Amerika Serikat Tolak Tawaran Rusia Soal Vaksin Covid-19, Ungkap Ada Rasa Tak Percaya
Usai mengklaim temukan vaksin Covid-19 untuk pertama kali, Rusia juga diberitakan menawarkan bantuan ke Amerika Serikat ( AS) namun sayangnya ditolak.
Editor: Putri Larasati Anggiawan
TRIBUNBATAM.id, WASHINGTON - Usai mengklaim menemukan vaksin Covid-19 untuk pertama kali, Rusia menjadi sorotan.
Sejumlah negara juga tertarik untuk membeli vaksin virus Corona Rusia tersebut.
Rusia juga diberitakan menawarkan bantuan ke Amerika Serikat ( AS) untuk mengakses atau mengembangkan vaksin Covid-19.
Namun AS menolak tawaran Rusia tersebut menurut laporan CNN pada Kamis (13/8/2020).
Rusia mengumumkan pada Selasa (11/8/2020) bahwa mereka telah menyetujui vaksin Covid-19 yang diberi nama Sputnik V dari Gamaleya Institute yang berbasis di Moskwa.
Namun pengumuman tersebut dikritik oleh para ahli.
• Inggris Beli 60 Juta Dosis Kandidat Vaksin Covid-19 dari Amerika Serikat, Uji Klinis Tahap 3
Badan Kesehatan Dunia ( WHO) menyatakan bahwa mereka butuh meneliti data keselamatan vaksin Covid-19 yang diklaim telah diciptakan oleh Rusia.
Vaksin tersebut disetujui sebelum melalui uji klinis fase ketiga, yang dianggap penting untuk memastikan keamanan obat sebagaimana dilansir dari Business Insider, Jumat (14/8/2020).
Hasil uji coba awal juga belum menjalani peer review dan metodologi serta hasilnya masih dirahasiakan.
Meskipun demikian, Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan pada Selasa bahwa vaksin tersebut "lulus semua pemeriksaan” dan salah satu putrinya telah disuntik.
Pejabat Rusia mengatakan kepada CNN bahwa mereka menawari AS untuk mengakses vaksin tersebut.
Namun, saat ditawari hal tersebut, pejabat Rusia menyatakan bahwa "AS saat ini tidak terbuka" untuk gagasan tersebut.
"Ada rasa ketidakpercayaan umum terhadap Rusia di pihak AS dan kami yakin bahwa teknologi kami tidak diadopsi di AS karena ketidakpercayaan itu," kata seorang pejabat senior Rusia yang tidak mau disebutkan identitasnya kepada CNN.
Di sisi lain, seorang pejabat kesehatan masyarakat AS mengatakan kepada CNN bahwa AS tidak akan mencoba vaksin dari Rusia.
"Tidak mungkin AS menguji coba [vaksin Rusia] pada monyet, apalagi kepada manusia," kata pejabat tersebut yang tidak mau disebutkan namanya.
Ilmuwan yang mengerjakan Sputnik V juga dikritik setelah mengatakan bahwa mereka telah menyuntikkan diri mereka sendiri dengan prototipe untuk mempercepat prosesnya.
Pakar penyakit menular terkemuka AS, Anthony Fauci, juga menyatakan keraguan yang sangat serius bahwa vaksin Rusia aman atau efektif.
Beberapa pekan terakhir, AS telah membuat kesepakatan dengan beberapa perusahaan melalui program "Operation Warp Speed".
Presiden AS Donald Trump meluncurkan program tersebut sebagai upaya untuk mengembangkan, memproduksi, dan mendistribusikan vaksin Covid-19 ke seluruh rakyat AS pada Januari 2021.
"Jika kami ingin menyakiti banyak orang atau memberi mereka sesuatu yang tidak berhasil, kami bisa mulai melakukan ini. Pekan depan jika kami mau," kata Fauci.
Menteri Kesehatan Jerman, Jens Spahn, menganggap bahwa vaksin Rusia berbahaya.
Itu karena jika vaksin dari Rusia menyebabkan masalah, masyarakat akan banyak yang meragukan vaksin lain yang aman dan telah benar-benar teruji.
"Saya akan senang jika kami memiliki vaksin awal yang bagus, tetapi berdasarkan semua yang kami ketahui, (vaksin dari Rusia) ini belum cukup diuji," kata Spahn.
Bahkan, perusahaan farmasi dan perawatan kesehatan di Rusia telah bersatu untuk meminta Kementerian Kesehatan Rusia untuk menunda pendaftaran vaksin sampai uji klinis fase ketiga selesai.
Namun beberapa negara, termasuk Filipina dan Venezuela, telah setuju untuk bermitra dengan Rusia untuk mendapatkan akses ke Sputnik V.
Kantor berita pemerintah Rusia TASS mengatakan Rusia berharap dapat memproduksi Sputnik V secara massal pada akhir Agustus atau awal September.
"Jika vaksin kami terbukti menjadi salah satu yang paling efektif, akan muncul pertanyaan mengapa AS tidak mengeksplorasi opsi ini lebih dalam, mengapa politik menghalangi akses ke vaksin," kata seorang pejabat senior Rusia kepada CNN.
Dalam Satu Jam, Amerika Serikat Sebut Serangan Korea Utara Bisa Sebabkan 200 Ribu Korban Jiwa
Amerika Serikat ( AS) kembali angkat bicara terkait kekuatan militer Korea Utara.
Kali ini, Amerika Serikat menyebut jika serangan militer Korea Utara bisa menyebabkan lebih dari 200.000 korban hanya dalam waktu satu jam saja.
Hal tersebut disampaikan oleh RAND Corporation, lembaga penguji atau think tank asal Amerika Serikat.
Diwartakan oleh Yonhap, RAND Corporation melaporkan hasil pengujiannya pada Jumat, (7/8/2020) lalu.
Lembaga tersebut juga menjelaskan bahwa saat ini Korea Utara diprakirakan telah memiliki hampir 6.000 sistem artileri.
Sistem tersebut diprakirakan dapat menjangkau hampir seluruh bagian Korea Selatan yang padat penduduk.
Mengejutkan, angka yang dirilis oleh sang think tank belum termasuk dengan serangan senjata nuklir yang dimiliki oleh Korea Utara.
Bahkan jika Korea Utara menggunakan senjata kimia, angka jumlah prakiraan korban bisa menjadi lebih banyak.
Pengujian dilakukan dengan lima skenario serangan
Sebelumnya, RAND Corporation melakukan pengujian dari skenario lima jenis serangan yang mungkin dilakukan oleh Korea Utara.
Selain dari prakiraan jumlah sistem artileri yang dimiliki Korea Utara, think tank juga memperhitungkan berbagai faktor dalam pengujian.
Satu diantaranya adalah jumlah populasi daerah target potensial.
RAND Corporation kemudian melakukan perhitungan dari asumsi apakah penduduk di lokasi target sedang berada di dalam atau di luar ruangan.
Termasuk kemungkinan penduduk sedang berada di bangunan bawah tanah seperti stasiun kereta bawah tanah.
Dari faktor tersebut diketahui 5.700 artileri jarak jauh milik Korea Utara bisa menjangkau hingga Seoul dan Incheon.
Tak hanya itu, basis militer Angkatan Darat Amerika Serikat Camp Casey di Dongducheon juga akan terimbas.
Padahal jarak antara Seoul dengan Dongducheon adalah sejauh 60 kilometer.
Memiliki luas 10 kilometer persegi, Camp Casey disinggahi oleh ribuan personel militer AS.
Jika serangan benar dilakuakan oleh Korea Utara, maka 205.600 orang menajadi korban terdampak.
RAND Corporation juga menerangkan skenario serangan lainnya.
Skenario lain diantaranya serangan lima menit dengan target sekotor industri, dan satu menit di wilayah demiliterisasi atau perbatasan militer kedua negara (DMZ).
Think tank juga memiliki skenario serangan satu menit dan satu jam ke ibu kota negara Korea Selatan, Seoul.
Berdasarkan skenario tersebut, jumlah korban terendah adalah jika serangan satu menit dilakukan di DMZ.
Tantangan bagi Korea Selatan, Amerika Serikat dan aliansinya
Melalui laporan yang dirilis, lembaga think tank RAND Corporation mengatakan hasil pengujian mengarah pada Korea Selatan, Amerika Serikat dan aliansinya.
Terutama dalam meminimalisir konflik di Semenanjung Korea agar serangan militer dapat dihindari.
"Tujuan dari pengujian lima skenario tersebut adalah untuk menunjukkan tantangan terbesar yang akan dihadapi oleh Korea Selatan, Amerika Serikat dan sekutu mereka jika Korea Utara melakukan serangan dengan artileri konvensional yang mereka miliki," kata laporan itu sepert yang diwartakan oleh Yonhap.
"Jika Korea Utara menyatakan akan melakukan serangan, maka Korea Selatan. Amerika Serikat dan aliansinya harus menghentikannya sekaligus menghindari adanya eskalasi konflik," lanjut laporan RAND Corporation.
Dikatakan oleh RAND Corporation, pengujian ini menjadi catatan penting bagi semua aktor negara yang terkait dengan konflik di Semenanjung Korea.
Sehingga aksi provokasi bisa diturunkan dan dapat menghindari konflik yang mengarag pada serangan militer.
"Jika serangan militer terjadi, imbasnya akan sangat mahal dan berdarah," tegas RAND Corporation.
(*)
• Menlu AS Semprot Rusia, Peringatkan Tak Sewa Pembunuh Bayaran Habisi Pasukan Amerika Serikat
• Amerika dan China Membara, AS Kirim Pesawat Pengintai saat Tiongkok Latihan Anti Jet Tempur
• Minta Pemerintah Lebanon Mundur, Aksi Demo Ledakan Beirut Juga Terjadi di Amerika Serikat
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Rusia Tawarkan Vaksin Corona ke AS, Pejabat: Kami Tidak Mau".