LIPUTAN KHUSUS

DUA Jam Berbincang Bareng Pasien Covid-19 di RSKI Galang Batam, Buang Jenuh dengan Goyang TikTok

TRIBUNBATAM.id berkesempatan berbincang bersama pasien covid-19 yang sedang menjalani isolasi di RSKI Galang. Menggunakan APD lengkap, simak ceritanya

ISTIMEWA
Wartawan TRIBUNBATAM.id berangkat ke RSKI Pulau Galang Batam 

TRIBUNBATAM.id, BATAM - Sabtu (26/9/2020) pagi, kami berangkat ke RSKI Pulau Galang dari kantor Tribun Batam.

Meskipun jalan ke Galang bagus, namun perjalanan kami tak begitu mulus.

Melewati jembatan I Barelang, hujan turun deras disertai petir, sehingga kami pun harus berhati-hati.

Perjalanan melewati lima jembatan yang menghubungkan antara pulau ke pulau hingga sampai ke Galang, kurang lebih 50 menit dengan jarak tempuh kisaran 60 kilometer.

Keberadaan Rumah Sakit Khusus Infeksi (RSKI) itu cukup mudah.

Gedung-gedungnya berada di tepi jalan lintas Trans-Barelang, warna bangunannya ber-cat putih, tepat di sebelah kiri jalan setelah kamp Vietnam.

Untuk memasuki kawasan RSKI, ada tiga pos pintu yang dijaga ketat oleh petugas.

Petugas jaga bukan sembarang orang, melainkan gabungan personil TNI dari tiga matra, laut, darat dan udara. Mereka berjaga secara bergantian.

Begitu tiba di pos jaga 3, –akses masuk dan pemuulangan pasien–, sekitar pukul 09.30 WIB, kami langsung disambut lima petugas.

Diminta turun mobil, lalu mengisi data absensi di pos dan menjawab sejumlah pertanyaan petugas.

CERITA Tim Medis di RSKI Galang Batam, Rindu Keluarga Kami Sering Nangis

"Untuk keperluan apa ke sini, Pak?" tanya seorang petugas berseragam TNI AL.

Kami pun menjelaskan tujuan kami ke RSKI Galang dan mengatakan sudah berkoordinasi sebelumnya dengan Direktur RSKI Kolonel CKM Khairul Ikhsan Nasution.

Seorang petugas kemudian memandu kami memasuki kawasan gedung-gedung RSKI. Awalnya kami dibawa menuju Pos 2 di dalam komplek rumah sakit, berjarak 50 dari tempat pasien menjalani isolasi.

Dari sana, petugas jaga kemudian mengarahkan ke Gedung Karantina 240 untuk bertemu dokter Khasmat. Berhubung dokter Khasmat lagi tidak di RSKI, saya pun diarahkan ke gedung karantina 240, ruang A.

Di ruang A, kami disambut Kepala Ruangan A Gedung Karantina 240, Serda TNI Budiono.

Walau sehari-hari harus mengawasi seluruh pasien, perawat dan petugas lain di Gedung A yang berkapasitas 120 pasien ini, Budiono sangat ramah.

Ternyata, Budiono sebelumnya bertugas di Rumah Sakit Angkatan Laut Tanjungpinang, daerah asal penulis menyelesaikan studi dulu. Sedikit sentimentil karena kami sama-sama bernostalgia tentang Tanjungpinang.

Perbincangan semakin luas karena Tim Infokes RSKI, Serda TNI Agil Pranata dan Prada TNI Abel ikut bergabung dalam perbincangan di ruang meeting Gedung A itu.

Keduanya dari matra berbeda.

Serda Agil dari tim kesehatan Lanal Batam, sementara Prada Abel merupakan tetugas dari Rumah Sakit Angkatan Udara (AU) Halim Perdana Kusuma, Jakarta.

Sejumlah informasi disampaikan langsung kepala ruangan dan tim Infokes RSKI.

Tim Infokes bisa dikatakan humas di RKI.

Setelah mendapat berbagai informasi selama satu setengah jam, kami menyatakan keinginan untuk melihat langsung pasien dan perawat.

Sebagai manusia awam terhadap dunia medis, keinginan itu disampaikan dengan sedikit takut-takut. Sebab, Covid-19 adalah musuh yang tak terlihat.

Seperti kata Sertu Budiono, ia lebih memilih berperang di medan perang karena musuh yang dihadapi jelas. Namun, kunci melawan virus ini, kata Budi, juga tidak sulit jika disiplin, yakni stay safety.

“Jalani protokol kesehatan dengan disiplin, insya Allah, musuhnya tak melawan,” candanya.

Kita pun bergegas menuju ruang persediaan ganti dan persediaan Alat Pelindung Diri (APD). Di gedung A, ada empat ruangan meeting, 2 unit kamar ganti lengkap dengan kamar mandi.

Di dalam kamar mandi ada dua toilet dan dua tempat mandi lengkap dengan shower.

Kamar mandi itu akan langsung digunakan tim medis untuk membersihkan diri setelah keluar dari ruang isolasi pasien.

Kami sempat kaget karena kamar mandi itu tanpa lobang saluran air keluar.

Air di kamar mandi itu diserap lantai dan kering sendirinya.

Gedung A itu memiliki banyak ruangan-ruangan kecil, bahkan ada yang dilarang untuk dimasuki.

Dus, kami pun mengenakan APD medis lengkap yang seperti astronot itu.

Awalnya sempat bingung, karena ini pertama kali mengenakan APD.

Tidak seperti pakaian pada umumnya, kami harus memakai baju medis berwana hijau terlebih dahulu, kemudian harus memilih size APD.

Lalu memasang berbagai pakaian yang ribet itu, dimulai dari perlengkapan ujung kaki, yakni kaus kaki yang terbuat dari bahan khusus.

APD ini, selain hazmat, cukup banyak asesorisnya. Sarung tangan karet dua lapis, penutup kepala, kemudian kacamata atau lensa google, sepatu boot karet, dan face shield, masker double, lalu ditambah masker N95.

Setelah semua dipastikan terpasang lalu dilakukan pengancingan untuk perketatan.

Sebagian menggunakan lem lakban kuning. Baru saja terpasang kami sudah berkeringat.

Bayangkan, untuk memasang pakaian ini, kami menghabiskan waktu 15 menit hingga dipastikan bahwa semuanya telah terpasang dengan baik dan benar.

Oh ya, telepon genggam yang kami gunakan juga ikut dibungkus lengkap dengan plastik, hanya lobang kameranya diberi ruang terbuka sedikit. Setelah itu, kami di-briefing singkat oleh Sertu Budiono tentang aturan-aturan di dalam ruangan isolasi pasien.

Keringat terus bercucuran dan badan sudah terasa basah karena APD itu cukup panas, dan pengap. Kacamata saja bahkan berembun.

Akhirnya kami memasuki ruangan pasien menjalani isolasi, jaraknya hanya sekitar 15 meter saja.

Kedatangan kami sontak membuat beberapa pasien kaget, bahkan mereka langsung menyapa kami.

"Selamat siang, Pak Dokter," Olala.

"Siang Bu, dan kakak-kakak semua. Apa kabar?" tanya kami.

Kami pun langsung mengklarifikasi bahwa kami bukan dokter, tetapi wartawan Tribun Batam.

Awalnya sempat khawatir mereka akan takut dan menghindar, namun kenyataannya mereka terlihat antusias dan senang.

Mereka langsung bercerita, mulai dari kisah yang mengantarkan mereka ke RSKI hingga selama menjalani perawatan isolasi.

Setiap ruangan memiliki nomor. Di ruang isolasi yang kami temui, ada lima pasien. Betti, Ani, Siti dan dua rekannya.

Betti tampak ceria, ia baru selesai mandi. Handuk masih terlilit di atas kepalanya.

"Baru selesai mandi, Pak, ini rambut belum kering. Maaf, ya, pakaiannya masih seperti ini, hehe.." ucap Betti.

Wanita 35 tahun asal Kota Medan, Sumut, itu mengaku baru tiga hari diisolasi.

Betti menyebut, tinggal di ruang isolasi tentu banyak tidak enaknya.

"Namanya juga diisolasi, Pak. Beraktivitas hanya di kamar. Bangun pagi sarapan, olahraga, siang makan, habis itu tidur lagi. Sore olahraga lagi, habis itu mandi, makan malam, habis itu tidur," ujarnya.

Betti tidak mempersoalkan masalah makanan dan layanan petugas medis selama ia dirawat.

Menurutnya, makanan di RSKI enak dan petugas medis semuanya baik-baik. Untungnya, pasien di ruangan itu punya cara untuk mengatasi kejenuhan.

“Tiap pagi, baru bangun saja, kami sudah goyang tiktokan. Pokoknya, di ruangan ini tidak boleh ada yang suntuk. Kami akan berupaya saling menghibur. Pastinya ngobrol bak gibahan para wanita," sambut Ani.

Setelah berbincang dengan cukup heboh dengan lima wanita yang masih muda-muda ini, kami pun pamit.

Mereka menyampaikan salam kepada seluruh masyarakat.

“Foto dulu, Pak. Biar masyarakat kenal kami dengan orang-orang paling kece se-RSKI,” kata Betti.

Tubuh semakin terasa panas dan pengap. Bahkan dua personil tim Infokes, Serda Agil Pranata dan Prada Abel mengaku sudah kepanasan.

“Seperti direbus ini,” kata mereka.

Namun, kami kemudian lanjut ke kamarnomor 9. Kamar ini dihuni Kartika Lestari (35) tahun dan 4 orang kawanannya.

"Kita lagi nyantai saja, baring-baring. Sehat kok, Pak," kata Kartika setelah disapa.

Mereka mengaku sudah jenuh di RSKI dan ingin cepat pulang.

Meskipun seluruh fasilitas di RSKI sangat bagus, termasuk makanan, namun keinginan untuk pulang paling sulit dibendung.

Kondisi yang sama juga terlihat di ruangan lainnya.

Tidak banyak aktivitas yang dilakukan para pasien itu setiap harinya.

Mereka hanya bisa bersantai. Ada yang berbaring, ada pula yang sedang asik nonton televisi dan main gadget.

Tribun terus menelusuri setiap ruangan di Gedung A itu.

Sedikitnya ada 24 kamar dengan kapasitas 120 orang.

Saat Tribun berkunjung, jumlah pasien hanya 68 orang.

Gedung A 240 ini difokuskan khusus untuk pasien wanita, sementara laki-laki di gedung B.

Memang jarak gedung A dengan gedung B tidak terlalu jauh. Jika Gedung A di lantai dasar, gedung B berada di lantai 2.

Di setiap gedung terdapat ruang khusus perawat, letaknya berada di tengah-tengah kamar pasien.

Tribun sempat berkunjung ke gedung B, tempat para laki-laki menjalani isolasi, Kami harus naik tangga.

Meskipun jumlah anak tangga tidak banyak, namun cukup menyita tenaga. Pasalnya APD masih melekat ditubuh, keringat terus bercucuran.

Di ruang 18, kami bertemu dengan Hengki, Rohis 45 tahun serta tiga temannya.

Mereka juga cukup antusias menyambut kami. Hengki mengatakan, mereka masuk bersamaan dari klaster yang sama, Dormitori Mukakuning.

Sempat menolak diisolasi karena merasa sehat-sehat saja.

Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 13.00 WIB. Kami akhirnya memutuskan untuk segera kembali ke ruang ganti. APD ini sudah sangat menyiksa.

Menuju jalan pulang, beberapa aktivitas pasien di gedung B terlihat di tengah duduk di pojokan gedung. Ada ada yang saling berdiskusi, ada pula yang sedang video call dengan keluarga.

Akhir kata, kami kembali ke ruang ganti untuk melepas semua APD.

Eits... Ternyata melepas APD juga memiliki teknik tersendiri untuk memastikan tidak ada virus yang melekat di APD dan kemudian mengenai kulit dan tubuh.

Setelah semuanya dibuka, APD itu kemudian disatukan ke dalam tong limbah medis. Kami kemudian mandi lagi, baru mengganti pakaian di ruang ganti. (blt/ron)

Sumber: Tribun Batam
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved