Puisi-puisi Sapardi Djoko Damono yang Romantis: Hari yang Paling Dinanti Hingga Hujan Bulan Juni

Puisi Pada Suatu Hari Nanti seperti wasiat bagi dirinya jika suatu hari nanti pergi / meninggal dunia, maka orang akan mengingat dirinya lewat puisi

Penulis: Mairi Nandarson | Editor: Mairi Nandarson
gramedia.com
Sastrawan Penyair Sapardi Djoko Darmono Meninggal Dunia, Minggu, 19 Juli 2020 

TRIBUNBATAM.id, JAKARTA - Hari ini, Minggu (19/7/2020) hari yang kelabu bagi para sastrawan di tanah air.

Penyair senior Sapardi Djoko Damono menghembuskan nafas terakhir di usia 80 tahun.

Sapardi Djoko Damono lahir di Surakarta ( Solo ) pada 20 Maret tahun 1940.

Sastrawan Penyair Sapardi Djoko Darmono Meninggal Dunia

Hasil, Klasemen, Top Skor Liga Italia Setelah Atalanta Seri, AC Milan Menang, Ante Rebic 11 Gol

Video Gol dan Highlight AC Milan vs Bologna, Pesta 5 Gol Milan Dicetak 5 Pemain Berbeda

Penyair yang sudah menyandang gelar Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono ini adalah seorang pujangga berkebangsaan Indonesia terkemuka.

Ia kerap dipanggil dengan singkatan namanya, SDD.

SDD dikenal melalui berbagai puisinya mengenai hal-hal sederhana namun penuh makna kehidupan, sehingga beberapa di antaranya sangat populer, baik di kalangan sastrawan maupun khalayak umum. 

Kepergian SDD mengingatkan orang pada puisnya Pada Suatu Hari Nanti.

Puisi ini seperti wasiat bagi dirinya jika suatu hari nanti pergi atau meninggal dunia, maka orang akan mengingat dirinya lewat puisi.

Hari yang dinanti itu sepertinya jatuh pada hari ini, Minggu (19/7/2020), dan SDD akan selalu dikenang dengan puisi dan tulisannya di kemudian hari.

Seperti ini puisinya:

Pada Suatu Hari Nanti

Pada suatu hari nanti,
jasadku tak akan ada lagi,
tapi dalam bait-bait sajak ini,
kau tak akan kurelakan sendiri.

Pada suatu hari nanti,
suaraku tak terdengar lagi,
tapi di antara larik-larik sajak ini.

Kau akan tetap kusiasati,
pada suatu hari nanti,
impianku pun tak dikenal lagi,
namun di sela-sela huruf sajak ini,
kau tak akan letih-letihnya kucari

Video Gol dan Highlight Arsenal vs Man City, 2 Gol Aubameyang Singkirkan City di Semifinal Piala FA

Video Gol dan Highlight AC Milan vs Bologna, Pesta 5 Gol Milan Dicetak 5 Pemain Berbeda

Lewat puisi ini, SApardi Djoko Damono seolah menyatakan alasan dirinya masih menulis hingga kini.

Lewat puisinya dalam Hujan Bulan Juni ini pula, SDD seolah menyelipkan wasiat bahwa kita akan kekal bersama tulisan-tulisan yang kita tinggalkan.

Itu adalah satu kutipan puisi romantis Sapardi Djoko Darmono yang pernah ia tulis.

Puisi ini berada dalam buku puisi Hujan Bulan Juni yang juga tak kalah menyentuh.

Hujan Bulan Juni bahkan kemudian dibuat dalam bentuk dan difilmkan.

Simaklah betapa romatisnya Sajak Bulan Juni yang ditulis Sapardi Djoko Damono.

Hujan Bulan Juni

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

Dikutip dari gramedia.com, puisi-puisi Sapardi Djoko Damono akan banyak mengisi ruang-ruang hati orang-orang yang sedang jatuh cinta.

Jatuh cinta adalah perasaan alamiah yang bakal ada dari generasi ke generasi.

Hasil Liga Italia Verona vs Atalanta, Gol Duvan Zapata Dibalas Gol Matteo Pessina Laga Berakhir Seri

Hasil Kualifikasi MotoGP Spanyol, Fabio Quartararo Pole Position, Marc Marquez 3, Valentino Rossi 11

Seperti puisi Aku Ingin di bawah ini:

Aku Ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Beberapa puisi Sapardi Djoko Damono sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti "Aku Ingin" (sering kali dituliskan bait pertamanya pada undangan perkawinan).

Begitu juga dengan Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari.

Kepopuleran puisi-puisi ini sebagian disebabkan musikalisasi oleh mantan-mantan mahasiswanya di FIB UI, yaitu Ags Arya Dipayana, Umar Muslim, Tatyana Soebianto, Reda Gaudiamo, dan Ari Malibu.

Dari musikalisasi puisi yang dilakukan mantan-mantan mahasiswa ini, salah satu album yang terkenal adalah oleh Reda dan Tatyana ( tergabung dalam duet Dua Ibu ).

Selain mereka, Ananda Sukarlan pada tahun 2007 juga melakukan interpretasi atas beberapa karya SDD.

Puisi lain Sapardi Djoko Damono yang tak kalah romantis adalah Hanya, simak bait-baitnya seperti berikut ini:

Hanya

Hanya suara burung yang kau dengar
dan tak pernah kaulihat burung itu
tapi tahu burung itu ada di sana

hanya desir angin yang kaurasa
dan tak pernah kaulihat angin itu
tapi percaya angin itu di sekitarmu

hanya doaku yang bergetar malam ini
dan tak pernah kaulihat siapa aku
tapi yakin aku ada dalam dirimu

Tanpa perlu banyak bermetafora, Sapardi membuat pembacanya menyelam jauh ke dalam kata-kata yang ia ramu.

Puisi Hanya bisa kalian jumpai bersama 74 sajak lainnya dalam buku kumpulan puisi Sapardi yang berjudul Melipat Jarak.

Sajak-Sajak Kecil tentang Cinta

mencintai angin
harus menjadi siut

mencintai air
harus menjadi ricik

mencintai gunung
harus menjadi terjal

mencintai api
harus menjadi jilat

mencintai cakrawala
harus menebas jarak

mencintai-Mu
harus menjelma aku

Sapardi juga  dengan baik menjelmakan maksud hati untuk menyatakan “hanya aku yang bisa mencintaimu” dengan analogi-analogi yang begitu cantik sebagai pengantarnya.

Beberapa dari kalian mungkin masih asing dengan puisi ini. Puisi berdialog dengan judul Menjenguk Wajah di Kolam lahir bersamaan dengan 14 puisi lainnya dalam buku kumpulan puisi yang baru saja terbit Oktober 2018 ini, yaitu Perihal Gendis.

Menjenguk Wajah di Kolam

“Jangan kauulang lagi
menjenguk
wajah yang merasa
sia-sia, yang putih
yang pasi
itu.

Jangan sekali-
kali membayangkan
Wajahmu sebagai
rembulan.

Ingat,
jangan sekali-
kali. Jangan.

Baik, Tuan.”

Jadi Dosen

Masa mudanya dihabiskan di Surakarta (lulus SMP Negeri 2 Surakarta tahun 1955 dan SMA Negeri 2 Surakarta tahun 1958).

Pada masa ini, SDD sudah menulis sejumlah karya yang dikirimkan ke majalah-majalah.

Kesukaannya menulis ini berkembang saat ia menempuh kuliah di bidang Bahasa Inggris di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Tahun 1973, SDD pindah dari Semarang ke Jakarta untuk menjadi direktur pelaksana Yayasan Indonesia yang menerbitkan majalah sastra Horison. 

Sejak tahun 1974, ia mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Indonesia, tetapi kini telah pensiun.

SDD pernah menjabat sebagai dekan FIB UI periode 1995-1999 dan menjadi guru besar.

Pada masa tersebut, SDD juga menjadi redaktur majalah Horison, Basis, Kalam, Pembinaan Bahasa Indonesia, Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, dan country editor majalah Tenggara di Kuala Lumpur.

Saat ini SDD aktif mengajar di Sekolah Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta sambil tetap menulis fiksi maupun nonfiksi.

Sapardi Djoko Damono banyak menerima penghargaan.

Pada tahun 1986, SDD mendapatkan anugerah SEA Write Award.

Ia juga penerima penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2003. Ia adalah salah seorang pendiri Yayasan Lontar.

Ia menikah dengan Wardiningsih dan dikaruniai seorang putra dan seorang putri.

Sajak-sajak Sapardi telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa daerah.

Ia tidak saja aktif menulis puisi, tetapi juga cerita pendek.

Selain itu, ia juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing, menulis esai, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola.

Musikalisasi puisi

Dikutip dari wikipedia, musikalisasi puisi karya SDD dimulai pada tahun 1987 ketika beberapa mahasiswanya membantu program Pusat Bahasa, membuat musikalisasi puisi karya beberapa penyair Indonesia.

Kegiatan tersebut sebagai upaya mengapresiasikan sastra kepada siswa SLTA.

Saat itulah tercipta musikalisasi Aku Ingin oleh Ags Arya Dipayana dan Hujan Bulan Juni oleh Umar Muslim.

Kelak, Aku Ingin diaransemen ulang oleh Dwiki Dharmawan dan menjadi bagian dari soundtrack "Cinta dalam Sepotong Roti (1991), yang dibawakan oleh Ratna Octaviani.

Beberapa tahun kemudian, lahirlah album "Hujan Bulan Juni" (1990) yang seluruhnya merupakan musikalisasi dari sajak-sajak Sapardi Djoko Damono.

Duet Reda Gaudiamo dan Ari Malibu adalah bagian dari sejumlah penyanyi, yang merupakan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Album "Hujan Dalam Komposisi" menyusul dirilis pada tahun 1996 dari komunitas yang sama.

Karena banyaknya permintaan, album "Gadis Kecil" (2006) diprakarsai oleh duet Dua Ibu, yang terdiri atas Reda Gaudiamo dan Tatyana dirilis, lalu dilanjutkan oleh album "Becoming Dew" (2007) dari duet Reda dan Ari Malibu. 

Ananda Sukarlan pada Tahun Baru 2008 juga mengadakan konser kantata "Ars Amatoria" yang berisi interpretasinya atas puisi-puisi SDD serta karya beberapa penyair lain. (tribunbatam.id/son)

* Sebagian naskah ini sudah tayang di gramedia.com dan wikipedia.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved