KEBIJAKAN
Sembako Bakal Dikenai PPN, Pedagang Berang, Pemerintah Janji Banjiri Masyarakat dengan Bansos
Sembako yang akan dikenakan tarif PPN meliputi, beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah, sayur-sayuran.

Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah mengaku, sembako yang dijadikan objek pajak baru akan mengikis daya beli masyarakat.
Bagaimana tidak? Masyarakat begitu tergantung dengan sembako, khususnya ibu rumah tangga yang saban hari berkunjung ke warung dan tukar sayur untuk memenuhi pangan keluarga.
Namun demikian, masih ada kemungkinan pemerintah akan menurunkan pajak untuk barang-barang esensial yang banyak dibutuhkan, lantaran skema multitarif menjadi salah satu opsi yang digaungkan.
Dengan skema ini, barang kebutuhan masyarakat akan dipajaki lebih rendah, sedangkan barang mewah yang umumnya dikonsumsi masyarakat menengah atas bakal dipajaki lebih tinggi.
Staf khusus menteri keuangan Yustinus Prastowo dalam satu kesempatan sempat menyebut, barang yang banyak dibutuhkan warga bisa lebih rendah tarifnya, mungkin turun sekitar 5-7 persen dari yang saat ini 10 persen.
"Pemerintah pasti tahu bahwa kenaikan PPN akan menghantam daya beli dan konsumsi. Jadi bisa berdampak negatif ke pemulihan ekonomi. Tentunya ini dihindari," kata Piter saat dihubungi, Rabu (9/6/2021).
Janji pemerintah banjiri bansos
Seolah satu garis, Yustinus menyampaikan, pemerintah akan memperkuat bantuan sosial (bansos) untuk masyarakat miskin dan rentan miskin bila sembako dikenakan tarif PPN.
Disebutnya, kebijakan penyaluran bansos lebih adil daripada mengecualikan tarif PPN untuk sembako yang bisa dinikmati semua kalangan. Penguatan bansos pun jadi lebih tepat sasaran, karena semakin banyak bantuan yang diarahkan ke orang yang berhak secara langsung.
"Maka jadi relevan: bandingkan potensi bertambahnya pengeluaran dengan PPN, dengan bansos yang diterima rumah tangga," kicau Yustinus dalam akun Twitternya dikutip Kompas, Kamis (10/6/2021).
Sejauh ini, pengecualian PPN untuk sembako dan jasa yang luar biasa banyak lainnya memang terbukti membuat penerimaan pajak negara jadi tak optimal. Selain tak tepat sasaran, RI disebut-sebut menjadi negara dengan fasilitas pengecualian terbanyak.
Kalau tak percaya, dia bilang, coba bandingkan dengan berbagai negara seperti Thailand, Singapura, India, dan China.
Di Singapura, pengecualian pajak hanya diberikan untuk properti tempat tinggal, logam berharga, barang untuk keperluan investasi, jasa keuangan, dan sewa properti tempat tinggal.
Sementara Thailand, barang pertanian, peternakan, perikanan, koran dan buku, pupuk, jasa kesehatan, angkutan umum, dan leasing properti.
Jika dibandingkan dengan negara yang disebutkan, China menjadi negara dengan pengecualian pajak paling sedikit, yakni hanya di Zona Ekonomi Spesial (Special Economic Zone).