TRIBUNBATAM.id, Jakarta - Tiga pemuda asal Majalengka, Jawa Barat, nekat menceburkan diri ke Waduk Pluit, Jakarta Utara, demi satu hal: bebas dari penyekapan dan tekanan pembayaran “uang tebusan” oleh calo anak buah kapal (ABK).
Aksi dramatis itu terjadi pada Sabtu malam (2/8/2025). Ketiganya Richi Andrea (20), Ahmad Syawaludin (17), dan Ryan Hidayat (20) melarikan diri dari sebuah rumah penampungan (mes) di kawasan Muara Baru, Penjaringan, tempat mereka disekap selama empat hari tanpa kepastian kerja.
Kisah bermula dari sebuah unggahan lowongan kerja sebagai ABK di media sosial Facebook.
Tertarik dengan iming-iming gaji Rp 5–6 juta, Ryan menghubungi si pengunggah, yang ternyata adalah seorang calo.
Tanpa banyak curiga, ia mengajak dua temannya berangkat ke Jakarta.
Namun, setibanya di lokasi penampungan, kenyataan berubah drastis.
Mereka dipaksa menandatangani kontrak kerja selama satu tahun bukan empat bulan seperti yang dijanjikan.
Lebih parah lagi, mereka tidak diizinkan keluar dari mes, kecuali ke warung kecil dengan pengawasan ketat.
“Kami disekap, nggak boleh ke mana-mana. Kalau ke warung pun selalu diawasi,” ujar Richi saat ditemui TribunJakarta.com, Rabu (6/8/2025).
Harus Bayar Rp 2 Juta Kalau Mau Pulang
Tidak hanya disekap, ketiganya juga mendapat tekanan dari calo: jika ingin membatalkan kerja dan pulang, mereka diwajibkan membayar denda Rp 1,8 hingga Rp 2 juta. Padahal, mereka sama sekali belum menerima gaji, apalagi berlayar.
“Dibilang kalau mau batal kerja, harus bayar dua juta. Kita nggak punya uang segitu, jadinya nekat kabur,” ungkap Richi.
Tak hanya soal kontrak, calo juga memanipulasi skema gaji. Dari gaji Rp 5 juta yang dijanjikan, Rp 2 juta akan langsung dipotong untuk calo.
Sisanya pun belum tentu dibawa pulang karena para ABK justru diminta membeli peralatan kerja sendiri senilai Rp 6 juta.
“Jadi ujung-ujungnya, bisa pulang bawa utang, bukan uang,” imbuhnya.
Keputusan untuk kabur bukan tanpa risiko. Sabtu malam, sekitar pukul 23.00 WIB, Richi dan dua kawannya membuka jendela kamar mes, melompat, dan berlari ke arah Waduk Pluit.
Dalam kondisi gelap gulita, ketiganya menyusuri tepian waduk dengan kedalaman air lebih dari satu meter, menenggelamkan badan mereka agar tidak terlihat. Setelah berjalan sekitar 200 meter dan hampir 1,5 jam menyusuri perairan, mereka akhirnya tiba di permukiman warga RT 19 RW 17 Kelurahan Penjaringan pada pukul 01.30 dini hari.
“Kita jalan nyusurin waduk, badan basah kuyup, dingin, tapi yang penting bisa lepas,” ucap Richi.
Sesampainya di rumah ketua RT, mereka langsung meminta pertolongan dan menceritakan semuanya dari awal perekrutan hingga penyekapan dan permintaan uang tebusan.
Hanya Sedikit yang Berani Kabur
Richi menyebut, di dalam mes penampungan masih ada belasan calon ABK lain yang mengalami nasib serupa. Namun tidak semuanya berani melarikan diri.
“Yang lain masih takut, karena nggak punya tempat tujuan dan nggak tahu harus bayar berapa kalau mau pulang,” katanya.
Kini, setelah berhasil kabur, Richi, Ahmad, dan Ryan berharap bisa kembali ke kampung halaman mereka di Majalengka.
“Kami cuma ingin pulang. Kami sudah kapok,” tutup Richi.
Artikel ini telah tayang di TribunLampung.co.id