TRIBUN WIKI
Sejarah Hari Pers Nasional, Sempat Tuai Kritik dan Polemik di Era Soeharto
Inilah sejarah Hari Pers Nasional, sempat tuai kritik dan polemik di era Soeharto.
TRIBUNBATAM.id - Inilah sejarah Hari Pers Nasional, sempat tuai kritik dan polemik di era Soeharto.
Hari Pers Nasional diperingati setiap tanggal 9 Februari.
Meski dampaknya tak terlihat secara langsung, sehari-hari kita mengonsumsi produk pers.
Berita yang kita baca, tayangan yang kita tonton, atau pun sekadar unggahan kabar di media sosial menjadi hal-hal yang sering kita lihat sehari-hari.
Penetapan Hari Pers Nasional berangkat dari keinginan wartawan untuk menetapkan hari bersejarah itu.
Akhirnya, Presiden Soeharto mendengar permintaan para wartawan.
Penguasa orde baru itu akhirnya menetapkan Hari Pers Nasional yang diperingati setiap 9 Februari.
Presiden Soeharto hari Sabtu (9/2) memberikan sambutan pada Hari Pers Nasional (9 Februari 1985) di Hall C Pekan Raya Jakarta. Kepala Negara diapit Menpen Harmoko dan mesin tik tempo dulu sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia, pada pameran Hari Pers nasional.
Dikutip dari Harian Kompas yang terbit pada 10 Februari 1985, Presiden Soeharto menetapkan Hari Pers Nasional (HPN) bersamaan dengan hari ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia ( PWI) yang ke-39.
Ketika itu, Soeharto menegaskan bahwa pers muncul sebagai obor penerangan.
Soeharto juga memberikan penjelasan mengenai GBHN 1983 dan berusaha mengembangkan pers yang sehat, bebas dan bertangung jawab.
"Pertumbuhan dan peningkatan pers nasional akan memberikan nilai positif bagi perkembangan dan pertumbuhan bangsa Indonesia," kata Soeharto.
Meski demikian, penetapan Hari Pers Nasional sempat menuai sejumlah kritik dan polemik.
Lantas, bagaimana kisahnya?
• Sejarah dan Makna Cogan Sebagai Alat Kebesaran Kerajaan Johor Riau
• Menilik Sejarah Hari AIDS Sedunia yang Diperingati Setiap 1 Desember, Berawal dari WHO
• Peran Soeharto di Balik Sejarah Hari Pers Nasional, Diperingati Setiap 9 Februari
Polemik SK Trimurti
Menteri Penerangan Harmoko Sabtu malam (9/2) menyerahkan piagam dan penghargaan berupa uang masing-masing satu juta rupiah kepada 10 wartawan yang berusia lebih dari 70 tahun di Manggala Wana Bhakti. Tampak Harmoko berada di tengah ke-10 wartawan tersebut. Judul Amplop : Integrasi Pers 1985(Kartono Ryadi)
Selain penetapan Hari Pers Nasional, pemerintah Orde Baru juga memberikan penghargaan secara khusus kepada wartawan yang berusia hingga 70 tahun.
Menteri Penerangan Harmoko memberikan penghargaan kepada sepuluh wartawan senior dari beberapa surat kabar.
Penerimaan sanjungan itu dilaksanakan di gedung Manggala Wana Bhakti pada malam harinya.
Dikutip dari Harian Kompas yang terbit pada 11 Februari 1985, para wartawan itu mendapatkan penghargaan setelah adanya usul dari PWI kepada Dewan Pers yang sebelumnya telah disetujui oleh pemerintah.
Mereka yang menerima hadiah, disaksikan oleh para wartawan dan karyawan pers yang datang lebih dari 5.000 orang.
Namun, ada salah satu jurnalis senior yang berusia lebih dari 70 tahun dan tercatat sebagai salah satu pengibar bendera pusaka, namun tak menerima penghargaan.
Wartawati senior itu bernama Surastri Karma Trimurti.

Pemerintah Orde Baru tak memberikan penjelasan mengapa mencoret nama SK Trimurti dari daftar penerima penghargaan.
Ada dugaan bahwa ini disebabkan peran SK Trimurti yang pernah menjadi anggota Gerwani, salah satu organisasi milik Partai Komunis Indonesia.
Setelah Soeharto dan Orde Baru jatuh, peran SK Trimurti tak dilupakan begitu saja.
Sebab, selain sebagai jurnalis perempuan pertama, SK Trimurti juga memiliki peran besar dalam perjuangan kemerdekaan.
Untuk memperingati jasa SK Trimurti, Aliansi Jurnalis Independen kemudian memberikan penghargaan kepada wartawan Indonesia dengan mengunakan namanya, yaitu SK Trimurti Award.
• Meletus Lagi, Inilah Sejarah dan Asal Usul Gunung Merapi, Termuda tapi Paling Aktif
• Mengenal Sosok SK Trimurti, Wartawati Kritis Incaran Polisi Belanda hingga Jadi Menteri Tenaga Kerja
Kritik Hari Pers
Presiden Soeharto disertai Ibu Tien mengunjungi stand Kompas Gramedia di Hall C PRJ Kemayoran disambut oleh PU Kompas Jakob Oetama. Pameran dalam rangka Hari Pers Nasional 1985. Ada gambar wartawan Kompas Rustam Affandi ( almarhum) sebagai penjaga stand KG.
Penetapan Hari Pers Nasional memang tak lepas dari organisasi PWI yang berdiri pada 9 Februari 1946.
Dengan demikian, muncul kritik mengenai penetapan Hari Pers Nasional yang diambil dari HUT PWI.
Salah satu kritik mengenai penetapan Hari Pers Nasional adalah karena PWI merupakan satu-satunya organisasi pers yang diperbolehkan ada saat Orde Baru berkuasa.
Saat Soeharto memimpin, sejumlah wartawan yang menginginkan independensi pers dan wartawan dari unsur pemerintah kemudian mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
AJI dan sejumlah sejarawan kemudian mengusulkan agar Hari Pers Nasional ditetapkan sesuai dengan sejarah pers di Indonesia.
Salah satu usulan adalah menetapkan tanggal meninggalnya tokoh pers Tirto Adhi Soerjo pada 7 Desember.
Salah satu warisan legendaris Tirto adalah surat kabar Medan Prijaji.
Di tangannya, pers menjadi wahana untuk melatih rakyat jelata membela hak-haknya di hadapan penguasa.
Dia menerbitkan Suluh Keadilan karena pers ke depan pasti akan berhubungan dengan pasal-pasal.
Putri Hindia sebagai tonggak pers perempuan bahkan melatih sendiri wartawan-wartawannya.
Usulan lain adalah menetapkan Hari Pers Nasional disesuaikan dengan tanggal berdirinya Medan Prijaji pada Januari 1907.
Sejarawan Asvi Warman Adam memberikan usulan jalan tengah, yaitu peringatan bulan pers nasional pada Januari yang kemudian dilanjutkan dengan puncak peringatan pada 9 Februari.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Saat Soeharto Menetapkan Hari Pers Nasional...".
Baca berita terbaru lainnya di Google!