Wawancara Khusus Konjen Singapura, Mark Low : Singapura Masih Khawatir Kotak Pandora Covid-19

Pengalaman sekitar 134 hari lockdown di Batam, Konsul Jenderal (Konjen) Singapura di Kepulauan Riau (Kepri) Mr Mark Low (54) adalah contoh kisah emosi

Editor: Eko Setiawan
TRIBUNBATAM.id
Konjen Singapura Mark Low 

“Pekan lalu, di masa pandemi, Singapura sudah membuka pintu perbatasan timbal-balik dengan China. Hanya saja, kebijakan dengan China ini akan dintinjau ulang dalam 12 hingga 18 bulan kedepan. Jika lancar, kebijakan ini jadi contoh dengan negara lain, termasuk Indonesia. “

TRIBUNBATAM.id, BATAM - Bagaimana kondisi Singapura dan peluang terbukanya lembali pintu perbatasan dengan kota tetangganya Batam, di masa New Normal pademi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) ini?

Pengalaman sekitar 134 hari lockdown di Batam, Konsul Jenderal (Konjen) Singapura di Kepulauan Riau (Kepri) Mr Mark Low (54) adalah contoh kisah emosional dan harapan ‘semoga pandemi Corona segera berlalu.

“Sejak liburan Imlek (25 Januari 2020), saya tak pernah bertemu istri dan anak lagi.” kata Mr Mark Low, membuka pembicaraan dengan Tribun Batam, Rabu (24/6/2020) sore di sebuah kedai kopi di Batam Center.

Didampingi Atik Lestari, sekretarisnya, Mr Mark Low menyebutkan, sebagai diplomat dia punya izin dan akses untuk saban bulan kembali menjenguk istri dan anak semata wayangnya, di Negeri Jiran.

Namun, “kalau jatah cuti 12 hari, tapi dikarantina di hotel luar kota, sama saja saya tak menikmati. Lebih baik saya work from home di sini (Batam), dan istri dan anak tetap di Singapura.”

Pengalaman ‘lockdown’ juga dialami diplomat Singapura lainnya di Batam.

Kebanyakan mereka bekerja di komplek Batamindo, Mukakuning, kompleks Panbill Industrial Park, dan beberapa kawasan industri dan manufaktur di Batam.

Sebaliknya, keluarga para diplomat yang ada di Singapura, juga memilih tetap menjalani periode circuit breaker, pemutusan mata rantai Covid-19, di Negeri Singa, tinimbang menemani pasangannya di Batam.

Mark menyebutkan, ada sekitar 200-an expatriat level direktur, manager, dan tenaga ahli, yang memilih menjalani masa New Normal di Batam.

Seperti negara-negara lain, meski pemerintah Singapura, hingga akhir Juni ini, masih mengetatkan pintu masuk, namun tetap ada pengecualian.

“Sampai ditemukan vaksin tetap, kitasaya pikir semua negara masih terus waspada dan tetap menutup pintu perbatasan untuk keselamatan warga-nya.”
Warga Negara Singapura di luar negeri tetap bisa masuk.

Pemegang Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) dan Izin Tinggal Tetap ( KITAP) pemegang paspor diplomatik, pekerja tugas essensial, aparat keamanan, permanent resident (PR), pemegang long term visit pass (siswa dan mahasiswa negara asing yang belajar di Singapura), dan pemegang paspor temporary work permit.

Hanya saja, jelasnya, kebanyakan mereka, memilih tetap di rumah dan di negaranya.

Kalaupun, sekolah, pusat perbelanjaan, rumah ibadah, atau community center mulai dibuka terbatas di Singapura, sejak awal Juni lalu, itu lebih karena pertimbangan psikologis.

“Pemerintah membayangkan kondisi kejiwaan warga yang sudah lebih 100 hari ’stay at home’. Mereja juga rindu bersosialisasi,” ujarnya.

Mantan Konjen Singapura di Medan ini, menyebutkan hingga kni ‘belum ada kepastian waktu’, dari pemerintah Singapura dan Indonesia, kapan pintu perbatasan kembali dibuka untuk warga umum seperti sedia kala.

Bukan hanya Singapura, jelas dia, hampir semua negara di dunia, juga memilih mendahulukan keselamatan nyawa dan kesehatan warga dari virus Corona, ketimbang opsi pemulihan aktivitas ekonomi, seperti mengizinkan kunjungan wisatawan.

Dia mencontohkan, New Zaeland, Korea Selatan, dan Beijing. Awal Juni lalu, ketiga negara ini mulai membuka aktivitas ruang publik.

Namun, setelah tiga pekan, muncul lagi kasus-kasus baru di tiga negara itu.

Pemerintah setempat, kembali memperketat penerapan ‘social distancing'.

Mengitip pernyataan resmi atasannya, Menteri Luar Negeri Singapura Dr Vivian Balakrishnan, Selasa (23/6/2020) tadi malam di Channel News Asia (CNA's In Conversation), Mr Mark Low, menyebutkan, pemerintahnya baru membuka pintu terbatas, bagi pekerja dan warga China ke Singapura dan sebaliknya.

Kesepakatan diplomatik “fast lane’ kedua negara ini, kata Mark, menjadi contoh New Normal yang diterapkan di negara-negara sahabat, termasuk Indonesia dan Malaysia.

Singapura adalah negara pertama di Asean yang disetujui Beijing, untuk membuka jalur wisatawan kedua negara.

Dalam perjanjian itu, China dan Singapura masing-masing mewajibkan para pendatang untuk mengikuti protokol kesehatan WHO.

“Warga Singapura harus punya keterangan sehat dari negaranya, demikian juga warga China yang ke Singapura, dan tak perlu lagi ada karantina.”

Alasan menjadikan China sebagai negara percontohan, karena kedua pihak memiliki hubungan dagang, bisnis, dan diplomatik kuat.

Menlu Vivian Balakrishnan, menyebutkan setelah fas lane dengan China, sejumlah negara juga mmeminta pembukaan pintu perbatasan ini.

Hanya saja, jelas Vivian, kebijakan dengan China ini akan dintinjau ulang dalam 12 hingga 18 bulan kedepan.

Kebijakan ini juga berlaku untuk Indonesia, Malaysia, dan negara-negara sahabat lain.

Prinsip kehati-hatian jadi pertimbangan utama. "Dan aku harus memberitahumu bahwa kita harus sangat, sangat berhati-hati bahwa ketika kita membuka, kita tidak membuka kembali kotak Pandora dan virus keluar mengamuk lagi. Ini operasi yang sangat rumit".

Masih mengutip atasannya, Mark mencontohkan kebijakan pembukaan pintu perbatasan dengan Malaysia, negara tetangga terdekatnya, juga berlaku untuk Indonesia dan negara lain.

Negaranya masih "ragu untuk menentukan waktu pasti”.

Pembukaan kedua sisi jembatan Causeway, masih harus menuntaskan hal detail.

“Penyeberangan darat tersibuk di dunia adalah antara Johor dan Singapura ... jadi kita harus mengerjakan banyak detail,. Bisa berhari-hari, bahkan hingga berminggu-minggu," katanya.

Sekadar diketahui, sejak dua pekan lalu, Singapura sudah membuka pintu masuk dari Indonesia melalui Pelabuhan Ferry Batam Center dan Tanah Merah.
Pintu laut Singapura-Batam, di Harbour, masih ditutup.

Penumpang hanya dilayani dua kapal ferry. Itupun tingkat ketersisian kursi kapal, masih dibawah 10 %.

Dia menyebutkan, salah satu pertimbangan utama adalah kesehatan dan keselamatan warga dua negara. (ath/zil/bersambung)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved