Keluarga Korban Lion Air Jatuh yang Menggugat Boeing Makin Banyak, Mencapai 30 Orang

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pesawat Lion Air JT 610 berjenis Boeing 737 Max 8

TRIBUNBATAM.id, CHICAGO - Pesawat Lion Air yang jatuh di perairan Jawa Barat hampir dua bulan berlalu berbuntut panjang karena perusahaan Boeing kini akan menghadapi, setidaknya gugatan 30 dari keluarga korban.

Seperti diketahui, Lion Air PK-LQP dengan nomor penerbangan JT-610 jatuh, Senin (29/10/2018) pagi, beberapa menit setelah lepas landas dari bandara Soekarno Hatta menuju Pangkal Pinang.

Sebanyak 189 penumpang dan awak kabin Lion Air tewas dalam kecelakaan pesawat Boeing 737 MAX yang menjadi armada Lion Air pada Agustus 2018.

Jatuhnya Lion Air tersebut membuat sebagian keluarga korban tidak puas, termasuk kepada produsen pesawat asal Amerika Serikat, Boeing Co.

Keluarga korban Lion Air menggugat Boeing di pengadilan Amerika Serikat dan sejak November lalu, jumlahnya terus bertambah.

Gugatan terakhir didaftarkan Senin (24/12/2018) lalu di pengadilan Chicago, atas nama Sudibyo Onggo Wardoyo (40) asal Jakarta, Indonesia.

Para penggugat menuduh Boeing ikut bertanggung jawab dalam kecelakaan ini karena para pilot tidak mendapatkan panduan yang secukupnya untuk menerbangkan Boering 737 MAX yang merupakan seri terbaru produksi Boeing. 

Lion Air JT-610 Lion Air hilang kontak setelah 13 minit lepas landas pada pukul 29 Oktober lalu dan menghujam ke laut utara Jawa.

Baca: Tragedi Lion Air JT610, Dua Firma Hukum Amerika Serikat Gugat Boeing Wakili Keluarga dr Rio Nanda

Baca: Keluarga Korban Lion Air JT 610 Gugat Boeing di Pengadilan Amerika Serikat

Baca: Hotman Paris Gandeng Pengacara Amerika Serikat, Gugatan Kasus Lion Air Dibawa ke Pengadilan Chicago

“Boeing seperti menutup mata dalam kejadian ini dan kemudian mengikat tangan (menyalahkan) pilot dalam peristiwa ini," kata pengacara penggugat, Thomas Demetrio dari firma Corboy & Demetrio.

Pada November lalu, dua firma hukum asal Amerika Serikat mengajukan gugatan kepada The Boeing Company di pengadilan Circuit Court of Cook County, Illinois, Amerika Serikat.

Gugatan tersebut diajukan oleh firma hukum Colson Hicks Eidson dan BartlettChen LLC  mewakili keluarga korban Lion Air.

Beberapa waktu lalu, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) merilis hasil investigasi awal penyebab jatuhnya pesawat Lion Air PK-LQP dengan nomor penerbangan JT 610 tujuan Jakarta-Pangkalpinang.

Dalam rilis yang disampaikan Rabu (28/11/2018),  KNKT membeberkan data yang diperoleh dari pemeriksaan kotak hitam Flight Data Recorder (FDR). 

Sorotan asosiai pilot

Beberapa waktu lalu, pendiri Lion Air Rusdi Kirana juga mengancam akan membatalkan pesanan pesawatnya dari Boeing setelah sebuah pernyataan perusahaan pembuat pesawat itu menyalahkan operator dan pilot.

"Saya merasa dikhianati," kata Rusdi Kirana seperti dlansir Daily Herald, "Saya sedang menyiapkan dokumen untuk mengusulkan pembatalan. Semuanya masih dalam pertimbangan sekarang."

Pasca laporan investigasi awal KNKT, Boeing mengeluarkan pernyataan panjang yang terkesan menghindar dari kesalahan.

Sejumlah pengamat penerbangan dan asosiasi pilot mengkritik Boeing yang seharusnya melakukan banyak hal untuk memperingatkan pelanggannya sebelum pesawat itu dioperasikan.

Panduan rinci fitur anti-stall baru pada 737 Max dinilai belum familiar bagi pilot.

Asosiasi pilot bahkan mendesak KNKT untuk menginvestigasi sistem pelatihan yang diperoleh pilot Lion Aior sebelum menerbangkan pesawat  tersebut.

Sebelumnya, dua serikat pilot AS memperkirakan, fitur keselamatan di pesawat Boeing Co 737 Max tidak cukup dijabarkan dalam manual atau pelatihan mereka.

Kabasarnas Marsekal Muda Muhammad Syaugi menunjukkan bagian dari black box (kotak hitam) pesawat Lion Air PK-LQP di atas Kapal Baruna Jaya 1, Karawang, Jawa Barat, Kamis (1/11/2018). Bagian dari black box tersebut ditemukan penyelam TNI Angkatan Laut dari reruntuhan pesawat Lion Air PK-LQP yang jatuh di perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat pada Senin 29 Oktober lalu. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN (TRIBUN/IRWAN RISMAWAN)

Boeing dan Administrasi Penerbangan Federal mengeluarkan arahan minggu lalu, memberi tahu awak pesawat tentang sistem tersebut.

Sistem tersebut dirancang untuk memberikan perlindungan ekstra terhadap para pilot yang kehilangan kendali.

Hal itu mendorong penerbang, serikat pekerja dan departemen pelatihan untuk menyadari bahwa tidak ada satupun dokumentasi untuk pesawat Max termasuk penjelasan tentang sistem, kata pemimpin serikat.

"Kami tidak suka karena kami tidak diberitahu," kata Kapten Jon Weaks, presiden Asosiasi Pilot Maskapai Penerbangan Barat.

Kapten Dennis Tajer, seorang kapten dan juru bicara Asosiasi Pilot Sekutu 737 di American Airlines Group Inc, mengatakan anggota serikatnya juga prihatin.

Keluhan dari Southwest Airlines Co dan Amerika yang membeli Max dijadikan contoh terhadap masalah tersebut.

Southwest adalah operator terbesar yang menggunakan 737 Max. Perusahaan itu sudah memesan 257 jet Max dan belum dikirimkan.

"Ini bukan tentang lapisan birokrasi, ini tentang mengetahui pesawat Anda," kata Kapten Tajer. "Kami akan selalu bersemangat dan agresif dalam mendapatkan pengetahuan tentang pesawat baru."

Sebuah buletin dari APA untuk pilot Amerika mengatakan, rincian tentang sistem itu tidak termasuk dalam dokumentasi tentang pesawat itu.

"Perusahaan-perusahaan dan para pilot seharusnya diberitahu," kata Capt Weaks. "Itu membuat kita bertanya, 'Apakah itu segalanya, kawan?' Saya berharap tidak ada lagi kejutan di luar sana. "

Boeing mengatakan pihaknya yakin akan keselamatan keluarga jet 737 Max.

"Keselamatan tetap menjadi prioritas utama kami dan merupakan nilai inti bagi semua orang di Boeing."

Beberapa rincian telah dirilis tentang penyebab yang mendasari kecelakaan Lion Air pada 29 Oktober lalu.

KNKT mengatakan bahwa sensor yang salah pada komputer pesawat telah mendorong pesawat menukik ke laut.

Namun Boeing menyebutkan bahwa fitur keamanan baru ditambahkan pada model Max untuk mencegah pilot kehilangan kendali.

Badan investigasi berencana untuk merilis laporan awal antara 28 dan 29 November, sebulan setelah kecelakaan, sebagaimana diamanatkan oleh perjanjian internasional.

FAA, yang mensertifikasi pesawat itu tidak berkomentar mengenai masalah tersebut.

Arahan darurat FAA mensyaratkan bahwa operator AS merevisi manual penerbangan dan mengatakan "akan mengambil tindakan lebih lanjut jika temuan dari surat perintah penyelidikan kecelakaan".

Investigasi awal

Kepala Subkomite Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo (Tribunnews)

KNKT sebelumnya memaparkan pilot pesawat Lion Air PK-LQP mengalami masalah bertubi-tubi secara bersamaan.

Data tersebut diperoleh dari hasil pemeriksaan kotak hitam Flight Data Recorder (FDR).

"Pilot menghadapi berbagai kerusakan dalam waktu yang sama," kata Kepala Subkomite Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo.

Pesawat Lion Air PK-LQP menukik dengan kecepatan sekitar 700 km/jam sebelum akhirnya menghantam laut.

 Nurcahyo Utomo mengatakan penyebab jatuhnya pesawat Lion Air PK-LQP berasal dari berbagai kesalahan atau multiple failure.

Sebelum pesawat Lion Air PK-LQP jatuh, hidung pesawat turun secara otomatis hampir 24 kali dalam 11 menit.

Pilot dan kopilot berulang kali mengusahakan agar pesawat naik kembali, sebelum akhirnya lepas kontrol.

Laporan awal KNKT sejalan dengan penyelidikan Boeing soal sistem Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS).

MCAS adalah sistem otomatis yang mencegah pesawat stall atau kehilangan daya angkat dengan cara menurunkan hidung pesawat secara otomatis, meski dalam kondisi terbang manual (tidak mengaktifkan autopilot).

Meski begitu, KNKT menyebutkan bukan hanya MACS saja yang bermasalah dalam insiden jatuhnya pesawat Lion Ait PK-LQP di Perairan Tanjung Karawang.

KNKT masih menyelidiki sensor Angle of Attack (AoA) dalam pesawat yang banyak disorot oleh pengamat penerbangan dan pilot di dunia.

Sensor tersebut berbentuk mirip sirip kecil yang ada di samping hidung pesawat. Alat tersebut berfungsi mendeteksi kemiringan hidung pesawat saat terbang.

KNKT menyampaikan, pesawat Lion Air PK-LQP sudah mengalami masalah tersebut sejak malam sebelumnya, saat pesawat jenis Boeing 737 MAX 8 itu terbang dari Denpasar menuju Jakarta.

Menurutnya, pesawat Lion Air PK-LQP sudah tidak layak terbang saat mengalami kendala di rute Denpasar-Jakarta, 28 Oktober 2019.

Saat itu, kopilot mengatakan bahwa kendali pesawat terasa berat saat ditarik ke belakang (untuk membawa hidung naik).

Kemudian, pilot mengambil langkah untuk mengubah trim stabilizer ke posisi CUTOUT, gunanya mematikan sistem trim otomatis sehingga trim diatur secara manual.

Menurutnya, langkah tersebut sudah sesuai dengan rekomendasi yang dikeluarkan Boeing dan Federal Aviation Administration (FAA) setelah kecelakan PK-LQP terjadi.

Saat terbang dari Denpasar, tercatat adanya stick shaker aktif sesaat sebelum penerbangan hingga selama penerbangan.

Kecepatan pesawat Lion Air PK-LQP sering berubah-ubah pada ketinggian sekitar 400 kaki.

"Menurut pendapat kami, seharusnya penerbangan itu tidak dilanjutkan," kata Nurcahyo.

Setelah penerbangan diubah ke mode manual, pesawat lion Air PK-LQP mendarat di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta setelah menempuh waktu terbang 1 jam 36 menit atau sekitar pukul 22.56 WIB.

Setelah memarkirkan pesawat, pilot melaporkan pemasalahan yang dialaminya kepada teknisi.

Keesokan harinya, pesawat Lion Air PK-LQP itu kembali diterbangkan dari Jakarta ke Pangkal Pinang dan jatuh 13 menit setelah lepas landas.

Nurcahyo mengatakan pemaparan tersebut hanya sekadar fakta belum sampai pada analisis dan kesimpulan jatuhnya pesawat.

Baik analisis dan kesimpulan belum dapat dibuat karena fakta-fakta belum terkumpul seluruhnya.

Saat ini pihak KNKT akan berdiskusi dengan Boeing dan FAA di Amerika Serikat untuk membahas temuan awal ini.

Reaksi Lion Air

Namun. pihak Lion Air membantah pernyataan KNKT bahwa pesawat tersebut tidak laik terbang.

Direktur Utama Lion Air Edward Sirait mengaku baru mendengar pernyataan KNKT melalu media massa dan meminta KNKT klarifikasi secara tertulis.

Jika tidak, pihak Lion Air bakal mengambil sejumlah langkah, termasuk menempuh jalur hukum.

"Peryataan ini menurut kami tidak benar. Dan pesawat itu dari Denpasar dirilis dan dinyatakan laik terbang. Sesuai dengan dokumen dan apa yang sudah dilakukan oleh teknisi kami," ujar Edward Sirait di Jakarta, Rabu (28/11/2018) malam.

"Kita akan meminta klarifikasi secara dival besok (Kamis) karena ini tendensius. Ini bisa membuat persepsi dan juga terhadap kejadian yang ada bisa berbeda," sambungnya.

Berita Terkini