Termasuk di dalamnya tatakelola tagihan, dari sisi penerimaan, dan peserta BPJS.
“Terutama dari peserta yang bukan penerima upah reguler, itu menjadi salah satu yang perlu untuk ditingkatkan, dan juga dari sisi hubungan antara BPJS dengan Kemenkes di dalam mendefinisikan berbagai policy,” ujar dia.
Sebelumnya perseroan ini telah beberapa kali mendapatkan suntikan dana dari pemerintah.
Empat Tahun Disuntik Terus
Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Maaruf mengaku bahwa BPJS Kesehatan mendapatkan dana dari pemerintah sejak tahun 2015 hingga 2018.
Mengantisipasi defisit lebih tinggi, pihaknya berupaya menekan biaya yang ada.
"Kami sebenarnya tetap berusaha mengendalikan biaya, misalnya menindaklajuti hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang sedang kami kerjakan. Sehingga bisa memastikan sistem rujukan bisa berjalan," terang Iqbal.
Langkah lain adalah dengan mendorong supply chain financing (SCF), yaitu program pembiayaan kepada fasilitas kesehatan (faskes) agar mempercepat penerimaan pembayaran klaim.
Melalui skema tersebut, pembayaran klaim ditanggung dulu oleh bank kemudian dibayarkan BPJS Kesehatan.
Skema ini sendiri telah dilaksanakan sejak tahun lalu. "Tapi skema ini belum banyak yang memanfaatkan sehingga sosialisasi tentu perlu disampaikan, termasuk melalui media," tambahnya.
Upaya lain, dengan mendorong kepatuhan untuk membayar iuran.
Hal ini sudah tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 87/2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial.
Dalam aturan ini ada opsi ke pemerintah apakah menyesuaikan iuran, menyesuaikan manfaat atau memberikan suntikan dana.
Pada tahun lalu Kemenkeu telah mencairkan dana Rp 5,6 triliun untuk menutup defisit, namun realisasi suntikan dana pemerintah hanya sebesar Rp 5,2 triliun.
Sri Mulyani meminta BPJS Kesehatan untuk melakukan beberapa hal menyusul temuan defisit Rp 9,1 triliun pada 2018.