ILC TV ONE

Di ILC, Said Didu Singgung UU ITE: Kalau Tak Mau Dikritik Jangan jadi Pejabat Publik

Said Didu menyinggung jika ada pejabat publik yang anti kritikan sebaiknya mengundurkan diri dari jabatannya.

tangkapan layar youtube ILC
Di ILC TV One edisi Selasa 3 November 2020, Said Didu menyinggung jika ada pejabat publik yang anti kritik sebaiknya mengundurkan diri dari jabatannya. 

Editor Danang Setiawan

TRIBUNBATAM.id - Program Indonesia Lawyers Club (ILC) TV One malam tadi, Selasa 3 November 2020 telah selesai ditayangkan.

Tema ILC TV One Selas 4 November mengusung judul "UU ITE: Mengancam Kebebasan Berpendapat?"

Dalam pembahasan ILC malam tadi, beberapa tokoh yang hadir dalam kesempatan itu memberikan pendapatnya soal kebebasan berpendapat era Presiden Jokowi.

Beberapa sosok yang merupakan tokoh nasional, diantaranya Fahri Hamzah, Rafli Harun, Said Didu, Rocky GerungAndi Hamzah dan juga Fajroel Rachman, hadir langsung dalam acara tersebut.

Satu tokoh yang mengkritisi kebebasan berpendapat dalam ILC tadi malam yakni Said Didu.

Said Didu mengungkapkan saat ini ketakutan dalam kebebasan berpendapat sudah masuk ke ranah desa.

Baca juga: Topik ILC TV One 3 November 2020 soal UU ITE, Karni Ilyas Diminta Undang Rocky Gerung

Kini masyarakat desa pun takut terkena UU ITE yang mengancam kebebasan berpendapat mereka.

"Bung Karni, ketakutan UU ITE ini saya katakan sudah sampai ke desa-desa, ada kakak saya sampai melarang saya pulang karena takut ditangkap," ujarnya.

Menurutnya, UU ITE saat ini sudah melebar dari fungsi dan tujuan dibuatnya undang-undang.

UU ITE bertujuan memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi, kini sudah tidak berjalan semestinya.

Said Didu mengatakan, UU ITE  yang seharusnya untuk menjaga informasi dan transaksi elektronik, kini digunakan sekelompok orang untuk menjaga transaksi perasaan.

"Jadi bayangkan jika saya berbicara sesuatu dan ada satu atau dua orang yang tersinggung dari jutaan masyarakat, maka saya sudah bisa dilaporkan." ujarnya.

Baca juga: Rocky Gerung Narasumber ILC TV One Malam Ini, Debat dengan Irma Suryani Chaniago Lagi?

Said Didu mengatakan kritikan justru diperlukan oleh pejabat publik, terlebih dalam membuat kerangka kebijakan.

Menurutnya, tidak semua kritikan itu buruk.

Kritikan justru menjadi analisis secara gratis oleh seorang pejabat publik dalam mengambil suatu kebijakan.

"Saya sudah 32 tahun di dalam pemerintahan, saya justru senang jika mendapat kritikan, daripada saya menyewa konsultan, karena melalui kritikan kita bisa mendapatkan informasi lain," katanya.

Said Didu menyinggung jika ada pejabat publik yang anti kritik sebaiknya mengundurkan diri dari jabatannya.

"Kalau tidak mau dikritik ya jangan jadi pejabat publik," ujar Said Didu,

Karena prinsipnya pejabat publk itu dapat menerima kritikan.

Said Didu mengatakan menjadi pejabat publik sudah harus siap mendapat kritik dari masyarakat.

"Karena kritikan itu bentuk aspirasi rakyat, dan sudah seharusnya pejabat publik dalam membuat kebijakan dari aspirasi rakyat." katanya.

Di penghujung waktu, Said Didu menyebut hak kebebasan berpendapat adalah hak dasar rakyat. 

Lihat Video:

Kebebasan Sipil Terancam

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia (IPI) Burhanuddin Muhtadi mengatakan, kebebasan sipil di Indonesia saat ini dalam kondisi yang terancam.

Ancaman itu meliputi kebebasan berpendapat, berunjuk rasa, kebebasan mendapat perlakuan yang adil oleh aparat dan sebagainya.

"Hasil survei kami ternyata mengkhawatirkan. Demokrasi secara normatif masih mendapat dukungan tinggi dari publik. Tapi kebebasan sipil kita itu cukup terancam," ujar Burhanuddin dikutip dari tayangan Satu Meja Kompas TV bertajuk "Kebebasan Berekspresi Direpresi ?" pada Kamis (28/10/2020) malam.

"Baik kebebasan berpendapat, berdemonstrasi, mendapat perlakuan adil dari aparat dan lain-lain" kata dia.

Menurut Burhanuddin, demokrasi yang diharapkan masyarakat sebenarnya bukan sekadar memberi kesempatan untuk memberikan suara dalam pemilu.

Namun, masyarakat juga ingin agar kebebasan berbicara setelah mereka memberikan hak suara juga dihormati oleh pemerintah.

"Sebab hal inilah yang menjadi indikator kebebasan sipil," ucap dia.

Lebih lanjut, Burhanuddin pun mengungkapkan ada atmosfer ketakutan yang dirasakan masyarakat dalam beberapa tahun terakhir.

Dia menilai, persepsi ini muncul bukan tanpa sebab. Salah satu sebabnya yakni masyarakat takut akan perundungan dan persekusi.

"Takut di-bully, maupun direpresi. Sebab dulu yang menggunakan pasal ITE sekian puluh. Sekarang ratusan yang memakai," ujar dia.

"Selain itu, saat ini sedikit-sedikit berbicara di media sosial, akan di-bully," kata dia.

Adapun penjelasan Burhanuddin ini merupakan pembahasan atas hasil survei yang dilakukan oleh IPI pada 24-30 September 2020.

Hasil survei itu mencatat ada 36 persen responden yang menyatakan kondisi Indonesia saat ini kurang demokratis.

Lalu, sebanyak 37 persen responden menyatakan kondisi demokrasi di Indonesia tetap sama seperti sebelumnya.

Sementara itu, sebanyak 17,7 persen responden menyatakan kondisi di Indonesia lebih demokratis.

Selain itu, ada 9,3 persen responden yang menjawab tidak tahu.

Survei IPI pun mengungkap ada 21,9 persen responden yang menyatakan sangat setuju dengan pernyataan saat ini orang semakin takut menyatakan pendapat.

Sebanyak 47,7 persen respinden menyatakan agak setuju dengan pernyataan itu.

Responden yang kurang setuju dengan pernyataan itu tercatat sebanyak 22 persen dan yang tidak setuju dengan pernyataan itu sebanyak 3,6 persen.

Sementara itu, survei yang digelar oleh Litbang Kompas pada 14 hingga 16 Oktober 2020 juga mencatat temuan yang senada.

Pada kategori perntanyaan apakah ada persoalan di bidang politik dan keamanan yang mendesak untuk diselesaikan pemerintah, sebanyak 33,5 persen responden menjawab kebebasan berpendapat.

Kemudian, sebanyak 20,6 persen menjawab bahwa polemik pembentukan UU harus segera diselesaikan pemerintah.

Sebanyak 15,5 persen responden harus menjawab sinergi lembaga pemerintah harus dibenahi.

Lalu, sebanyak 10,2 persen responden menyatakan konflik antarkelompok harus dituntaskan pemerintah.

Sebanyak 9,6 persen responden menyatakan persoalan keamanan dan perbatasan negara harus diselesaikan pemerintah.

Adapun 3,4 persen responden menyebut gerakan separatis dan terorisme harus segera diselesaikan. Sisanya, sebanyak 7,2 persen responden menjawab tidak tahu.

(Tribunbatam.id/Danang Setiawan)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved