Namanya Mendot, Inilah Kuliner Warisan Pengikut Pangeran Diponegoro di Gorontalo. Ini Sensasinya!

Penasaran dengan kuliner khas warisan pengikut Pangeran Diponegoro di Gorontalo? Inilah nama dan kisah di baliknya

Kompas.com/Asdianto Lihawa
Seorang warga Jawa Tondano di Desa Reksonegoro Gorontalo membakar "engkong" panggang ayam di bagian belakang rumah mereka 

Yang tidak kalah enaknya adalah kue Cucur. Bentuknya kecoklatan tua ini dibuat dengan cara membuat adonan dari tepung beras dicampur gula merah.

Menurut para orang tua, membuat kue cucur itu tidak mudah, salah adonan akan membuat cucur tidak menghasilkan pinggiran yang bergerigi.

“Kue-kue tersebut kami warisi dari para mbah yang datang dari Jawa setelah mereka ditipu oleh penjajah Belanda,” kata Hasan Maspeke, petani warga Reksonegoro yang lahir tahun 1938.

Yang juga menjad kekhasan mereka adalah nasi bulu atau nasi jaha, campuran beras dan ketan yang dibumbui dengan aneka macam rempah-rempah lalu dimasukkan dalam bambu. Bambu yang digunakan harus terpilih dari jenis tertentu.

Sebelum adonan beras dimasukkan, bambu harus dilapisi dengan daun pisang muda sebagai pembungkus saat nasi masak.

Seorang wanita di Desa Reksonegoro, Gorontalo, memasak dengan menggunakan tungku api. Umumnya mereka memiiki pekerjaan sebagai petani atau pedagang.

Nasi bulu dimasak dengan cara dibakar, biasanya mereka membuat api dari gonofu atau sabut kelapa. Nasi yang ada dalam bulu disandarkan di kayu yang sisinya ada api. Hanya orang yang berpengalaman yang bisa masak nasi bulu ini.

“Namanya nasi jaha karena ada campuran jahe yang dihaluskan sebagai bumbunya, makanya orang memelesetkan nasi jahe dengan sebutan nasi jahat,” ungkap Hasan Masloman, warga Kampung Jawa Tondano.

Selain kue-kue tersebut, masih banyak lagi aneka kue dan makanan yang selalu hadir dalam perhelatan hajat masyarakatnya, seperti aneka jenang, aneka ketupat, panggang, dan lainnya.

Masyarakat Jawa Tondano sangat bangga dengan tradisi yang diwariskan kepada mereka. Kebanggaan itu diwujudkan dengan terus melestarikan kebiasaan lama yang masih bertahan hingga kini.

Kebiasaan mendendangkan Shalawat Jowo dan rodat yang diiringi terbang (rebana) menjadi acara yang diiringi dengan kehadiran kue-kue ini.

“Para mbah kami adalah kaum santri yang memiliki kebiasaan yang bersumber dari Alquran dan Hadits, mereka berjuang bersama Pangeran Diponegoro mengusir penjajah dari tanah Nusantara, kami bangga menjadi anak temurunnya,” kata Mohamad Kiyai Wonopati, imam Masjid Reksonegoro.

Di sisi lain, kaum perempuan Minahasa yang dinikahi pengikut Kiyai Modjo di Tondano ini merupakan anak para walak (pemimpin negeri) yang memiliki kharisma tersendiri. Mereka merawat anak-anaknya dengan tulus dan berkomunikasi dengan bahasa Tondano.

Para ibu inilah yang memiliki kesempatan untuk mendidik anak-anaknya dengan bahasa Tondano, namun istilah Jawa yang diwariskan kaum prianya masih menyisakan dalam kosa kata bahasa Jawa Tondano, termasuk dalam penamaan kue tradisional masyarakat ini.

Pembuatan kue tradisional cucur oleh masyarakat Jawa Tondano d Desa Budaya Reksonegoro, Gorontalo. Orang Jawa Tondano di Reksonegoro diperkiraka mulai ada sejak tahun 1925,

Halaman
123
Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved