Akibat Kejahatan Seksual Terhadap Anak, Indonesia Alami Darurat
Kejahatan seksual juga termasuk terhadap anak, merupakan salah satu jenis kejahatan yang paling rumit pengungkapannya.
BATAM.TRIBUNNEWS.COM, DEPOK - Indonesia bukanlah satu-satunya negara di dunia yang menghadapi fenomena kejahatan seksual terhadap anak.
Akan amat sangat sulit menemukan negara yang betul-betul terbebas dari kejahatan tersebut.
Hal itu dikatakan pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel kepada Warta Kota, Kamis (26/5/2016).
Kejahatan seksual juga termasuk terhadap anak, merupakan salah satu jenis kejahatan yang paling rumit pengungkapannya.
"Tetapi dahsyatnya, Indonesia adalah satu-satunya negara yang secara terbuka dan masif menyebut dirinya dalam kondisi darurat kejahatan seksual terhadap anak," kata alumnus program Psikologi Forensik, The University of Melbourne tersebut.
Lembaga semacam Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengategorikan kejahatan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime.
Walau merasa aneh dengan semuanya itu, Reza menilai ada sisi positif dan sisi rawan atas berbagai label dan sebutan tersebut.
"Sisi positifnya, ungkapan sedemikian rupa menggetarkan nadi dan membongkar katub kesadaran publik tentang tingginya resiko maut yang dihadapi anak-anak Indonesia. Bahkan, semua label dan sebutan itu juga menunjukkan kegagalan masyarakat dan pemerintah dalam memenuhi kewajiban untuk melindungi anak-anak," kata Dosen Psikologi di Universitas Bina Nusantara itu.
Dengan keterperanjatan semacam itu, tambah Reza, diharapkan nantinya semua elemen bangsa bisa lebih waspada dan lebih siap menindak para predator seksual.
"Sementara sisi rawannya, pertama, hingga hari ini belum ada sebuah paramater yang bisa diacu untuk menerjemahkan keadaan yang disebut darurat, ke dalam satuan-satuan terukur. Klasifikasi kejahatan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa juga terkesan terlalu bombastis," kata Reza.
Sebab menurut Reza meski sebutan kejahatan luar biasa berasosiasi dengan kejahatan yang sangat buruk terhadap hak azasi manusia atau HAM, hingga kini tidak pernah ada kasus kejahatan seksual terhadap anak yang masuk sebagai objek persidangan Mahkamah Internasional di Den Haag, Belanda.
"Sehinggga walau tidak tersedia pedoman untuk menakar kedaruratan suatu situasi kejahatan, gelegar darurat kejahatan seksual terhadap anak memberi 'alat' kepada publik untuk menagih seberapa jauh situasi darurat itu telah direspon, dengan langkah-langkah penanganan yang juga mestinya hebat," kata Reza.
Tetapi apabila situasi yang disebut darurat, ternyata diatasi dengan cara yang biasa-biasa saja, dan tidak terjadi perubahan status kedaruratan tersebut, maka kata Reza, tidak berlebihan untuk membangun syakwasangka bahwa sebutan darurat sedang dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, yang justru tak ada sangkut pautnya dengan agenda perlindungan anak itu sendiri.
"Juga, ketika keadaan darurat itu dilantangkan ke langit, maka akan tercipta pretext bagi negara-negara lain untuk mengeluarkan travel warning agar warga mereka, khususnya anak-anak, tidak bepergian ke Indonesia. Ini pencorengan muka yang sangat buruk dan beresiko kontraproduktif terhadap promosi wisata Indonesia, apabila itu terjadi," katanya.
Reza menjelaskan beberapa saat sebelum genap satu tahun pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, Istana mengeluarkan sejumlah poin tentang penyikapan atas situasi darurat kejahatan seksual terhadap anak.
"Ini sebuah langkah penting yang telah lama dinanti-nantikan publik sebagai bentuk realisasi butir keempat Nawacita Jokowi-JK dan Inpres Gerakan Nasional Antikejahatan Seksual terhadap Anak yang dikeluarkan Presiden SBY," katanya.
Akhirnya salah satu hal penting yang dinyatakan Istana atau Presiden adalah pemberlakuan kebiri kimiawi bagi predator seksual anak dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dari keputusan itu, kata Reza, terlihat bahwa pemerintah meyakini kastrasi hormonal lewat kebiri kimia akan memunculkan efek jera pada diri para pelaku kejahatan seksual terhadap anak, sebagai akibat dari lumpuhnya dorongan seksual pelaku.
"Disini tampak ada kekeliruan asumsi yang melatari keputusan tersebut. Dimana kejahatan seksual yang berarti perilaku seksual, dipercaya dilatari oleh motif seksual," kata Reza.
Namun faktanya, tambah Reza, dalam sangat banyak kasus kejahatan seksual terhadap anak, motif pelaku bukanlah motif seksual belaka.
"Di sangat banyak kasus kejahatan seksual anak, motif pelaku adalah dominansi dan kontrol. Di balik itu ada amarah, dendam, dan kebencian yang berkobar-kobar. Datangnya luapan semua perasaan negatif itu antara lain, akibat kesakitan yang muncul karena si predator pernah mengalami perlakuan kekerasan serupa semasa usia belia," kata Reza.
Sehingga tindakan memviktimisasi anak-anak, kata Reza, merupakan cara si predator melampiaskan dendamnya, amarah dan kebencian yang berkobar.
"Dan anak-anak, selaku target lunak, merupakan pihak yang paling mudah dijadikan sebagai sasaran-pengganti pengekspresian sakit hati sang predator," kata Reza.
Lalu kata Reza jika si predator ini dikebiri kimiawi dan anggaplah mematikan syahwat seksualnya, namun segala perasaan negatif tadi tidak serta-merta juga mati atau padam.
"Justru kastrasi hormonal lewat kebiri kimia membuat si predator semakin eksplosif, karena obsesinya pada dominansi telah dihalang-halangi. Bahkan ia telah direndahkan ke posisi pecundang. Sebagai kompensasi atas 'kekalahan' tersebut, si predator akan mengembangkan modus-modus baru atau pun melibatkan pihak lain guna memastikan bahwa dendamnya tetap bisa diekspresikan dan hasrat dominansi tetap bisa terpenuhi," papar Reza.
Akibatnya, kata Reza, jika dulu si predator hanya mengincar anak-anak selaku target paling potensial. Maka dengan amarah berlipat ganda akibat dikebiri, ia kini akan bisa menyasar siapa pun.
"Tidak hanya anak-anak, tapi juga orang dewasa atau pun objek non-manusia--sebagai sasaran agresinya. Ini semakin kentara pada pedofil mysoped, yaitu predator seksual yang biasa menggunakan cara-cara brutal untuk melumpuhkan korbannya," kata Reza.
Reza juga menjelaskan bahwa keterbangkitan seksual juga tidak sebatas karena faktor hormonal, tapi juga masalah fantasi atau psikis.
"Itu yang membuat, maaf sebatas ilustrasi, dimana seorang anak yang belum memasuki usia pubertas pun tetap bisa menunjukkan respon fisik pada alat vitalnya manakala terangsang secara seksual," kata Reza.
Padahal anak yang belum pubertas secara hormonal belum dapat terangsang layaknya orang dewasa.
Karenanya hukuman kebiri kimia dinilai Reza kurang tepat dan sangat tidak efektif membuat jera pelaku atau tidak menjamin pelaki tidak mengulangi perbutannya.
Bisa dibuat tambahan sanksi sosial lain dengan mengeluarkan public notice atau pemberitahuan atau pengumuman terbuka pada pulik mengenai sang predator.
"Terutama saat predator yang tidak lama lagi akan mengakhiri masa hukumannya atau saat akan bebas serta pengumuman saat si predator bebas," katanya.
Pengumuman atau public notice kata Reza juga sekaligus disertai foto dan ciri-ciri si predator seksual, jumlah korbannya, sekaligus waktu kejadian. "Semua disebarluaskan melalui poster, media massa, dan media sosial. Pada public notice itu dicantumkan pula nomor hotline yang dapat dihubungi masyarakat sewaktu-waktu jika si predator menampilkan gelagat mencurigakan atau mengkhawatirkan," kata Reza.
Bersamaan dengan semuanya, tambah Reza, polisi pun menunjuk personelnya yang secara khusus bertugas sebagai pemantau si predator sekaligus sebagai pihak penghubung dengan masyarakat.
"Sehingga lewat public notice, masyarakat menjadi tahu bahwa di lingkungan mereka dalam waktu dekat akan datang kembali seorang bedebah dengan riwayat kejahatan luar biasa dan potensi residivisme yang tinggi," kata Reza.
Tujuan sanksi sosial semacam itu, kata Reza, selain efektif membuat pelaku jera juga membangun resiliensi masyarakat, tak terkecuali anak-anak.(*/wartakota)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/batam/foto/bank/originals/pakar-psikologi-forensik-reza-indragiri-amriel_20160527_105019.jpg)