"Jadi kayak orang pindahan. Kita di rumah kayak toko emas, yang asli sebelah kiri, palsu sebelah kanan. Saya baru tahu di rumah elite itu juga banyak emas palsunya," cerita Ken.
"Satu hari lima orang di tempat yang berbeda itu pernah di atas Rp 1 miliar. Karena kita menganggap harta di luar kelompok boleh diambil. Harta musuh kita ambil untuk perjuangan," ujar Ken.
Ancaman bagi Generasi Milenial
Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center Ken Setiawan membagikan beragam cara generasi milenial yang terpapar paham radikal membohongi orang tua mereka.
Ken Setiawan mengatakan, bagi mereka yang menganut paham radikal mengambil harta orang tua adalah halal hukumnya.
"Karena kita menganggap harta di luar kelompok boleh diambil. Harta musuh kita ambil untuk perjuangan. Termasuk mengambil harta orang tua. Ini juga yang banyak dilakukan kalangan milenial yang sudah tergabung kelompok radikal saat ini," kata Ken dalam bincang dengan Wakil Direktur Pemberitaan Tribun Network Domuara D Ambarita di kantor Redaksi Tribunnews.com Jakarta, Kamis (1/4/2021).
Ken sendiri adalah mantan perekrut kelompok radikal di awal dekade 2000-an.
Dia mengaku lembaganya menerima banyak laporan kasus penipuan anak terhadap orang tuanya untuk membiayai kegiatan kelompok mereka.
Dia mengatakan, ada seorang anak yang mengaku dihipnotis dan menghilangkan motor milik kawannya kemudian datang bersama kawannya tersebut dan mengadu kepada orang tuanya.
Padahal kawannya tersebut juga bagian dari kelompok radikal.
Ada pula seorang mahasiswa asal Bandung yang kuliah di universitas ternama di Yogyakarta mengaku kepada orang tuanya memecahkan alat laboratorium seharga Rp 300 juta.
Orang tuanya awalnya tidak percaya anaknya tergabung dalam kelompok radikal karena anaknya tersebut selalu berkomunikasi dengannya.
"Bahkan telepon katanya anaknya di kampus, padahal kata dosennya anaknya sudah drop out, dan mereka sudah tergabung ke kelompok radikal," kata dia.
Ada pula mahasiswa kampus di Jawa Barat yang menipu orang tuanya dengan cara lain.
Mahasiswa yang sempat bergabung di NII namun kini pindah ke organisasi lain itu, kata Ken, melamar ke empat perusahaan teknologi informasi dengan identitas palsu.