Akibat Kejahatan Seksual Terhadap Anak, Indonesia Alami Darurat
Kejahatan seksual juga termasuk terhadap anak, merupakan salah satu jenis kejahatan yang paling rumit pengungkapannya.
"Ini sebuah langkah penting yang telah lama dinanti-nantikan publik sebagai bentuk realisasi butir keempat Nawacita Jokowi-JK dan Inpres Gerakan Nasional Antikejahatan Seksual terhadap Anak yang dikeluarkan Presiden SBY," katanya.
Akhirnya salah satu hal penting yang dinyatakan Istana atau Presiden adalah pemberlakuan kebiri kimiawi bagi predator seksual anak dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dari keputusan itu, kata Reza, terlihat bahwa pemerintah meyakini kastrasi hormonal lewat kebiri kimia akan memunculkan efek jera pada diri para pelaku kejahatan seksual terhadap anak, sebagai akibat dari lumpuhnya dorongan seksual pelaku.
"Disini tampak ada kekeliruan asumsi yang melatari keputusan tersebut. Dimana kejahatan seksual yang berarti perilaku seksual, dipercaya dilatari oleh motif seksual," kata Reza.
Namun faktanya, tambah Reza, dalam sangat banyak kasus kejahatan seksual terhadap anak, motif pelaku bukanlah motif seksual belaka.
"Di sangat banyak kasus kejahatan seksual anak, motif pelaku adalah dominansi dan kontrol. Di balik itu ada amarah, dendam, dan kebencian yang berkobar-kobar. Datangnya luapan semua perasaan negatif itu antara lain, akibat kesakitan yang muncul karena si predator pernah mengalami perlakuan kekerasan serupa semasa usia belia," kata Reza.
Sehingga tindakan memviktimisasi anak-anak, kata Reza, merupakan cara si predator melampiaskan dendamnya, amarah dan kebencian yang berkobar.
"Dan anak-anak, selaku target lunak, merupakan pihak yang paling mudah dijadikan sebagai sasaran-pengganti pengekspresian sakit hati sang predator," kata Reza.
Lalu kata Reza jika si predator ini dikebiri kimiawi dan anggaplah mematikan syahwat seksualnya, namun segala perasaan negatif tadi tidak serta-merta juga mati atau padam.
"Justru kastrasi hormonal lewat kebiri kimia membuat si predator semakin eksplosif, karena obsesinya pada dominansi telah dihalang-halangi. Bahkan ia telah direndahkan ke posisi pecundang. Sebagai kompensasi atas 'kekalahan' tersebut, si predator akan mengembangkan modus-modus baru atau pun melibatkan pihak lain guna memastikan bahwa dendamnya tetap bisa diekspresikan dan hasrat dominansi tetap bisa terpenuhi," papar Reza.
Akibatnya, kata Reza, jika dulu si predator hanya mengincar anak-anak selaku target paling potensial. Maka dengan amarah berlipat ganda akibat dikebiri, ia kini akan bisa menyasar siapa pun.
"Tidak hanya anak-anak, tapi juga orang dewasa atau pun objek non-manusia--sebagai sasaran agresinya. Ini semakin kentara pada pedofil mysoped, yaitu predator seksual yang biasa menggunakan cara-cara brutal untuk melumpuhkan korbannya," kata Reza.
Reza juga menjelaskan bahwa keterbangkitan seksual juga tidak sebatas karena faktor hormonal, tapi juga masalah fantasi atau psikis.
"Itu yang membuat, maaf sebatas ilustrasi, dimana seorang anak yang belum memasuki usia pubertas pun tetap bisa menunjukkan respon fisik pada alat vitalnya manakala terangsang secara seksual," kata Reza.
Padahal anak yang belum pubertas secara hormonal belum dapat terangsang layaknya orang dewasa.
