HUMAN INTEREST

KISAH Nelayan di Natuna Banting Setir Jadi Kuli Bangunan Gegara Tak Bisa Melaut

Maddin, nelayan di Natuna mengaku sudah 3 bulan tak melaut gegara cuaca ekstrem. Untuk sementara waktu, dia banting setir jadi kuli bangunan

Editor: Dewi Haryati
tribunbatam.id/istimewa
KISAH Nelayan di Natuna Banting Setir Jadi Kuli Bangunan Gegara Tak Bisa Melaut. Foto Ketua Nelayan Desa Teluk Buton, Kecamatan Bunguran Utara, Kabupaten Natuna, Maddin (54) 

NATUNA, TRIBUNBATAM.id - Cuaca ekstrem yang terjadi di akhir dan awal tahun di Natuna, berdampak pada perekonomian masyarakat di Natuna.

Khususnya bagi mereka yang mencari nafkah di laut sebagai nelayan tradisional.

Ketua Nelayan Desa Teluk Buton, Kecamatan Bunguran Utara, Kabupaten Natuna, Maddin (54), contohnya.

Sudah tiga bulan ini Maddin tak melaut. Itu sejak November 2021 hingga Januari 2022 ini.

Biasanya, Maddin menangkap ikan bilis atau teri menggunakan peralatan tradisional seperti tanggok atau jaring manual. Atau biasa disebut masyarakat Kepulauan Riau (Kepri) sondong atau menyondong.

Maddin bercerita, saat ini ketinggian ombak di laut Natuna bisa mencapai 2 hingga 6 meter. Demi keselamatan, sementara ini dia tak turun melaut seperti biasanya.

Untuk mengisi waktu dan agar kebutuhan rumah tangganya tetap terpenuhi, sementara ini Maddin beralih pekerjaan. Terpenting bisa menghasilkan uang.

"Ya bang, sekarang tak pilih kerja (laut). Kalau ada kerja bangunan saya ikut. Ini sudah masuk tiga bulan tak bisa melaut," ujar Maddin di kediamannya, Teluk Buton, Kecamatan Bunguran Utara, Kabupaten Natuna, Rabu (5/1/2022) lalu.

Baca juga: Perahu Terbalik Dihantam Ombak di Laut Karimun, Satu Nelayan Hilang

Baca juga: Kisah Nelayan di Karimun Selamat Dari Ancaman Maut

Meskipun penghasilannya selama ini sering kali tidak memuaskan, namun dia tetap bersyukur.

Maddin bercerita, bisanya dia bisa menangkap ikan bilis mencapai tiga puluh tong berukuran 25 liter per malamnya. Usahanya itu dihargai Rp 100 ribu hingga Rp 120 ribu per tong.

"Namun saat ini angin kencang, jadi ikan teri (bilis) tidak kelihatan karena air laut bergelombang. Inilah masalah bagi kami nelayan teri," tuturnya.

Sementara di tempat terpisah, Narsiem (45), salah seorang pengepul ikan teri, berdomisili di Desa Sepempang, Kecamatan Bunguran Timur Laut, mengaku sudah tiga bulan tak ada penampungan ikan teri.

Itu karena nelayan teri sementara ini tak bisa ke laut akibat cuaca ekstrem.

Menurutnya jika musim utara tiba, harga jual ikan teri yang sudah dikeringkan bisa mencapai Rp 70 ribu per kilogramnya.

"Sementara harga hari-hari biasa Rp 50 ribu per kilo," terang Narsiem, Kamis (6/1/2022). (Tribunbatam.id/Muhammad Ilham)

Baca juga Berita Tribun Batam lainnya di Google 

Sumber: Tribun Batam
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved