BATAM TERKINI

Pernah Jadi Ketua Serikat Pekerja, Legislator Batam Ini Tolak Omnibus Law Cipta Kerja

Anggota Komisi IV DPRD Batam, Mochamat Mustofa menyatakan, akan terus mengawal jalannya protes buruh terhadap UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Editor: Dewi Haryati
TRIBUNBATAM.ID/HENING SEKAR UTAMI
TOLAK UU CIPTA KERJA - Anggota Komisi IV DPRD Kota Batam, Mochamat Mustofa menyatakan sikap menolak omnibus law UU Cipta Kerja 

Editor: Dewi Haryati

TRIBUNBATAM.id, BATAM - Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja yang telah disahkan pada tanggal 5 Oktober 2020 menuai kontroversi.

Seiring dengan pecahnya demonstrasi dari kalangan mahasiswa dan buruh di berbagai daerah, wilayah Kota Batam juga diwarnai aksi protes oleh Aliansi Mahasiswa Batam beserta buruh, pada Kamis (8/10/2020) lalu.

Suara masyarakat pendemo kala itu sudah bulat. DPRD Kota Batam dan Pemerintah Daerah diminta menyampaikan aspirasi masyarakat menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja kepada pemerintah pusat.

Aspirasi ini pun didengar oleh para anggota DPRD Kota Batam yang hadir menyambut massa kala itu. Anggota Komisi IV DPRD Kota Batam, Mochamat Mustofa menyatakan, akan terus mengawal jalannya protes buruh terhadap UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Diketahui, sebelum jadi anggota dewan Batam periode 2019-2024, Mustofa pernah jadi Ketua Pimpinan Cabang Serikat pekerja Elektronik Elektrik (SPEE) FSPMI Kota Batam.

Aksi Tolak UU Cipta Kerja di Kantor DPRD Kepri Berakhir Ricuh, Mahasiswa & Wartawan Terluka

Ketua DPRD Batam Bantah Ada Pembeda Massa Buruh & Mahasiswa, Belum Terima Tembusan UU Cipta Kerja

"Karena saya masuk di DPRD berkat kawan-kawan pekerja, maka di lembaga ini juga saya akan suarakan. Kalau dibilang menolak, nggak tanggung-tanggung, saya akan menolak Omnibus Law itu," tegas Mustofa.

Menurutnya, ada tujuh poin pasal yang merugikan kelas pekerja di dalam undang-undang tersebut. Beberapa pasal di antaranya yang paling disoroti adalah aturan tentang penetapan karyawan tetap oleh perusahaan, serta aturan pesangon.

Mewakili kelas pekerja, Mustofa menjelaskan kekhawatiran para buruh yang berpotensi terjebak dalam status pekerja kontrak dalam jangka waktu yang tidak jelas.

Pasalnya, di dalam undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja, aturan tentang perjanjian waktu kerja tertentu (PKWT) yang diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 dihilangkan.

"Ada satu ayat yang dihilangkan, yaitu syarat untuk menjadi pekerja tetap, yang di UU 13/2020 maksimal tiga tahun (dua tahun kontrak, satu tahun perpanjang) setelah itu permanen atau tidak. Nah ini yang dihilangkan dalam Omnibus Law," jelas Mustofa.

Ketiadaan aturan mengenai PKWT dalam Omnibus Law ini akan berpotensi memberikan peluang besar bagi perusahaan untuk terus menerus mempekerjakan karyawannya dalam sistem kontrak.

Selain itu, persoalan pesangon bagi karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) juga menjadi sorotan. Mustofa menjelaskan, di dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja, karyawan yang di-PHK dengan surat peringatan tidak akan diberikan uang pesangon.

"Intinya karyawan hanya bergantung pada kebaikan hati perusahaan. Sementara perusahaan itu di mana-mana kan profit-oriented, nggak ada bicara sosial," tambah Mustofa.

Melihat banyak polemik dalam aturan "UU Sapu Jagat" tersebut, Anggota Komisi IV DPRD Kota Batam dari fraksi partai keadilan sejahtera (PKS) ini menyatakan siap menolak diberlakukannya undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja.

"Saya menolak. Mau dicopot jabatanku karena menolak, dicopotlah!," ungkap Mustofa.

(TRIBUNBATAM.id/Hening Sekar Utami)

Sumber: Tribun Batam
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved