BATAM TERKINI

Suami Bunuh Istri di Batam, Dinuriza Lauzi: Kurangnya Kontrol Diri & Saling Menghargai

Ini kata psikolog soal suami bunuh istri di Sagulung Batam gegara masalah sepele. Berawal dari istri menolak memberi uang untuk beli sepatu suaminya

Editor: Dewi Haryati
ISTIMEWA
Suami Bunuh Istri di Batam, Dinuriza Lauzi: Kurangnya Kontrol Diri & Saling Menghargai. Foto Dinuriza Lauzi, M Psi, seorang Psikolog Praktisi dan juga aktif di Mitra Kerja Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) untuk wilayah Jawa Timur 

BATAM, TRIBUNBATAM.id - Pasangan suami istri (pasutri) di kawasan Sagulung, Batam, Kepri cekcok gara-gara sepatu.

Tak hanya ribut mulut, hal ini berujung tewasnya sang istri.

Peristiwa ini sontak menjadi buah bibir masyarakat di lingkungan sekitarnya.

Uniknya, kasus pembunuhan ini terungkap setelah pelaku menyerahkan diri ke polisi dan mengakui dia telah merenggut nyawa istrinya.

Setelah menelusuri pengakuan pelaku, polisi mendapatkan kebenarannya.

Suami Bunuh Istri di Batam Gegara Sepatu, Tetangga Kenal Supriadi Sosok Tak Banyak Bicara

Warga Heboh, Suami Bunuh Istri di Batam, Kini Pelaku sudah Menyerahkan Diri ke Polisi

Pelaku Supriadi (32) telah membunuh istrinya Nurvita Sari (26), Selasa (2/2/2021) lalu.

Sementara itu, warga Kaveling Pandawa Mandiri, Kelurahan Sei Binti, Kecamatan Sagulung, Batam, tercengang.

Menurut cerita yang didapat warga, peristiwa pembunuhan itu berawal dari masalah sepele. Suami minta dibelikan sepatu kerja, tetapi istri menolak dengan alasan tidak punya uang.

Diketahui, Supriadi membunuh Vita dengan cara mencekik lehernya, lalu membenamkan kepala Vita ke dalam ember berisi air hingga perempuan itu meregang nyawa di tangan suaminya sendiri.

Kejadian berlangsung di rumah yang ditempati Supriadi dan Vita di Kaveling Pandawa Mandiri, Blok F No. 187 RT02/RW16, Kelurahan Sei Binti, Kecamatan Sagulung, Batam.

Terkait kasus ini, berikut pemaparan Dinuriza Lauzi, M. Psi seorang Psikolog Praktisi dan juga aktif di Mitra Kerja Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) untuk wilayah Jawa Timur, memaparkan dalam News Analisis, yang dilakukan dengan wawancara via seluler, sekira pukul 20.52 WIB, Rabu (3/2/2021)

Keterangan, TB = Tribunbatam.id dan DL = Dinuriza Lauzi.

TB: Bagaimana pandangan Ibu terkait kasus tersebut, seorang suami tega merenggut nyawa istri gara-gara hendak beli sepatu?

DL: Terkait hal itu, menurut saya kejadian yang menimpa pasutri itu diakibatkan kurangnya kontrol diri yang baik dan juga saling menghargai antar pasangan.

Kalau berbicara soal pernikahan, seringkali saya melihat, karena menikah itulah seseorang lebih meremehkan pasangan atau menggampangkan pasangannya.

Karena sudah merasa hidup bersama, sudah beberapa tahun hidup bersama, jadi ia menganggap, alah masalah itu ajapun paling nanti baik lagi.

Misalnya begini, ah paling dia ngambek-nya sebentar nanti baik lagi. Jadi dia memandang pasangan nya ini, ya pastilah nanti dia baik lagi.

Nah, hal-hal demikian itulah kemudian menjadi semacam sesuatu yang sifatnya mudah sekali memicu percekcokan, tapi dari hanya masalah sepele, karena kurangnya penghargaan terhadap pasangan.

Karena kurangnya penghargaan, sehingga masalah kecil saja bisa menjadi sesuatu yang lebih besar dan malah mengambil tindakan yang sebetulnya nanti akan disesali. Lantas kenapa dia mengambil tindakan seperti itu?, Jika kita coba tanya ke hati nuraninya, maka ada kecenderungan kurang menghargai pasangan, kurang menghargai perasaan pasangan, kurang menghargai apa yang dibutuhkan pasangan.

Terus tambahan nya juga si pelaku ini sempat tidak memiliki pekerjaan, dia nganggur dan baru saja diterima kerja.

Bagi laki-laki menganggur itu, sesuatu yang sifatnya sangat fatal, egonya laki-laki tidak bisa menerima pada saat menganggur dia tidak punya kerja tidak punya apa-apa yang kemudian di rumah dia harus menafkahi istri, anak dan lainnya, itukan menjadi sesuatu yang sangat fatal buat pria.

Jadi, ada faktor ego tertentu yang dimiliki laki-laki dalam hal ini yang kemudian membuat dia merasa kurang dihargai oleh pasangan dalam hal ini si korban (istri), pada saat dia minta dibelikan sepatu, dia merasa tidak dihargai. Jadi masalah ini masalah ego yang saling tidak menghargai awalnya.

Si suami, tidak menghargai perasaan istrinya yang sedang kesusahan, sedang pusing tidak adanya uang di rumah, tidak adanya penghasilan yang kemudian bisa membuat mereka hidup sehari-hari, dia malah melihat istrinya kog seperti itu, harusnya saat dia diterima kerja harusnya istrinya senang dong, makanya minta di beliin sepatu dan harusnya diturutin dong, nah kira-kira seperti itu.

Sementara si pihak istri mikirinya, ya inikan sekala prioritas saja, saat ini yang lagi prioritas bukan di sepatu, sepatunya bisalah di pakai sampai bulan depan, yang lebih penting itu adalah dapur yang harus ngembul, sementara dapur ngembul nya masih susah. Itu pandangan si istri, sementara pandangan suami berbeda, si suami merasa tidak dihargai sedang si istri anggapnya ini bukan sekala prioritas, dan si suami juga tidak menghargai perasaan istrinya yang sedang dalam kebingungan, jadi kurang lebihnya seperti itu.

TB: Apakah yang terjadi dengan pasutri itu bisa terjadi dengan pasangan lain?

DL: Bisa saja terjadi, kadang kita tidak bisa menduga perilaku orang lain, bahkan orang yang kita anggap berpendidikan tinggi, kemudian alim memahami agama pun kita dibuat terkaget-kaget dengan tingkah lakunya dia.

Ada satu poin dalam karakteristik manusia itu adalah saat egonya terkena, pada saat egonya terkena inilah kemudian memicu perubahan-perubahan sikologis yang demikian derastris, dan kadang-kadang si pemilik diri itu tidak sadar, bahwa dia bisa saja melakukan sesuatu yang di luar nalar berpikirnya selama ini.

Jadi memang hal tersebut bisa saja terjadi sama pasangan lain, tetapi kita juga harus melihat, ada juga orang-orang yang mempu mempertahankan pernikahannya, bahkan permasalahan nya jauh lebih besar ketimbang sepatu itu.

Artinya kembali lagi kepada kontrol dirinya seperti apa, dan komunikasi sesama pasangan seperti apa, lalu sikap suami terhadap istri dan sikap istri terhadap suami.

TB: Lantas bagaimana solusinya agar kejadian seperti ini tidak terjadi kepada pasangan lainnya?

DL: Jadi saya melihatnya seperti ini, kadang kita menganggap ketika sudah berumah tangga, kita menganggap ya udah cincai sajalah pasti dia ngerti. Padahal itu belum tentu, dan itulah gunanya mendengarkan secara seksama, menyimak apa yang disampaikan oleh pasangan kita.

Yang sudah-sudah masalah rumah tangga itu selalu berawal dari ketidak mampuan salah satu pasangan untuk mendengarkan keinginan pasangan, tentunya mendengarkan dengan seksama ya bukan hanya dengar.

Nah itulah yang sering kali menjadi cikal-bakal ada percekcokan, berantem, sampai cerai dan parahnya sampai seperti kejadian itu,

Jadi memang sering kali, misalnya suami merasa istri sudah jadi istri dia, yaudah jangan minta-minta ngomong sayang terus i love you, yaudah sih yang penting suami pulang ke rumah dan tidak selingkuh.

Kadang-kadang itu tidak cukup bagi istri, begitu juga istri. Istri juga sebisa mungkin mendengarkan suaminya dengan baik agar paham dengan kondisi, agar istri tetap melayani suami, jadi nilai-nilai budaya, agama, yang ditanamkan dalam kehidupan berumah tangga tetap dijalankan dengan baik.

Sehingga tidak terjadi percekcokan, walaupun ada masalah yang dihadapi hubungan rumah tangganya tetap baik dan harmonis,

Karena memang setiap hubungan rumah tangga pasti ada percekcokannya, namanya juga ada dua orang yang latar belakangnya beda menjadi satu. Pasti banyak rintangannya, siapapun itu pasti begitu, tetapi yang menjadi masalah yang mendasar adalah kurangnya menghargai perasaan pasangan. Itulah yang selalu menjadi cikal-bakal percekcokan itu yang berujung bisa cerai dan bahkan bisa menjadi kondisi yang setragis itu.

(Tribunbatam.id/Muhammad Ilham)

Baca juga berita Tribun Batam lainnya di Google

Sumber: Tribun Batam
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved