Trump Ungkap Ingin Bertemu Kim Jong Un, Korea Selatan Mendukung, Korea Utara Merasa Tak Butuh
Donald Trump dikabarkan ingin bertemu dengan Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un. Korea Utara menyatakan, mereka "merasa tidak butuh" atas pertemuan ini
Juni, Pyongyang mengeluarkan serangkaian kecaman pedas terhadap Korea Selatan atas selebaran anti-Pyonyang yang dikirim para pembelot di perbatasan kedua negara.
Selebaran itu biasanya dikirim dengan dilekatkan pada balon atau dimasukan ke dalam botol dan diapungkan ke sungai.
Serangan para pembelot telah meningkatkan ketegangan kedua negara yang mendorong Korea Utara meledakkan kantor penghubung Kaesong, dan mengancam mengerahkan militer.
Namun, pekan lalu dikatakan mereka telah menangguhkan rencana-rencana itu yang dapat menekan ketegangan.
Pernyataan Choe muncul sehari setelah Cheong Wa Dae atau Gedung Biru, sebutan kantor kepresidenan Korsel, mengumumkan kepala intelijen sudah ditunjuk.
Dia adalah Park Jie-won, mantan politisi yang memainkan peranan penting dalam mengatur KTT Antar-korea pertama pada 2000-an silam.
Langkah ini secara luas dilihat sebagai tekad Moon untuk mempertahankan kebijakan pro-keterlibatan, meskipun Korea Utara mengabaikan moratorium uji coba nuklir dan rudal.
Korea Utara Berencana Kirim 12 Juta Selebaran Propaganda, Korea Selatan Minta Untuk Berhenti
Korea Utara tampak semakin intens melayangkan propaganda kepada Korea Selatan.
Diketahui Korea Utara telah kembali memasang pengeras suara di perbatasannya dengan Korea Selatan untuk siarkan propaganda.
Kini, Korea Utara dikabarkan akan menyebarkan 12 juta selebaran berisi propaganda ke wilayahnya.
Menanggapi hal tersebut, Korea Selatan meminta kepada tetangganya, Korea Utara, untuk menghentikan upaya tersebut.
Tensi di Semenanjung Korea meningkat dalam beberapa pekan terakhir, dimulai dari penghancuran kantor perwakilan dua negara di Kaesong.
Kemudian Korea Utara mengancam bakal mengerahkan militer, dengan yang terakhir mereka menyatakan sudah mencetak 12 juta selebaran propaganda.
Berbagai ancaman itu terjadi buntut pembelot Korut yang sering mengirim propaganda melawan Kim Jong Un di perbatasan Korea Selatan.