BATAM, TRIBUNBATAM.id - Akademisi Universitas Batam (Uniba), Fadlan menanggapi putusan MK ubah syarat pilkada hingga peta politik di Batam yang saling bertentangan.
Pada prinsipnya, pasal 1 ayat 3 undang-undang dasar konstitusi menyatakan bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum.
Kemudian, konteks hukum kepemiluan ini berada ranahnya di Mahkamah Konstitusi (MK) dan turunan di bawah ranah Mahkamah Agung (MA).
"Jadi ada dua prinsip yang diatur dalam kepemiluan. Pertama ada yudisial review, berpijak dan berangkat ke Mahkamah Konstitusi dari peraturan undang-undangan yang sudah ditentukan misalnya PKPU dan turunannya," ujar Fadlan dalam Mata Lokal Corner Tribun Batam, Kamis (22/8/2024).
Baca juga: PDI Perjuangan Batam Siapkan Lawan Amsakar Achmad Li Claudia Chandra di Pilkada 2024
Menurutnya, putusan MK merupakan final dan mengikat. Jika merujuk MK yang melahirkan putusan yang terkesan berada pada keadaan tertentu bukan tanpa sebab.
"Ini tidak diketahui teman-teman dari koalisi KIM. Padahal yang mengajukan juga bagian dari koalisi pada saat itu. Prinsipnya memberikan sebuah keadaan untuk memberikan dukungan ke pasangan calon," ujarnya.
Dalam konteks melahirkan suatu keputusan, ini tidak bisa dilihat hanya amarnya saja. Inti putusan merupakan dasar pertimbangan konstruksi berpikir atas dalil yang disusun dan norma yang dilanggar.
"Itulah penyebab esensi muatan putusan lahir daripada amarah. Dipertimbangan konstitusi sudah jelas barang ini sudah dua kali diuji pada 2005 dan 2009," ujarnya.
"Tahun 2005 itu sudah dimasukkan dalam undang-undang pilkada rezim nomor 32 tahun 2004. Di situ dijelaskan ada 15 persen ketentuan gabungan dan partai politik," sambungnya.
Hal itu dilakukan guna menghasilkan kolaborasi yang baik di daerah.
Dan di tahun 2009 yang saat itu diajukan oleh perorangan dan MK menolak, karena tidak ada kapasitas perorangan atas legal standing untuk berdiri sebagai pemohon.
Sedangkan lewat putusan 60 yang dilayangkan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora, syarat formil dari gugatan itu terpenuhi, sehingga layak untuk diperiksa.
Baca juga: KPU Tegaskan Ikut Putusan MK soal Pilkada
"Saya melihat dari berbagai pertimbangan Partai Gelora menyusun konstruksi yang sangat ideal, dengan memasukkan jumlah suara yang didapat," ujarnya.
Dengan begitu, secara rinci peristiwa tersebut esensi dan kesetaraan pemilihan tidak boleh dibatasi lewat angka agar suara pemilih juga bisa dihormati dan dihargai.
Jika ditelaah, lahirnya putusan MK wujud dari bagian titik perlawanan lewat partai politik secara formal. Apalagi Indonesia mengedepankan kedaulatan rakyat.
"Itulah lahir di pasal 1 Negara Indonesia berbentuk Republik, kemudian dijalankan dengan kedaulatan rakyat dan memiliki aspek supermasi atau menghormati hukum," ujarnya.
Bahkan, Fadlan menilai sikap DPR melalui Baleg merevisi UU Pilkada di satu hari sebelumnya, merupakan praktek kenegaraan yang tidak mencerminkan prinsip yang baik.
"Poinnya ini menyelundupkan norma. Karena di pasal 40 ayat 1 tetap tercantum angka lewat partai politik dan partai yang tidak lolos parlemen. Ini memunculkan kegaduhan," ujarnya. (TRIBUNBATAM.id / Yeni Hartati)
Baca juga Berita TribunBatam.id lainnya di Google News