recognition-nya dikaitkan dengan pengawasan orang muslim.

Kemudian ada Qihoo360, sebuah perusahaan cybersecurity besar yang didepak dari Nasdaq pada tahun 2015.

Qihoo360 baru-baru ini menjadi berita utama karena mengklaim telah menemukan bukti alat peretas CIA yang digunakan untuk menargetkan sektor penerbangan China.

Departemen Perdagangan AS mengatakan, telah menambahkan perusahaan-perusahaan itu dalam daftar hitam.

Artinya AS bakal membatasi penjualan kepada perusahaan itu.

AS juga akan membatasi beberapa item yang dibuat di luar negeri dengan teknologi Negeri Paman Sam itu.

Namun, perusahaan yang masuk daftar hitam itu dapat mengajukan izin untuk melakukan penjualan.

Tetapi tentu saja harus mengatasi anggapan penolakan.

Lebih lanjut, perusahaan bernama CloudMinds juga dimasukkan ke dalam daftar hitam.

Perusahaan yang mendapat dukungan pendanaan dari Softbank Group Corp ini mengoperasikan layanan berbasis cloud untuk menjalankan robot seperti versi Pepper, robot humanoid yang mampu berkomunikasi sederhana.

Sebetulnya, CloudMinds sudah diblokir sejak tahun lalu karena mentransfer teknologi atau informasi teknis dari unit AS ke kantornya di Beijing.

Di sisi lain, Xilinx Inc mengatakan, setidaknya 1 dari pelanggannya masuk ke dalam daftar hitam.

Tapi pihaknya mematuhi kewenangan Departemen Perdagangan AS.

"Xilinx mengetahui ada penambahan (perusahaan ke dalam blacklist) baru-baru ini Departemen Perdagangan."

"Kami sedang mengevaluasi setiap dampak bisnis yang potensial," papar pihak perusahaan.

"Kami mematuhi aturan dan peraturan Departemen Perdagangan AS yang baru," tambahnya.

Sebagai informasi, tindakan Departemen Perdagangan AS ini mengikuti tindakan serupa yang terjadi pada Oktober 2019.

Saat itu, AS memasukkan 28 biro keamanan publik China dan perusahaannya, termasuk beberapa perusahaan pemula AI dan perusahaan pengawas video Hikvision.

Tindakan tersebut mengikuti blue print yang sama, yang digunakan oleh Washington dalam upayanya membatasi pengaruh Huawei Technologies Co Ltd.

Huawei dibatasi dengan alasan keamanan nasional.

Bahkan pada pekan lalu, pemerintah AS mengambil tindakan untuk memotong akses Huawei ke para produsen chip.

(*)

Potensi Perang! Empat KRI Siaga di Perairan Natuna, Eskalasi Meningkat di Laut China Selatan

Pangkoarmada I Siagakan 4 KRI di Perairan Natuna, Antisipasi Situasi di Laut China Selatan

China Sebut virus Corona yang Ditemukan di Pasar Grosir Xinfadi Beijing Berasal dari Eropa

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Masih Terus Mewabah, China Laporkan 32 Kasus Baru Corona, 25 di Antaranya di Beijing.

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved