Deretan Para Gubernur yang Ramai-Ramai Tolak UU Omnibus Law Cipta Kerja
Para kepala daerah dan ormas ini sepakat dan mendukung perjuangan para buruh dan mahasiswa
TRIBUNBATAM.id - Pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja (Ciptaker) mendapatkan banyak kontra alias penolakan di masyarakat.
Publik kecewa RUU Omnibus Law yang kontroversial tersebut tetap diketuk juga hingga menjadi sebuah payung hukum berketetapan tinggi.
Berbagai penolakan atas pengesahan Omnibus Law disuarakan masyarakat. Bahkan para gubernur juga ikut satu suara dengan masyarakatnya.
Sebut saja sejumlah nama gubernur yang menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja itu, seperti Gubernur Jawa Barat, Gubernur DI Yogyakarta, Gubernur Jawa Tengah, Gubernur Jawa Timur, Gubernur Kalimantan Barat, Gubernur Sumatera Barat, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang akan menyampaikan aspirasi demonstrans tersebut.
Tak hanya para kepala daerah, sejumlah ormas juga menyatakan penolakan terhadap UU Omnibus Law Cipta Kerja ini, seperti NU, Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia.
Seperti yang terlihat beberapa hari terakhir ini, sebagian besar kota di Indonesia, ribuan mahasiswa dan buruh/pekerja turun aksi ke jalanan untuk menolak disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil saat membacakan hasil pertemuannya dengan perwakilan buruh di hadapan ribuan buruh, dan Surat Ridwan Kamil untuk Jokowi tentang aspirasi buruh sudah beredar di media sosial. (Kolase Tribun Jabar)
Mayoritas dari suara buruh/pekerja dan mahasiswa yang melakukan demonstrasi yakni mencecar keputusan Paripurna DPR RI yang mengesahkan Omnibus Law Cipta Kerja dengan terburu-buru dan minim dialok dengan elemen masyarakat.
Diketahui, Omnibus Law Cipta Kerja ini diajukan oleh Pemerintah Jokowi ke DPR untuk dibahas rancangannya dan mulai dikebut sejak Februari 2020 lalu.
• Inilah Benny Harman yang Disebut Macan Parlemen hingga Trending Tolak UU Cipta Kerja,Kata AHY & SBY?
Demonstrasi meluas di beberapa kota di Indonesia, banyak pasal yang dianggap kontroversial dan bisa merugikan pekerja/buruh/karyawan atau siapapun mereka yang bekerja dengan orang lain.
Hal yang membuat publik marag dengan Omnibus Law Cipta Kerja misalnya tentang dihapuskannya UMK yang direncanakan diganti menjadi upah per jam, penghapusan libur 2 kali seminggu, pengurangan pesangon dan lain-lain.
Banyak pakar hukum, akademi kampus, LSM, NU, Muhammadiyah hingga lembaga-lembaga lain yang dengan tegas menyatakan menolak diterapkannya Omnibus Law Cipta Kerja karena potensi merugikan masyarakat dan bangsa Indonesia dinilai sangat besar.
Namun, kengotototan Pemerintah Jokowi dan DPR RI untuk segera mengesahkan Omnibus Law Cipta Kerja ini lah yang memantik amarah publik hingga turun ke jalanan.
Maraknya demonstrasi besar-besara untuk penolakan Omnibus Law Cipta Kerja ini pun terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Reaksi dari beberapa pemimpin daerah di Indonesia ada beberapa yang secara terang-terangan mendukung aspirasi demonstran penolak Omnibus Law Cipta Kerja tersebut.
Berikut daftar pernyataan resmi atau sikap Gubernur/Bupati/Walikota yang menyampaikan aspirasi penolakan Omnibus Law Cipta Kerja:
Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Gubernur Ridwan Kamil mengakomodir tuntutan para pendemo yang menolak Omnibus Law Cipta Kerja dengan mengirimkan surat kepada pemerintah agar menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Cipta Kerja.
Surat yang diterbitkan pada hari ini, Kamis 8 Oktober 2020 itu telah ditandatangani langsung oleh Gubernur Jabar Ridwan Kamil dan dikirimkan kepada Presiden Joko Widodo, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah serta kepada Pimpinan Serikat Pekerja atau Serikat Buruh Tingkat Provinsi.
"Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat menyampaikan asipirasi dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang menyatakan dengan tegas Menolak Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disahkan menjadi Undang-undang," demikian tertulis dalam surat tersebut mengutip dari KompasTV.
Kemudian, Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji meminta Presiden Joko Widodo segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) Omnibus Law.
"Saya Gubernur Provinsi Kalimantan Barat dengan ini mohon kepada Presiden untuk secepatnye mengeluarkan Perppu yang menyatakan mencabut Omnibus Law," kata Sutarmidji dalam akun media sosial yang terkonfirmasi, Kamis (8/10/2020).
Ribuan demonstran mengepung Gedung Grahadi dan merusak sejumlah fasilitas saat melakukan aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law Cipta Kerja di Kota Surabaya, Jawa Timur, Kamis (8/10/2020). Demonstrasi menolak UU Cipta Kerja di depan Gedung Grahadi Surabaya berakhir ricuh. (Surya/Ahmad Zaimul Haq)
Kemudian, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X disebut akan menyanggupi permintaan buruh terkait penolakan Omnibus Law Cipta Kerja. Sikap Sultan muncul setelah menerima perwakilan buruh, Kamis (8/10/2020).
Sri Sultan disebut akan meyurati Presiden Joko Widodo untuk menyampaikan penolakan buruh terhadap Omnibus Law Cipta Kerja.
"Aspirasi dari warga masyarakat khususnya buruh/pekerja, saya sanggupi dengan surat yang akan ditandatangani Gubernur sebagai respons dari aspirasi mereka (penoalakan Omnibus Law)," kata Sultan.
Hal senada juga dilakukan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan keluar dan menemui demonstran yang menolak pengesahan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta, Kamis (8/10/2020).
Anies datang bersama Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Nana Sudjana dan Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman.
Didepan massa, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengaku bakal meneruskan aspirasi mahasiswa yang berunjuk rasa menolak Omnibus Law Cipta Kerja ke pemerintah pusat.
Anies bilang, aspirasi tersebut akan disampaikan Jumat (9/10/2020) esok hari dalam sebuah pertemuan.
"Besok akan kita lakukan pertemuan itu. Jadi apa yang tadi disampaikan besok akan diteruskan dan teman-teman sekalian ingatlah bahwa yang namanya menegakkan keadilan kewajiban kita semua dan anda semua sedang menegakan keadilan," ucapnya.
Di Sumatera Barat, Gubernur Irwan Prayitno menyurati DPR RI yang berisi aspirasi buruh menolak Omnibus Law Cipta Kerja, Kamis (8/10/2020).
Surat itu ditandatangani langsung oleh Irwan Prayitno, dan diterbitkan tanggal 8 Oktober 2020.
Dalam surat bernomor 050/1422/Nakertrans itu, Irwan Prayitno menyampaikan bahwa pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja oleh DPR RI pada 5 Oktober 2020 mendapat penolakan oleh Serikat Pekerja/Serikat Buruh di Sumatera Barat.
"Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat menyampaikan aspirasi dari Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang menyatakan menolak disahkannya Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja dimaksud," terang Irwan Prayitno dalam surat tersebut.
Gubernur Kalbar Sutarmidji saat ditemui di ruang kerjanya. (TRIBUNPONTIANAK/ANGGITA PUTRI)
Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji juga bersikap serupa dengan Ridwan Kami dan Sri Sultan. Lewat akun Facebook pribadi, Bang Midji, ia berharap tidak ada lagi demonstrasi di Kalbar terkait UU Cipta Kerja. Dia pun memohon kepada Presiden Jokowi untuk secepatnya mengeluarkan perpu yang menyatakan mencabut Omnibus Law Cipta Kerja demi terhindarnya pertentangan di masyarakat yang tidak mustahil semakin meluas.
"Undang Undang yang baik harusnya sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Saya sudah serap semua aspirasi pekerja, mahasiswa, masyarakat, dan lain-lain, besok (Jumat) saya sampaikan ke pemerintah pusat. Mari kita jaga iklim kondusif di Kalbar," kata Sutarmidji.
Pun begitu dengan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa. Dalam suratnya Khofifah meminta agar UU Omnibus Law Cipta Kerja ditangguhkan.
Tak hanya di level Gubernur, aspirasi demonstran terhadap penolakan Omnibus Law juga disampaikan oleh beberapa bupati/walikota seperti; Bupati Bandung Dadang M. Nasseer, Bupati Bandung Barat Aa Umbara, Walikota Bandung Oded Muhammad, Wali Kota Sukabumi Ahmad Fahmi, Bupati Subang H Ruhimat, Bupati Garut Rudi Gunawan, Bupati Tegal Umi Azizah, Bupati Limapuluh Kota Irefendi Arbi, dan Wali Kota Malang Sutiaji.
Polisi dikepung massa di pertigaan Jalan Sentot Alibasyah-Jalan Surapati. (Tangkap Layar YouTube Tribun Jabar)
Selain eksekutif daerah, organ legislatif daerah yakni DPRD juga ikut menampung aspirasi demonstrasi penolakan Omnibus Law ini. Ada kurang lebih belasan DPRD Kabupaten/Kota yang ikut menolak dan menyampaikan aspirasi ke pemerintahan Jokowi diantaranya; Purwakarta, Bandung, Tasikmalaya (Jawa Barat); Kudus (Jawa Tengah), Bojonegoro, Sidoarjo, Tuban (Jawa Timur), Bontang (Kaltim); Sumbawa (NTB), Bulukumba (Sulawesi Selatan) dan Pasaman Barat (Sumbar).
Langkah yang Bakal Dilakukan Jokowi
Menteri Ketenagakerjaan ( Menaker), Ida Fauziyah, membeberkan rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) selanjutnya setelah DPR mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja.
Menurut Ida, kini dirinya ditugaskan Presiden Jokowi untuk merumuskan paling banyak 5 Peraturan Pemerintah (PP) yang akan jadi regulasi turunan dari UU Cipta Kerja yang terkait klaster ketenagakerjaan.
Dia mengklaim, pemerintah membuka diri bagi serikat buruh selama proses perumusan PP. Pihaknya mengundang sejumlah serikat buruh yang selama ini menolak keras pasal-pasal UU Omnibus Law Cipta Kerja.
"UU Cipta Kerja ini memerintahkan untuk ada pengaturan lebih detailnya dalam PP, direncanakan minimal tiga PP, maksimal lima PP yang disiapkan," kata Ida dikutip dari Antara, Jumat (9/10/2020).
Menurut Ida, berbagai PP yang akan mengatur klaster ketenagakerjaan di UU Cipta Kerja itu rencananya akan diselesaikan pada akhir Oktober sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo.
"Arahan Bapak Presiden dalam akhir Oktober ini seluruh peraturan pemerintah itu akan kita selesaikan," tegas Ida.
Pembuatan PP klaster ketenagakerjaan itu akan melibatkan seluruh pemangku kepentingan ketenagakerjaan termasuk serikat buruh/pekerja dan dunia usaha yang diwakilkan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Ida meminta bantuan untuk menyampaikan hasil sosialisasi itu kepada serikat pekerja dan dunia usaha. Menurut Ida, saat ini banyak simpang siur isu dan distorsi informasi tentang UU Cipta Kerja, terutama klaster ketenagakerjaan.
Banyak isu liar
Kepada para Kepala Dinas Ketenagakerjaan di daerah, Ida juga meminta mereka membantu menyosialisasikan UU Cipta Kerja. Dia berharap, semua pihak aktif meluruskan informasi yang beredar.
"Saya berharap bapak dan ibu tetap mengajak teman-teman serikat pekerja terutama untuk berdialog, karena kita masih punya pekerjaan untuk merumuskan PP," kata Ida.
RUU Cipta Kerja merupakan RUU yang diusulkan Presiden Jokowi dan merupakan bagian dari RUU Prioritas Tahun 2020 dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2020.
Jauh sebelum disahkan, pemerintah bergerak cepat meloloskan RUU Cipta Kerja. Pada Februari 2020, pemerintah mengklaim telah melakukan roadshow omnibus law RUU Cipta Kerja di 18 kota di Indonesia untuk menyerap aspirasi masyarakat.
Segera setelah draft RUU Omnibus Law Cipta Kerja rampung ada awal tahun 2020, pemerintah langsung mengirimkan draf RUU ke DPR. Sehingga draf RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja bisa masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020.
Presiden Jokowi mengirimkan draf RUU Cipta Kerja kepada DPR pada 7 Februari 2020. Sebagai informasi, pemerintah menyusun 11 klaster pembahasan dalam draf RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.
Klaster tersebut terdiri dari, penyederhanaan perizinan berusaha, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan pemberdayaan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah, dan yang terakhir kawasan ekonomi.
RUU ini baru mulai dibahas DPR pada 2 April 2020 dalam Rapat Paripurna ke-13. Selama di parlemen, proses pembahasannya relatif berjalan mulus. Untuk meloloskan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja, anggota dewan sampai rela melakukan rapat maraton.
Klarifikasi cuti haid
Dalam kesempatan yang sama, Ida juga membantah bahwa UU Omnibus Law Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja menghilangkan hak cuti pekerja seperti cuti haid dan melahirkan.
Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini menegaskan, bahwa waktu istirahat dan cuti itu tetap diatur seperti di UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
"Memang tidak diatur di Undang-Undang Cipta Kerja. Artinya kalau tidak dihapus berarti undang-undang yang lama tetap eksis, namun undang-undang ini memerintahkan untuk pengaturan lebih detailnya di peraturan pemerintah (PP)," kata Ida.
Namun, dalam penjelasannya, Ida justru tak menjelaskan terkait apakah perusahaan masih harus diwajibkan membayar upah penuh selama cuti haid dan melahirkan.
Skema no work no pay atau lebih dikenal unpaid leave selama ini jadi kekhawatiran para pekerja, khususnya pekerja perempuan, apakah diterapkan di UU Cipta Kerja atau sebaliknya tetap mengacu pada aturan lama di UU Ketenagakerjaan.
Ida menjelaskan, bahwa waktu kerja bagi pekerja tetap mengikuti ketentuan dari UU Ketenagakerjaan meliputi tujuh jam sehari dan 40 jam satu pekan untuk enam hari kerja dalam satu pekan.
Selain itu tetap diatur juga ketentuan waktu kerja delapan jam sehari dan 40 jam satu pekan untuk lima hari kerja dalam satu pekan. Terkait lembur, ia memastikan waktu kerja tetap diatur maksimal empat jam dalam satu hari.
Ida mengatakan bahwa UU yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Senin (5/10/2020) itu juga mengakomodir pekerjaan yang sifat dan kondisinya tidak dapat mengikuti sepenuhnya ketentuan yang sebelumnya sudah tertuang di UU Nomor 13 Tahun 2003.
"Misalnya sektor ekonomi digital yang waktu kerja sangat fleksibel. Kalau di UU sebelumnya tidak mampu mengakomodasi jenis pekerjaan baru, waktu pekerjaan yang fleksibel maka di UU ini jawabannya," tegas Ida.
Ida juga mengungkapkan alasan kenapa pemerintah dan DPR secara mendadak mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja.
Ida mengatakan, berdasarkan informasi yang ia dapatkan, DPR hendak mengurangi intensitas rapat dengan alasan banyak anggota DPR yang terpapar virus corona (Covid-19).
"DPR memutuskan untuk mempercepat (pengesahan) yang rencananya tanggal 6 atau tanggal 8 (Oktober). Kemudian diajukan menjadi tanggal 5 dengan alasan karena untuk mengurangi jam-jam rapat sehingga bisa menekan penyebaran Covid-19," ujar Ida.
"Mungkin banyak yang mengatakan begitu kenapa kok tiba-tiba tanggal 5?. Itu yang saya dengar memang alasan penjelasan dari Wakil Ketua (DPR) karena banyak teman-teman DPR yang terpapar Covid-19," sambung Ida.
Meski begitu, Ida mengatakan, Omnibus Law UU Cipta Kerja telah melalui proses rapat koordinasi yang tidak singkat.
Ia menyebutkan, sebelum jadi UU, Omnibus Law Cipta Kerja sudah dibahas selama 64 kali. Terdiri dari 2 kali rapat kerja, 56 rapat Panja DPR dan 6 kali rapat tim peumus tim sinkronisasi.
"Kemudian pada akhirnya, DPR memutuskan mengesahkan dalam rapat paripurna tanggal 5 Oktober," ucap Ida.
Perjalanan UU Omnibus Law Cipta Kerja
Rancangan Undang-Undang atau RUU Omnibus Law Cipta Kerja resmi disahkan DPR menjadi Undang-Undang (UU) pada rapat paripurna, Senin (5/10/2020).
RUU Cipta Kerja merupakan RUU yang diusulkan Presiden Joko Widodo ( Jokowi) dan merupakan bagian dari RUU Prioritas Tahun 2020 dalam Program Legislasi Nasional Tahun 2020.
Pembahasan RUU Cipta Kerja oleh pemerintah dan DPR ini terbilang kilat dibandingkan dengan pembahasan RUU lain. Bahkan, awalnya RUU Cipta Kerja bisa selesai sebelum 17 Agustus meskipun di tengah pandemi Covid-19.
Bandingkan dengan RUU lain yang belum juga diselesaikan oleh DPR seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dan RUU Pekerja Rumah Tangga (PRT). Padahal jika dilihat dari jumlah Daftar Inventarisasi Masalah atau DIM, pasal-pasal di RUU Cipta Kerja yang dibahas jumlahnya jauh lebih banyak.
Dikebutnya pembahasan RUU ini diklaim demi kemudahan investasi di Indonesia. Sidang-sidang pembahasannya dilakukan siang malam bahkan hingga larut malam, meskipun dibahas di tengah masa reses dan pandemi.
Pemerintah dan Baleg DPR RI memang sempat menunda pembahasan Klaster Ketenagakerjaan ini setelah mendapat perintah resmi dari Presiden Joko Widodo pada 24 April lalu. Hal ini untuk merespons tuntutan buruh yang keberatan dengan sejumlah pasal dalam klaster tersebut.
Gerak cepat pemerintah
Jauh sebelum disahkan, pemerintah bergerak cepat meloloskan RUU Cipta Kerja. Pada Februari 2020, pemerintah mengklaim telah melakukan roadshow omnibus law RUU Cipta Kerja di 18 kota di Indonesia untuk menyerap aspirasi masyarakat.
“Untuk menyerap aspirasi dari teman-teman maka seluruh stakeholder ekonomi akan dilibatkan, justru Bapak Presiden memerintahkan untuk menyerap aspirasi semuanya," kata Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono kala itu.
Adapun daerah-daerah tempat digelarnya roadshow adalah daerah-daerah yang memiliki stakeholder paling banyak, selain itu jumlah perusahaan dan jumlah pekerjanya juga banyak. Dari sisi investasi, juga menjadi pertimbangan digelarnya roadshow di daerah tersebut.
Justru selama penyusunan draft adalah periode paling alot ketimbang pembahasan di DPR. Karena selama penyusunan draft, pihak serikat buruh yang jadi salah satu stakeholder beberapa kali melayangkan keberatan.
"Memang tidak gampang, butuh waktu, pasti mempertemukan antara kepentingan pengusaha dan tenaga kerja itu bukan hal yang gampang," ujar Ida ketika ditemui di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian di Jakarta, Senin (23/12/2019).
Ida menjelaskan, saat itu kementeriannya masih dalam proses inventarisasi dan mendengarkan masukan dari buruh dan dunia usaha misalnya terkait upah minimum dan pesangon.
Selain itu juga dalam hal prinsip easy hiring dan easy firing yang sebelumnya sempat disebut oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
"Kami masih dalam proses menginventarisir dan mendengar," ujar Ida.
Segera setelah draft RUU Omnibus Law Cipta Kerja rampung ada awal tahun 2020, pemerintah langsung mengirimkan draf RUU ke DPR. Sehingga draf RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja bisa masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020.
Presiden Jokowi mengirimkan draf RUU Cipta Kerja kepada DPR pada 7 Februari 2020. Sebagai informasi, pemerintah menyusun 11 klaster pembahasan dalam draf RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja.
Klaster tersebut terdiri dari, penyederhanaan perizinan berusaha, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan pemberdayaan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah, dan yang terakhir kawasan ekonomi.
Sampai 64 rapat
RUU ini baru mulai dibahas DPR pada 2 April 2020 dalam Rapat Paripurna ke-13. Selama di parlemen, proses pembahasannya relatif berjalan mulus. Untuk meloloskan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja, anggota dewan sampai rela melakukan rapat maraton.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas pun mengatakan, pada bab-bab terakhir pembahasan RUU tersebut bahkan dilakukan di akhir pekan. Secara keseluruhan, Baleg DPR RI dan pemerintah telah melakukan 64 kali rapat.
Secara keseluruhan RUU yang disusun dengan metode omnibus law itu terdiri dari 15 bab dan 174 pasal dari yang sebelumnya 15 bab dengan 185 pasal,
Secara keseluruhan, ada 1.203 pasal dari 73 undang-undang terkait dan terbagi atas 7,197 DIM yang terdampak RUU tersebut. Pembahasan terkait RUU Cipta Kerja ini pun mengundang penolakan terutama dari kalangan buruh.
Berbagai serikat pekerja yang berafiliasi kepada global unions federations menyatakan kekecewaannya terhadap hasil pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja tingkat pertama pada Sabtu malam (3/10/2020).
Bahkan menjelang pengesahan, Rapat Baleg DPR semakin intens meski di waktu akhir pekan dan sampai larut malam. Seperti rapat pengesahan ke Paripurna yang baru dibuka pada sekitar pukul 21.00 WIB dan berakhir pada dini hari pada Sabtu (3/10/2020).
Hingga RUU Cipta Kerja masuk ke Paripurna, tak ada masalah berarti sekaligus tak banyak perdebatan di antara anggota dewan. RUU ini resmi jadi UU setelah disahkan DPR pada Senin (5/10/2020).
Didukung partai koalisi pemerintah
Isi RUU Cipta Kerja didukung oleh seluruh partai pendukung koalisi pemerintah. Sedangkan, dua fraksi menyatakan menolak RUU menjadi UU Cipta Kerja ini yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat.
Tujuh fraksi partai pendukung RUU Cipta Kerja untuk disahkan menjadi UU antara lain Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
RUU Cipta Kerja hanya salah satu bagian dari omnibus law. Dalam omnibus law, terdapat tiga RUU yang siap diundangkan, antara lain RUU tentang Cipta Kerja, RUU tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, dan RUU tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
Namun demikian, Omnibus Law Cipta Kerja jadi RUU yang paling banyak jadi sorotan publik. Selain dianggap banyak memuat pasal kontroversial, RUU Cipta Kerja dinilai serikat buruh hanya mementingkan kepentingan investor.
Secara substansi, RUU Cipta Kerja adalah paket Omnibus Law yang dampaknya paling berpengaruh pada masyarakat luas, terutama jutaan pekerja di Indonesia. Hal ini yang membuat banyak serikat buruh mati-matian menolak RUU Cipta Kerja.
Sejumlah pasal dari RUU Omnibus Law adalah dianggap serikat buruh akan merugikan posisi tawar pekerja. Salah satu yang jadi sorotan yakni penghapusan skema upah minimum UMK yang diganti dengan UMP yang bisa membuat upah pekerja lebih rendah.
Lalu, buruh juga mempersoalkan Pasal 79 yang menyatakan istirahat hanya 1 hari per minggu. Ini artinya, kewajiban pengusaha memberikan waktu istirahat kepada pekerja atau buruh makin berkurang dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Beberapa ketentuan RUU Cipta Kerja juga dianggap kontroversial antara lain terkait pekerja kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu/PKWT), upah, pesangon, hubungan kerja, mekanisme pemutusan hubungan kerja (PHK), penyelesaian perselisihan hubungan industrial, serta jaminan sosial. (*)
Artikel ini telah tayang di pos-kupang.com dengan judul Daftar Para Gubernur yang Ramai-Ramai Tolak UU Omnibus Law Cipta Kerja, Ini Reaksi Presiden Jokowi