Redam Aksi Unjuk Rasa Militer Myanmar Berlakukan Jam Malam, Warga Myanmar: Kami Tak Takut

Penulis: Mairi Nandarson
Editor: Mairi Nandarson
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Polisi menembakkan air cannon untuk membubarkan aksi unjuk rasa menentang Kudeta Militer Selasa (9/2/2021) sehari setelah Junta Militer memberlakukan jam malam larangan berkumpul lebih dari 5 orang.

Tak lama setelah kudeta, militer mengumumkan keadaan darurat selama satu tahun dan berjanji untuk mengadakan pemilihan baru.

Min Aung Hlaing pada hari Senin bersikeras militer akan mematuhi janjinya.

Dia juga menyatakan bahwa segalanya akan "berbeda" dari pemerintahan 49 tahun sebelumnya, yang berakhir pada 2011.

“Setelah tugas masa darurat selesai, pemilihan umum multi partai yang bebas dan adil akan diselenggarakan sesuai konstitusi,” ujarnya.

"Partai pemenang akan dialihkan tugas negara sesuai dengan standar demokrasi."

Tapi janji itu disertai ancaman.

Dalam menghadapi gelombang pembangkangan yang semakin berani, militer merilis pernyataan di TV pemerintah pada hari Senin yang memperingatkan bahwa penentangan terhadap junta adalah melanggar hukum.

“Tindakan harus diambil sesuai dengan hukum dengan langkah efektif terhadap pelanggaran yang mengganggu, mencegah dan menghancurkan stabilitas negara, keamanan publik dan supremasi hukum,” kata pernyataan yang dibacakan oleh penyiar di MRTV.

OUTRASE GLOBAL

Amerika Serikat telah memimpin seruan global kepada para jenderal untuk melepaskan kekuasaan, dan mengeluarkan pernyataan baru pada hari Senin menyusul peringatan junta terhadap para pengunjuk rasa.

"Kami mendukung rakyat Burma dan mendukung hak mereka untuk berkumpul secara damai, termasuk memprotes secara damai untuk mendukung pemerintah yang dipilih secara demokratis," kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price Senin, menggunakan nama lama Myanmar.

Price juga mengatakan permintaan AS untuk berbicara dengan Aung San Suu Kyi ditolak.

Paus Fransiskus pada hari Senin menyerukan pembebasan segera para pemimpin politik yang dipenjara.

"Jalan menuju demokrasi yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir secara kasar terganggu oleh kudeta minggu lalu," katanya pada pertemuan para diplomat.

"Ini telah menyebabkan pemenjaraan para pemimpin politik yang berbeda, yang saya harap akan segera dibebaskan sebagai tanda dorongan untuk dialog yang tulus."

Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengatakan akan mengadakan sesi khusus yang relatif jarang pada hari Jumat untuk membahas krisis tersebut. (*)

.

.

.

sumber: channelnewsasia, baca juga berita lainnya di Google News

Berita Terkini