Bintan Terkini

Kisah Lansia di Kijang Bintan Memilih Tetap Terus Menjahit Diusia Senjanya

Hiduplah seorang penjahit perempuan bernama Bong Yulan atau akrab di sapa Alang (72) yang sangat terkenal. 

Penulis: ronnye lodo laleng | Editor: Eko Setiawan
Tribun Batam.id/ Ronnye Lodo Laleng
KISAH ALANG  - Penjahit Lansia Bernama Alang Sedang Menjahit Baju Pesanan Pelanggan. 

TRIBUNBATAM.id, BINTAN  -  Suatu ketika di Taman Kota Kijang, Bintan, Kepulauan Riau (Kepri) yang tenang.

Hiduplah seorang penjahit perempuan bernama Bong Yulan atau akrab di sapa Alang (72) yang sangat terkenal. 

Nama itu sudah tak asing lagi bagi masyarakat Bintan khususnya di Kecamatan Bintan Timur, sebagai penjahit handal.

Kemahirannya dalam menjahit, telah menarik perhatian warga Bintan untuk memakai jasanya.

Meski sudah memiliki nama yang besar dan pelanggan yang banyak ternyata Lansia itu tetap rendah hati dan tetap profesional.

Dia tidak membeda-bedakan pelanggannya. Apalagi mendahulukan pesanan prioritas. 

Siapa yang memesan lebih dulu, itu yang dikerjakan Alang.

Dia mengerjakan setiap pesanan dengan dedikasi dan ketekunan. 

Dia selalu melayani semua orang yang datang ke kios jahitnya selama puluhan tahun lamanya. 

Hampir setiap hari ia duduk di balik kios berukuran kurang lebih 2x4 meter.

Di sana, Alang duduk seorang diri sambil menjahit. 

Meski kendaraan yang melintas di depannya, tak mengusik Alang.  Dia tetap fokus menjahit.

Alang merupakan wanita keturunan Tionghoa.

Dia paling menyukai warna merah. Warna itu merupakan warna khas yang paling ia sukai sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).

Hampir setiap hari ia gunakan pakaian serba merah.

Kebiasaan itu ia kenakan sejak puluhan tahun lamanya.

Menurutnya, berbusana merah terlihat lebih ceria meski saat ini usianya tidak mudah lagi.

"Begitu memakai pakaian merah, bagi saya sangat bagus, terlihat cerah dan awet muda," ucap Alang, Rabu (14/5/2025).

Beberapa kali ia ingin mencoba dengan warna lain, namun tidak ia lanjutkan lagi.

Hatinya seakan beronta dan ingin kembali menggunakan pakaian bercorak merah.

"Perasaan saya beda saja, kalau mengenakan pakaian warna lain. Pokonya saya tetap suka merah," kata wanita kelahiran Tarempa, 7 November 1954 itu.

Perlahan, dia mengenang kembali mulai merantau ke Kabupaten Bintan saat ia masih berumur 20 tahun-an.

Rasa bangga sebagai penjahit bendera, ia tunjukkan dengan tidak meninggalkan eusahanya itu.

Meski sempat bangkrut ia tetap semangat menjahit.

Setelah memutuskan menjadi tukang jahit pakaian dan lainya, ada sejumlah pekerjaan yang pernah ia lakukan.

Di antaranya menjadi pembantu rumah tangga, dan tukang cuci di restauran.

Hasil jahit itu ia tabung untuk keperluan hidupnya dan suami, termasuk ketiga buah hatinya saat itu.

Alang dan sang suami mulai beralih profesi menjadi penjahit sejak 43 tahun silam.

Sejak menggeluti usaha itu, jatuh bangun pernah dirasakan mereka.

"Kami nyaris bangkrut. Namun dengan tekad kami bangun lagi meskipun perlahan," jelas wanita berkacamata itu.

Selain ramah dan baik kepada masyarakat, ia mengaku patokan ongkos jahit dengan harga miring untuk menarik pelanggan.

Dengan cara itu, warga kemudian mulai mengenalinya dengan jahitan murah hingga saat ini.

Sejak itu, usahanya tak pernah surut hingga ia mampu menyekolahkan ketiga anaknya hingga sarjana

Waktu itu, sekitar tahun 2017 setiap bulan ia harus mengeluarkan uang Rp 3 hingga Rp 5 juta untuk membiayai sekolah dan kuliah anak-anaknya.

Termasuk biaya hidup keseharian mereka.

Meski begitu, hingga selesai kuliah semuanya berjalan baik dan biaya dari hasil menjahit mampu menutupi kehidupan mereka.

Seiring berjalannya waktu, duka datang menghampirinya.

Sang suami bernama Young Chi Bu harus pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.

Alang, adalah istri dari mendiang Young Chi Bu.

Keduanya adalah warga Tanjungpinang, yang telah hijrah dan menetap di Kijang Kota, Bintan Timur, Kabupaten Bintan, sejak tahun 1983 lalu.

Sang suami meninggal dunia karena sakit yang dideritanya. Hal itu membuat Alang sempat patah semangat.

Ia sempat vakum jadi seorang penjahit kurang lebih enam bulan lamanya.

Perlahan hati kecilnya mulai mengiklaskan kepergian orang yang ia sayangi puluhan tahun itu.

Alang kemudian mulai buka kembali usaha itu tanpa sang suami.

Kini ia tidak terlalu banyak berharap, dirinya menjahit pakaian ini, sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Termasuk meneruskan warisan usaha jahit bendera yang dirintis Young Chi Bu suaminya.

"Saya ingin terusin usaha suami saya. Suami meninggal kurang lebih 8 tahun lalu. Dari jualan bendera, saya gunakan untuk beli kebutuhan sehari-hari,” lanjutnya. 

Sementara ketiga anaknya, sudah mampu menghidupi diri mereka masing-masing.

Alang kini punya pelanggan tetap, mulai dari warga Bintan, Kota Tanjungpinang, termasuk pemilik kapal yang ada di Provinsi Kepulauan Riau.

Dia mengaku banyak mendapat pesanan saat menjelang  17 Agustus setiap tahunnya.

Banyak warga yang datang beli bendera merah putih.

Sampai dirinya tak bisa penuhi permintaan dari konsumen, karena hanya dia yang menjahit bendera.

Setiap bendera, ia jual dengan harga bervariasi.

Ukuran 100 x 70 cm dia jual dengan harga Rp 50 ribu per bendera, dan masih banyak lagi ukuran dan harga yang ia jual.

"Hari biasa tidak banyak yang beli, namun di bulan Agustus, orang-orang pada datang beli dari berbagai tempat, kadang dari Batam juga ada," ungkapnya. 

Untuk menjaga pelanggan, soal kualitas jahitan ia paling utamakan, termasuk hasil jahitan Alang sangat bagus, dan rapi jika dibandingkan dengan jahitan yang ada di lokasi lain di Tanjungpinang dan Bintan.

Alang mengakui, profesi ini tetap ia lakoni hingga tidak bisa bekerja lagi. (TRIBUNBATAM.id/ Ronnye Lodo Laleng).

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved