KEPRI TERKINI
INI Masalah Baru Bagi Pemda Jika Semua Pegawai Honorer Digantikan Outsourcing
Tenaga honorer di lingkup pemerintahan akan dihapus dan digantikan tenaga outsourcing. Namun, kebijakan itu dikhawatirkan memunculkan masalah baru.
BATAM, TRIBUNBATAM.id - Menteri PAN-RB Tjahjo Kumolo mengungkapkan alasan terkait kebijakan penghapusan pegawai honorer yang akan diberlakukan mulai 2023 mendatang.
Menurutnya, alasan utamanya adalah karena gaji pegawai honorer tidak jelas.
Karena itu, selain seleksi menjadi PPPK dan PNS, SK Menteri PANRB No. B/185/M.SM.02.03/2022 itu juga membuka peluang kepada pemerintah di kementerian/lembaga serta pemerintah daerah untuk merekrut tenaga outsourcing atau alih daya.
Pegawai berstatus PPPK dan PNS, gaji dan tunjangannya diatur oleh pemerintah, sementara tenaga outsourcing, sistem gajinya mengkuti UU Ketenagakerjaan atau mengikuti upah minimum yang berlaku di daerah.
Niat Tjahjo memang baik, agar standar gajinya jelas.
Namun, tidak bagi pemerintah daerah.
Alasannya, mempekerjakan tenaga outsourcing justru menjadi beban tambahan terutama bagi anggaran daerah.
Itu karena, biaya gaji yang dikeluarkan untuk membayar tenaga outsourcing akan menguras APBD yang sudah besar oleh belanja pegawai.
Di Kota Tanjungpinang, misalnya, pegawai tidak tetap (PTT) digaji Rp 2,3 juta sedangkan tenaga harian lepas (THL) digaji Rp 1,6 juta.
Jika PTT dan THL dijadikan outsourcing, maka mereka harus digaji Rp 3 juta sesuai UMK Tanjungpinang.
Baca juga: KEPRI Terancam Kekurangan Tenaga Guru Jika Semua Pegawai Honorer Dihapus Pemerintah
Baca juga: Istri Walikota Batam Marlin Agustina Berhasil Nabung Rp 10 Juta dari Hasil Jualan Sampah
“Beban APBD kita naik dua kali lipat,” kata Kepala Badan Kepegawaian Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Tanjungpinang Tamrin Dahlan kepada Tribun.
Tamrin benar. Di satu sisi, gaji pegawai honorer memang lebih rendah dibanding pegawai swasta, bahkan cenderung di bawah UMK atau UMP.
Namun, selama ini hal itu bisa disiasati dari kegiatan instansi yang menaunginya.
Di setiap kegiatan tertentu mereka mendapatkan honor kegiatan atau insentif.
Karenanya, tidak heran jika pegawai honorer masih bertahan di instansi yang mempekerjakan mereka.
Hal lain yang terasa di Provinsi Kepri adalah kondisi geografis daerah. Sebagai provinsi pemekaran yang baru berusia 17 tahun, juga pemerintah kabupaten/kota yang relatif baru, rekrutmen pegawai tidaklah mudah.
Turn-over pegawai di daerah ini sangat tinggi.
Banyak PNS yang bekerja di sebuah daerah minta pindah ke daerah lain setelah beberapa tahun bekerja.
Umumnya, mereka tak betah oleh angin laut di pulau-pulau.
Karena itu, untuk mengisi kekurangan, pemerintah daerah memilih merekrut honorer, terutama dari masyarakat tempatan sendiri.
Bahkan, bagi pemda, lebih baik merekrut lulusan SMA daripada berharap sarjana dari luar.
“Mengharapkan orang luar pusing. Masuk kerja seminggu, seminggu lagi libur di Batam,” kata seorang pejabat di Anambas.
“Lebih baik terima orang tempatan. Mereka tinggal kita ajar dan motivasi, kerjanya lebih bagus.”
Namun, tentu saja yang paling resah saat ini adalah pegawai honorer.
Jumlahnya di Kepri sangat banyak, mencapai belasan ribu orang. Banyak pegawai honorer sudah lama bekerja di suatu instansi sehingga mereka merasa nyaman dengan pekerjaan yang digeluti.
Seorang pegawai honorer di salah satu dinas Kota Tanjungpinang mengaku panik jika pegawai honorer dihapuskan pemerintah pada November 2023 nanti.
Ia memikirkan istri dan dua anaknya. Pria yang tidak ingin disebut namanya ini mengaku sudah lima tahun menjadi pegawai honorer di Satpol PP.
Meskipun gajinya ridak besar, namun cukup untuk menghidupi keluarga.
“Saya tidak mungkin tes CPNS atau PPPK karena ia cuma tamat SMA,” katanya.
Keresahan juga dirasakan oleh ibu tiga orang anak yang bekerja sebagai pegawai honorer.
Ia berharap ada solusi lain dari pemerintah agar tidak tergerus oleh kebijakan itu.
Perempuan yang sehari-hari cukup padat dengan aktivitas di lapangan ini meyebutkan, segala pekerjaan yang diarahkan selalu dikerjakan dengan baik.
Bahkan ia rela tidak libur jika ada agenda mendadak pimpinannya.
Pegawai lain meminta pemerintah agar mencari solusi terkait seleksi menjadi PPPK. Sebab, untuk jadi PPPK harus ujian terlebih dulu. Ia pernah mengikuti tes dan tidak lulus karena pertanyaannya umum.
“Mestinya ujian PPPK itu tidak sama semua. Harus berdasarkan keahlian. Saya siap kok diuji sesuai bidang kerja saya. Sampai masalah undang-undang dan peraturan di pekerjaan saya juga saya hafal,” katanya. (TRIBUNBATAM.id)