Kasus Kematian Anak di Batam

Satu Tahun Menunggu Keadilan, Misteri Kematian Bocah 2 Tahun di Batam Belum Terungkap

Pemakaman sederhana yang dipenuhi semak dan pohon bambu, sepetak tanah merah tampak berbeda dari makam lainnya. 

|
Penulis: Ucik Suwaibah | Editor: Eko Setiawan
Ucik Suwaibah/Tribun Batam
Seorang wanita tengah berziarah di makam Al Fatih Usnan di TPU Sei Gula, Rempang Cate, Galang, Kota Batam, Jumat (8/8/2025) 

TRIBUNBATAM.id, BATAM – Di sudut terpencil sebuah pemakaman di Sei Gua, Rempang Cate, Galang, Kota Batam, berdiri sepetak tanah merah yang tak banyak dilirik orang.

Tak ada nisan marmer, tak ada keramik putih, tak ada bunga segar yang terhampar.

Hanya sepotong kayu kecil, lapuk dimakan waktu, menandai bahwa di bawahnya terbujur kaku tubuh mungil Al Fatih Usnan, bocah dua tahun delapan bulan yang kepergiannya penuh tanda tanya.

Malam pemakaman itu berlangsung senyap. Hanya suara langkah terburu, suara cangkul menggali tanah, dan desir angin malam yang menyelimuti.

Dalam gelap yang pekat, liang lahat digali tergesa-gesa. Tanah basah menutup tubuh kecil itu, seolah bukan hanya jasad yang terkubur, tapi juga kebenaran yang belum pernah terungkap.

Lebih dari setahun telah berlalu sejak malam itu, namun kabar duka ini masih menusuk hati kedua orangtuanya.

Mereka kehilangan anak pertama mereka dengan cara yang tak pernah mereka bayangkan misterius, mendadak, dan tanpa jawaban pasti.

“Anak saya dimakamkan di sini tengah malam waktu itu, kami bawa dari Graha Hermine Batuaji. Saya ingin tahu kondisi pastinya. Tapi ternyata, anak saya sudah meninggal,” lirih Amir, sang ayah, suaranya berat menahan perih.
Malam yang Menghantui

Amir masih ingat jelas detik demi detik yang mengubah hidupnya.

Malam itu, tubuh kecil anaknya baru tiba di rumah saat kabar duka disampaikan. Tak ada waktu untuk memeluk erat atau mencium keningnya untuk terakhir kali.

Desakan untuk segera memakamkan datang begitu cepat.

“Kata Pak Ustadz yang urus makam, semuanya sudah siap. Jam 12 malam itu lubang sudah digali. Katanya, tidak baik kalau pemakaman ditunda,” kenangnya.

Rasa hancur membuat Amir tak sanggup memandikan jasad sang buah hati. Kepalanya kosong, hatinya remuk. Ia bahkan tak sempat melihat seluruh tubuh anaknya untuk terakhir kali.

“Pas kemarin dibongkar lagi, baju terakhirnya ikut dikubur. Saya nggak tahu. Jadi, saya benar-benar nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada anak saya,” ujarnya, matanya berkaca-kaca, menatap tanah merah di hadapannya.

Kini, setiap kali Amir datang ke makam itu, ia hanya duduk diam. Angin menerpa bambu-bambu di sekitar, membawa suara gemerisik yang seakan mengulang-ulang satu pertanyaan di kepalanya, apa yang sebenarnya terjadi pada anakku?

Awal Misteri

Kematian ini bermula pada 31 Maret 2024. Siang itu, Al Fatih dijemput oleh seorang perempuan berinisial EV, yang tak lain adalah majikan orangtuanya, dari rumah mereka di Tanjung Kertang, Kecamatan Galang.

Waktu menunjukkan pukul 12.00 WIB ketika sang bocah dibawa pergi.

Hingga sore, sekitar pukul 17.00 WIB, sang ibu, Mugi, mulai gelisah.

Ia mencari anaknya dan menanyakan langsung kepada EV. Jawaban yang ia terima membuat hatinya berdebar: “Anakmu ada di mobil.”

Namun pintu mobil terkunci. Begitu dibuka, pemandangan yang menghancurkan hati terbentang di depan mata, Al Fatih telungkup di bawah kaki kursi tengah mobil, bukan di kursi seperti biasanya.

Detik itu juga, dunia Mugi runtuh.

Kejanggalan demi Kejanggalan

Kematian ini meninggalkan banyak kejanggalan. Keluarga mengaku sempat dimediasi oleh EV selama tiga bulan tanpa hasil.

Laporan resmi baru dibuat ke Polresta Barelang pada 4 Juli 2024. Namun hingga kini, tak ada satu pun tersangka yang ditetapkan.

Satu-satunya perkembangan datang dari praperadilan yang diajukan EV, di mana hakim memutuskan bahwa ia belum layak dijadikan tersangka karena bukti dinilai belum cukup.

Bagi keluarga, keputusan itu ibarat menambah garam pada luka yang belum kering.

“Anak kami sudah dikuburkan, tapi keadilan belum pernah datang,” ujar Amir, tatapannya kosong, seolah menembus tanah merah yang sunyi.

Satu Tahun Menunggu Jawaban

Hari-hari berganti, bulan demi bulan berlalu, namun jawaban tak pernah datang.

Hanya pusara sepi, sebatang kayu lapuk, dan ingatan akan tawa anak kecil yang dulu pernah memenuhi rumah.

Kini, keluarga menggantungkan harapan terakhir pada selembar surat yang mereka bawa ke DPRD Kota Batam.

Surat itu berisi jeritan hati, permohonan agar misteri kematian Al Fatih diusut hingga tuntas.

Di tengah keheningan pemakaman itu, Amir kembali duduk di tepi pusara anaknya. Angin sore berhembus, membawa aroma tanah basah.

Satu tahun sudah ia menunggu, namun keadilan terasa semakin jauh. Dan di sanalah ia tetap menunggu menunggu jawaban, menunggu kebenaran, menunggu kepastian bahwa kematian anaknya tidak akan terkubur selamanya di balik tanah merah itu. (Tribunbatam.id/Ucik Suwaibah)

Sumber: Tribun Batam
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved