HUMAN INTEREST
Kisah Hasan Asal Buton Mengadu Nasib di Batam, Pernah Jadi Tukang Parkir Kini Pemulung
Hasan bilang, sebenarnya pekerjaan sebagai tukang parkir di Batam enak. Namun karena suatu hal, ia beralih jadi pemulung
BATAM, TRIBUNBATAM.id - Kondisi Batam saat itu sedang hujan. Di sebuah Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS) di kawasan Bengkong, seorang laki-laki tampak memilah sampah rumahan di TPS yang terletak di dekat jembatan Kompleks Sei Nayon.
Ia mengenakan mantel berwarna biru, helm berwarna hitam, sepatu dan memegang sebuah besi untuk mencungkil sampah.
Nama laki-laki itu Hasan (42).
Meski TPS itu bau dan sangat kotor dengan tumpukan sampah, dia tak peduli.
Di tempat itulah Hasan mencari nafkah.
Baca juga: Kisah Rahayu Perantau Asal Yogyakarta, Bertahan Hidup Jadi PKL di Batam
Baca juga: Kisah Mata Hari, Wanita Cantik Berdarah Jawa yang Jadi Agen Rahasia Eropa Paling Ditakuti
Setiap harinya, Hasan menjajah TPS itu untuk mencari sampah rumahan jenis plastik, kardus, kaleng, almunium, besi dan tembaga.
Ia menggunakan sebuah motor butut untuk membawa sampah yang dikumpulkannya. Setelah itu dijual ke penampung.
Hasan adalah seorang perantau asal Sulawesi Tenggara tepatnya di Buton.
Ia merantau ke Batam sejak 2008 silam.
Hidup di kota memang tidak mudah. Itulah yang Hasan rasakan setelah merantau ke Batam.
"Biaya hidup di Batam sangat mahal. Makan di warung mahal, barang sembako mahal, mungkin memang begitu kalau tinggal di kota," keluh Hasan kepada Tribunbatam.id, Kamis (17/12/2020).
Pahitnya kehidupan di kota, membawa Hasan dan keluarganya terpojok hingga di TPS.
"Sebelum mulung, saya sempat kerja jaga parkir. Itu sekira 2 tahun lalu," kata Hasan.
Lalu, ia terpaksa beralih pekerjaan sebagai pemulung. Menurut Hasan, bekerja sebagai tukang parkir banyak gangguannya.
"Sebenarnya enak kerja jadi tukang parkir, cuma banyak yang ganggu. Ya terpaksalah pekerjaan itu saya tinggalkan dari pada menimbulkan masalah nantinya," curhatnya.
Dari tukang parkir, ia terpaksa kerja sebagai pemulung. Alasannya karena mencari pekerjaan di Batam sangat sulit, sehingga ia terpaksa menjadi pemulung di TPS.
"Susah nyari kerja di Batam, bang. Kalau tak ada orang dalam mana diterima sama perusahaan," kata Hasan.
Akhirnya iapun memilih pekerjaan itu,
"Sebenarnya apa pun pekerjaannya tak masalah bagi saya. Yyang penting halal dimakan sama anak istri saya," imbuhnya
Hasan memiliki seorang istri dan tiga anak. Istrinya hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga, dan anak-anaknya ada yang masih bayi dan sekolah.
Anak pertamanya kini hendak masuk sekolah di salah satu SMP yang ada di kawasan rumahnya di RCTI Tanjung Sengkuang Batam.
"Sebenarnya anak saya itu sekarang masih belum sekolah, karena tahun kemarin dia baru tamat SD. Cuma pas mau lanjut ke SMP duit saya kurang jadi dia nganggur dul. Mudah-mudahan bulan 6 nanti ini saya sudah ada duit, jadi dia sudah bisa sekolah di SMP dekat rumah," katanya.
Sementara anaknya yang nomor 2 masih duduk di bangku SD kelas 2, sedangkan si bungsu belum sekolah.
Untuk menghidupi istri dan tiga anaknya, Hasan rela menjadi seorang pemulung di TPS Bengkong.
Hasil yang ia dapat dalam satu hari sangatlah kecil, jika melihat tanggungannya.
"Biasanya dapat Rp 70 ribu sampai Rp 80 ribu," ujarnya.
Meskipun demikian, Hasan merasa cukup untuk menghidupi keluarganya.
"Alhamdulillah, meskipun hasil tidak seberapa, yang penting cukup untuk makan anak beranak," ujarnya kembali.
Dari hasil memulung itu, jika banyak ia jual ke PT namun jika sedikit dijual ke penampung yang ada.
Upah sampah yang dikumpulkannya bervariasi. Untuk sampah plastik, ia diupah Rp 2 ribu per kilogram, kardus Rp 1700 per kilogram, kaleng susu Rp 1000 per kilogram, almunium seperti kaleng minuman Rp 14 ribu per kilogram, besi Rp 2 ribu sampai 3 ribu per kilogram dan tembaga Rp 70 ribu per kilogramnya.
(Tribunbatam.id/Muhammad Ilham)
Baca juga berita Tribun Batam lainnya di Google
