Anak-Anak Imigran di Perancis Utara Dipaksa jadi Pelacur agar Dapat Tempat Tinggal
UNICEF mendengar sejumlah kisah menyedihkan tentang beberapa perempuan anak-anak, yang dibayar 5,6 dolar AS untuk melakukan tindakan seksual.
BATAM.TRIBUNNEWS.COM, BERLIN– Imigran anak-anak di Perancis Utara dipaksa melakukan kejahatan, kerja paksa, dan pelacuran setiap hari.
Hal itu dilakukan untuk mendapatkan tempat tinggal di kampung pendatang atau dijanjikan pindah ke Inggris, kata UNICEF, Kamis (16/6/2016).
Lembaga anak-anak PBB itu mengatakan, eksploitasi seksual, kekerasan dan kerja paksa menjadi ancaman.
Anak-anak, yang bepergian sendiri, menjadi sasaran kekerasan dan kerja paksa itu. UNICEF mendesak pihak berwenang melakukan langkah-langkah lebih untuk melindungi mereka.
"Kami mengerti bahwa itu permasalahan lebih dari satu dasawarsa namun itu menjadi lebih besar dan parah pada tahun lalu dengan peningkatan krisis pengungsi global," kata Melanie Teff, pengacara dan penasihat kebijakan UNICEF Inggris.
UNICEF mendengar sejumlah kisah menyedihkan tentang beberapa perempuan anak-anak, yang dibayar 5,6 dolar AS untuk melakukan tindakan seksual.
Anak-anak perempuan juga terpaksa melakukan tindakan tidak terpuji itu agar bisa masuk ke penampungan dan untuk mulai membiayai perjalanannya menuju Inggris.
Dari sekitar 206.200 orang yang tiba di Eropa lewat jalur laut pada tahun ini, satu dari tiga orang merupakan anak-anak.
Banyak yang berakhir di sejumlah kamp seperti di sebuah kota yang disebut dengan "Hutan" yang terletak di luar pelabuhan Calais, Perancis utara.
UNICEF mengatakan, 500 anak-anak tanpa pengawasan tinggal di tujuh kamp di pantai utara Perancis, termasuk di Calais dan Dunkirk.
Sekitar 2.000 anak-anak telah melewati kamp itu sejak Juni 2015 lalu.
Beberapa anak-anak mengatakan kepada lembaga bantuan bahwa mereka ditahan oleh sejumlah kelompok kriminal yang meminta tebusan dari keluarga mereka.
Sementara yang lainnya dipaksa untuk melakukan kerja seperti layaknya budak untuk membayar perjalanan mereka.
Anak-anak dari Afganistan mengatakan kepada UNICEF bahwa ketakutan terbesar mereka adalah kekerasan seksual.
Para pedagang manusia menuntut anak-anak membayar 4.000 hingga 5.500 poundsterling agar bisa pergi ke Inggris.
UNICEF mengatakan, karena tekanan seperti itu, mereka mencari jalan lain untuk melakukan perjalanan, seperti beberapa anak bersembunyi dalam truk peti kemas.
“Tidak ada pemberian pendidikan, dan anak-anak hampir tiap malam berjalan selama berjam-jam dan mencoba untuk memasuki kontainer,” kata Teff.
“Mereka tinggal dalam keadaan yang sangat, sangat genting dan banyak dari mereka yang berbicara betapa mereka menjadi gila dikarenakan keadaannya,” katanya.
Teff mengatakan, anak-anak yang tinggal di sejumlah kamp migran seringkali harus membayar untuk mandi atau dipaksa untuk membuka kontainer agar mereka dapat masuk.
Rata-rata, anak-anak tinggal di kampung itu lima bulan sebelum pindah.
Beberapa di antaranya tetap berada di tempat itu selama sembilan bulan dan satu anak-anak terjebak di tempat itu lebih dari satu tahun, kata UNICEF.
Lembaga itu mewawancarai 60 orang anak dengan usia 11 hingga 17 tahun.
Mereka dari Afganistan, Mesir, Eritrea, Etiopia, Iran, Irak, Kuwait, Suriah, dan Vietnam yang tinggal di sejumlah kamp sepanjang Selat Inggris, antara Januari hingga Afril 2016.(kompas.com)