BATAM TERKINI
Kapal Parkir di 'Halaman' Tapi Kepri hanya Menonton, Kadishub: Jangankan Kerapu, Teri pun tak Dapat
Berada di pusat lalulintas perdagangan dunia, Selat Malaka, perairan Kepri dilewati sekitar 100 ribu kapal dagang raksasa per tahun.
TRIBUNBATAM.id, BATAM - Mestinya Pemprov Kepri memiliki semboyan yang sama dengan TNI Angkatan Laut “Jalesveva Jayamahe” yang berarti di laut kita jaya.
Sebab, wilayah Provinsi Kepri ini 98 persennya adalah laut dan hanya 2 persen saja darat.
Sayang sekali, laut Kepri “begitu dangkal” bagi sistem negara kita yang masih berpikiran kontinental atau kedaratan.
Lihat saja pembagian Dana Alokasi Umum (DAU) dihitung oleh luas daratan.
Rancangan Undang-undang Kepulauan sampai sekarang tak kunjung disahkan.
Alhasil, sektor kemaritiman Kepri ini banyak hanyut begitu saja.
Padahal, untuk menggarap wilayah laut ini tak semudah di darat. Akses sulit dan wilayahnya terpencar di pulau-pulau hingga ke Laut China Selatan.
Berada di pusat lalulintas perdagangan dunia, Selat Malaka, perairan Kepri dilewati oleh sekitar 100 ribu kapal-kapal dagang raksasa atau VLCC per tahunnya atau 300 kapal per hari.
• Sah! Labuh Jangkar Milik Kepri
Sejatinya, berbagai kebutuhan kapal-kapal itu bisa dipenuhi oleh Kepri. Mulai tempat parkir, tank cleaning, oil tanking, lay up, air bersih serta kebutuhan lainnya.
Namun sayang, seluruh potensi itu tak banyak tersentuh, kecuali sejumlah warga yang memasok air bersih dan makanan untuk anak buah kapal yang parkir di tengah laut. Itu pun jumlahnya kecil.
Di antara penyebabnya adalah kapal-kapal besar itu bertebaran tak terkontrol.
Begitu juga bagi pemerintah sendiri, berbagai jasa yang semestinya masuk ke kas negara, hanyut begitu saja.
Koordinasi yang buruk serta ego sektoral adalah salah satu penyebabnya.
Termasuk untuk Provinsi Kepri, tidak ada yang masuk ke kas daerah.
Meskipun dalam UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah pasal 27 disebutkan bahwa areal 12 mil dari garis pantai adalah kewenangan provinsi, namun kenyataannya jauh panggang dari asap.
Jasa labuh jangkar yang mestinya hak daerah, tetap dipungut oleh Kemenhub.
Itu pun tidak maksimal karena Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang diraup hanya Rp 10 miliar.
Padahal, potensi labuh jangkar serta jasa-jasa perkapalan lainnya tak kurang dari Rp 6 triliun per tahun.
Bahkan, kata Jamhur, potensi jasa tersebut di wilayah Selat Malaka dan Selat Singapura sangat besar, sekitar 120 miliar dolar per tahun atau Rp 1700 triliun lebih.
Selama ini uang sebesar itu hanya dinikmati oleh Singapura dan Malaysia.
“Kapal-kapal itu parkir di halaman kita, tapi kita hanya menonton saja. Jangankan kerapu, teri pun kita tak dapat,” kata Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Kepri Jamhur Ismail dalam Webilog tentang Labuh jangkar, Jumat (17/7/2020) sore.
Pemprov, kata Jamhur, bukannya tidak berjuang. Upaya itu sudah dilakukan sejak tiga tahun lalu, namun tak pernah mendapat respon dari pemerintah pusat.
Sampai akhirnya Menko maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan datang ke Batam, awal Juni lalu, untuk membahas labuh jangkar ini.
Setelah pertemuan pertama di Nongsa Point Marina, Nongsa, Batam itu, sempat muncul keraguan, apakah pemerintah serius melimpahkan ke Kepri.
Anggota DPRD Kepri Onward Siahaan, misalnya, menyindir bahwa tidak ada yang baru dalam pertemuan itu.
“Yang kita tunggu dari Luhut sebenarnya adalah kalimat, kewenangan labuh jangkar dilimpahkan ke Kepri,” katanya.
Namun, Luhut ternyata tak main-main. Jamhur menceritakan, hingga Jumat pagi kemarin, sudah 17 kali rapat digelar, baik melalui rapat virtual hingga tatap muka.
Rapat itu bukan hanya diikuti pejabat tinggi di Kemenko Marinvest, tetapi juga pejabat Kemenhub, termasuk Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.
Satu bulan dapat maraton itu akhirnya berujung pada keputusuan bahwa jasa labuh jangkar itu menjadi retribusi bagi pemerintah daerah Kepri.
Sedangkan jasa-jasa lainnya yang berkaitan dengan navigasi, rambu, serta jasa kepelabuhan, tetap menjadi milik Kemenhub.
Menurut Jamhur, ada sekitar 58 jasa yang bisa mendatangkan uang yang potensinya sekitar Rp 6 triliun dalam setahun.
Dari jumlah itu, Kepri berpotensi meraih pendapatan Rp 2 triliun per tahun.
“Itu adalah angka paling rendah. Jauh dari 120 miliar dolar yang saya sebutkan. Tak apalah, menghitung sebanyak itu pun kalkulator kita tak cukup,” selorohnya.
Bagaimanapun, ini adalah babak baru dari perjuangan panjang Pemprov Kepri untuk bisa ikut memancing kerapu di lautnya sendiri.
Apalagi di saat keuangan daerah sedang jeblok oleh virus corona, retribusi labuh jangkar ini adalah harapan baru sumber kas daerah. (hsu/yan)