SINGAPURA, TRIBUNBATAM.id - Ulah seorang ayah di Singapura ini jelas tidak untuk ditiru.
Mejalis hakim di Singapura bahkan menyebut kasus yang disidangkan ini merupakan kasus kejahatan terburuk dalam sejarah Negeri Singa.
Bagaimana tidak, ayah yang seharusnya menjadi pelindung bagi anak perempuannya malah merudakpaksa darah dagingnya sendiri.
Aksi tak terpujinya terhadap 4 anak perempuannya itu bahkan sempat tertutup rapat hingga 14 tahun.
Sampai akhirnya tiga anaknya memberanikan diri untuk pergi ke kantor polisi terdekat.
Pengadilan tinggi Singapura telah menjatuhkan hukuman penjara 33 tahun dua bulan lamanya kepada pria berusia 45 tahun itu.
Tidak sampai di sana, sejumlah media di Singapura pada Jumat (18/3/2022) melaporkan jika pria tersebut juga mendapat hukuman cambuk sebanyak 24 kali atas perbuatannya itu.
“Bagi anak-anak, rumah tempat tinggal seharusnya menjadi surga di mana ada kasih sayang orang tua, kehangatan, perlindungan, kedamaian, dan harmoni. Pelaku menghancurkan nilai-nilai perlindungan yang diperlukan korban dan menjadikan rumah menjadi neraka hidup. Pelaku menyebabkan kesengsaraan yang tak terbayangkan dan siksaan yang tak terhitung selama bertahun-tahun,” sebut Hakim Tan Siong Thye seraya mengecam keras perbuatan ayah empat anak itu.
Baca juga: Warga Singapura Korban Rudapaksa 2 Pria Bangladesh, Citra Aman Negeri Singa Rusak
Baca juga: Warga Batam Berbagi Kisah Pergi ke Singapura saat Covid-19, Siapkan Ini Kalau Gak Mau Susah
Pelaku diketahui melampiaskan hawa nafsunya pada malam hari ketika istrinya tidak berada di rumah karena bekerja.
Keluarga ini tinggal di distrik Ang Mo Kio, Singapura Utara.
Kemudian pindah ke rumah susun baru di distrik Canberra sejak November 2017 yang berjarak 8 km dari rumah lama mereka.
Korban pertama adalah putri tertuanya yang diberi inisial V3.
Pelaku menunjukan video porno kepada putrinya dan mencabulinya pada 2004 ketika korban berusia 7 tahun.
Putri keduanya yang berinisial V2 juga tidak luput dari kebejatan ayahnya.
V2 sempat melaporkan ayahnya ke Kepolisian Singapura pada 2015.