Buronan Anggoro Widjojo Ditangkap

Anggoro Widjojo dari SKRT hingga Cicak Vs Buaya

KPK pernah menggeledah kantor PT Masaro pada Juli 2008. Namun, saat itu Anggoro sudah pergi ke luar negeri.

KOMPAS IMAGES/VITALIS YOGI TRISNA
Buronan KPK, Anggoro Widjojo saat dibawa ke Gedung KPK, Kuningan, Jakaarta Selatan, Kamis (30/1/2014). Anggoro merupakan tersangka kasus dugaan korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu yang ditangkap di China. 

JAKARTA,TRIBUN — Tersangka Anggoro Widjojo, buronan Komisi Pemberantasan Korupsi, akhirnya ditangkap berkat kerja sama KPK, Imigrasi Indonesia, dan Kepolisian Zhenzhen, China.

Anggoro lalu dibawa kembali ke Indonesia, Kamis (30/1/2014) malam. Bagaimana kasus yang menjerat Anggoro? Anggoro tersangkut kasus korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Kementerian Kehutanan.

Selaku pemilik PT Masaro, Anggoro diduga menyuap empat anggota Komisi IV DPR, yakni Azwar Chesputra, Al-Amin Nur Nasution, Hilman Indra, dan Fachri Andi Leluas, guna mendapatkan proyek dalam sistem komunikasi radio terpadu (SKRT) tahun 2006-2007 di Departemen Kehutanan sebesar Rp 180 miliar.

Proyek SKRT ini sebenarnya sudah dihentikan pada 2004 pada masa Menteri Kehutanan M Prakoso. Diduga akibat suap itu, Komisi IV DPR kemudian mengeluarkan rekomendasi pada 12 Februari 2007, yang meminta pemerintah memaksimalkan penggunaan SKRT yang nilai investasinya sejak tahun 1991 mencapai Rp 2 triliun.

Terkait dengan rekomendasi itu, PT Masaro lalu diminta menambah peralatan agar SKRT dapat digunakan. Namun, peralatan seperti radio komunikasi yang diadakannya ternyata spesifikasi tahun 2002 dan harganya ditentukan sendiri oleh PT Masaro. Peralatan itu juga sudah tidak efektif lagi jika digunakan.

KPK pernah menggeledah kantor PT Masaro pada Juli 2008. Namun, saat itu Anggoro sudah pergi ke luar negeri. Dugaan ketika itu Anggoro bersembunyi di China. Anggoro lalu dinyatakan buron sejak 2 Juli 2008. Dalam amar putusan hakim pada proyek alih fungsi hutan, tiga anggota DPR saat itu, yaitu Azwar Chesputra, Hilman Indra dari Partai Bulan Bintang, dan Fahri Andi Leluasa dari Partai Golkar divonis menerima suap pelepasan kawasan hutan lindung Pantai Air Telang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan. Mereka terbukti menerima suap dari Anggoro untuk memuluskan persetujuan anggaran proyek SKRT. Uang dalam bentuk dolar Singapura itu berasal dari adik Anggoro, Anggodo Widjojo.

Cicak vs Buaya

Perkembangan dari kasus SKRT ini memunculkan kriminalisasi pimpinan KPK yang dikenal dengan istilah Cicak vs Buaya. Dua pimpinan KPK ketika itu, Chandra M Hamzah dan Bibit S Rianto dijadikan tersangka oleh kepolisian dengan sangkaan menerima suap dari Anggoro melalui Anggodo.

Bibit dan Chandra disangka menyalahgunakan wewenang saat menerbitkan surat pencegahan Direktur PT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo serta surat pencegahan dan pencabutan pencegahan Direktur Utama PT Era Giat Prima Djoko S Tjandra. Belakangan, terungkap adanya rekayasa berdasarkan rekaman pembicaraan hasil sadapan KPK.

Di Mahkamah Konstitusi, rekaman percakapan telepon seluler Anggodo dengan sejumlah pejabat kepolisian dan kejaksaan kemudian diputar. Rekaman itu dengan vulgar menyebut bagaimana merancang kasus Bibit-Chandra hingga tawar-menawar imbalan kepada pihak-pihak yang diduga ikut merekayasa.

Kejaksaan Agung lalu menghentikannya demi hukum perkara pemerasan dan penyalahgunaan wewenang yang disangkakan kepada Bibit-Chandra. Setelah itu, KPK menjerat Anggodo dengan sangkaan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung perkara korupsi yang sedang ditangani KPK. Hingga tingkat kasasi, Anggodo divonis 10 tahun penjara oleh Mahkamah Agung. (KOMPAS.COM)

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved