KISAH PENDAKI HILANG DI GUNUNG
Kisah Sri dan Yansen, Sejoli Tersesat 10 Hari di Gunung Ciremai, Disambar Elang Dikira Sudah Mati
"Kalau selamat ya selamat, kalau harus mati ya kita mati bersama," demikian tutur Yansen
Editor: Danang Setiawan
TRIBUNBATAM.id - Melakukan pendakian gunung perlu mempersiapkan perbekalan dan fisik yang matang.
Kurangnya persiapan bekal dan fisik bisa menjadi faktor penyebab pendaki hilang di gunung.
Seperti yang dialami kisah Sri dan Yansen, dua sejoli yang hilang di Gunung Ciremai.
Nasib baik masih menyelimuti Sri dan Yansen, 10 hari hilang kedua sejoli ini akhirnya ditemukan tim SAR dalam kondisi lemas.
Dikutip Tribunbatam.id dari indosurvival.com, Sri-Yansen tersesat di Gunung Ciremai dengan perbekalan dan perlengkapan pendakian yang minim.
10 hari hilang, dua sejoli berhasil betahan hidup dengan memakan tanaman dan dedaunan yang ada di Gunung Ciremai.
Melalui buku Matra No.15, Oktober 1987: 'Janji Mati di Gunung Ciremai' Sri dan Jansen menceritakan bagaimana mereka bertahan hidup selama 10 hari hilang.

Bahkan menurut pengakuan keduanya, mereka nyaris disambar elang karena dikira sudah mati.
Berbicara soal pengalaman mendaki, Yansen sudah pernah mendaki Gunung Salak, Gede, dan Pangrango.
Sedangkan Sri, pernah memanjat Gunung Salak dan gunung Putri.
Awal mula kisah pendaki hilang Sri dan Jansen bermula saat pendakiannya bersama 12 pria remaja di Gunung Ciremai pada 5 September 1986.
Sri (Sri Haryanti) dan Yansen (Tjhin Djan Sian) bersama 12 pria remaja tergabung dalam Pepala Libels (Pelajar Pencinta Alam), klub pencinta alam SMAN 15, Jakarta utara, yang baru didirikan enam bulan sebelumnya.
Diakui Sri dan Jansen, pendakiannya ke Gunung Ciremai saat itu memang kurang perlengkapan.
Bekal yang dibawa hanya beberapa kerat roti, permen, dan air mineral ala kadarnya.
"Kita pikir sih tidak terlalu berat," tutur Yansen (19).
Seharian melakukan pendakian, rombongan pendaki sudah sampai puncak pada pukul delapan esok harinya.
Setelah beristirahat dan foto bersama, Sri dan Yansen ngeloyor untuk mencari bunga edelweis dan daun cantigi.

Ternyata, itulah awal mula ketersesatan mereka.
Melewati malam pertama tersesat di gunung, kedua sejoli ini dirundung rasa cemas dan takut.
Rasa cemas itulah membuat Sri nekat di bibir sebuah jurang. Ia berniat melompat.
"Kalau selamat ya selamat, kalau harus mati ya kita mati bersama," demikian tutur Yansen, menirukan ucapan Sri ketika itu.
Yansen berusaha menenangkan Sri.
Tetapi, ketika menyusuri tebing yang lain, tak lama kemudian, Sri betul-betul "terjun" ke sebuah jurang sedalam 15 meter, karena terpeleset.
Sambil terisak kebingungan, Yansen berusaha turun, menggayut dari akar ke akar.
la mendapatkan Sri pingsan dalam posisi tertelungkup.
Ketika dibalik, pada dahinya sebelah kanan terdapat luka cukup lebar, yang memancarkan darah segar.
"Saya ngeri melihatnya," Yansen mengenang.
Untuk beberapa kejap, ia tak tahu harus berbuat apa, kecuali meratap.
Akhirnya, luka itu ia taburi dengan bubuk kopi yang tersisa, untuk menghentikan perdarahan.
Setelah Sri sadar, keduanya bertangisan di perut jurang yang sepi itu.
"Kalau kita harus mati, kita mati bersama," begitu mereka memadu janji pada saat gawat itu.
Follow Juga:
Yansen sendiri sudah dua hari mengalami diare.
Kadang kotorannya bercampur darah.
Bukan karena alasan, mereka terpaksa minum air di sebuah kubangan di sungai kering untuk bertahan hidup.
Setiap malam tiba, Sri dan Jansen mencari tempat bernaung di antara bebatuan, atau di bawah pohon.
Terkadang harapan mereka hidup tumbuh setiap mereka melihat kelap-kelip lampu dari kejauhan.
Mereka pun tak lupa memanjatkan doa setiap menjelang dan bangun tidur.
Rasa takut secuil pun sudah tak mereka rasakan.
Beruntungnya, tak pernah juga mereka bertemu dengan binatang buas, atau hantu, di gunung setinggi 3.078 meter itu.
Sesekali, Sri dan Yansen hanya berpapasan dengan kera, burung gagak, atau elang.
"Pernah kami mau disambar elang, mungkin dikira sudah mati," Sri mengenang.
Memang, selama dua hari terakhir dari ketersesatan sepuluh hari itu, keduanya sudah tak mampu berjalan.
Medan terasa semakin berat, dan kondisi fisik sudah sangat terkuras.
Mereka hanya memakan dedaunan yang ditemukan di sebatang sungai kering.
Pernah juga mendapat tebu hutan yang tumbuh di tepian.
Dua hari terakhir itu, hujan turun lebat.
Tak ada tempat berlindung yang dapat menaungi. Dua malam itu mereka tak bisa tidur.
"Kami hanya duduk melipat lutut, baju basah kuyup, tak ada pilihan lain kecuali menyerah kepada alam, " Sri bertutur.
Kadang-kadang terdengar suara pesawat terbang, lalu mereka membuka baju dan melambai-lambai, tanpa guna.
Pada 15 September 1986 , mereka ditemukan oleh empat orang polisi hutan.
Tubuh penuh luka, pakaian sobek semua.
Petang itu, mereka mendengar suara memanggil," Sri . . . Yansen ... Neng, di mana . . .?"
Mula-mula, mereka menduga suara itu khayal. Setelah berulang-ulang, barulah timbul rasa senang.
Sri, yang suaranya lebih keras, lalu menyahut.
Sri dan Jansen ditemukan tim SAR dalam keadaan lemas tak berdaya.
Mereka ditatih tim SAR turun menuju pos pendakian Gunung Ciremai.
Keduanya lalu dirawat di Rumah Sakit Gunung Jati, Cirebon selama 4 hari, sebelum dipulangkan ke Jakarta.
Selamat dari musibah ini, sudah menunggu "musibah" lain.
• VIRAL Pendaki Tewas di Gunung Lawu, Alami Hipotermia Berat, Telanjang Dada Kondisi Udara Dingin
• Misteri Hilangnya Pendaki Gunung, Malam Tidur di Tenda, Pagi Ditemukan Telanjang Dekat Mata Air
Semua yang ikut memanjat gunung itu dihukum oleh sekolah, diskors selama dua minggu, karena mereka pergi tanpa izin.
Tak lama kemudian, keduanya diundang menuturkan pengalaman di depan mahasiswa pencinta alam FTUI.
Juni 1987, mereka juga diminta melakukan hal yang sama oleh Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia di Erasmus Huis, Jakarta.
Meski menjalani pengalaman demikian pahit, keduanya ternyata tidak kapok mendaki gunung.
"Cuma sekarang saya belajar lebih taat kepada orangtua, " kata Yansen.
Diakui kisah kelam hidupnya tersesat dalam Gunung ternyata tanpa sepengetahuan orang tua.
• Pendaki Tewas di Gunung Batur Setelah Jatuh ke Jurang Sedalam 40 Meter, Diduga Kelelahan
• Kronologi Pasangan Mesum di Gunung Digerebek, Fiersa Besari Hingga Pendaki Dzawin Nur Angkat Bicara
Mereka berbohong kepada orangtua, ia mengatakan hendak ke Bandung, namun kenyataannya melakukan pendakian ke Gunung Ciremai.
Sementara bagi Sri peristiwa itu tak akan pernah ia lupakan dalam hidupnya.
"Peristiwa itu lebih mendekatkan saya kepada Tuhan," katanya.
Ketika tersesat itu, anak kedua dari delapan bersaudara ini setiap hari membaca surat Yasin dan ayat Kursi.
Sri bahkan bernazar puasa tiga hari jika ditemukan saat dirinya tersesat di gunung.
Sri melanjutan studi di IKIP Jakarta, sedangkan Yansen, anak bungsu dari delapan bersaudara, mengikuti Office Training Centre (OTC), Yayasan Bina Mulia, Jakarta.
(Tribunbatam.id/Danang Setiawan)